Cukup lama aku terdiam. Ragu di ambang keputusan.
"Perkakas, Bay! Cepat!"
Nada Pendi mulai naik dua oktaf. Tanganku gemetaran memberikan tang padanya. Baru kali ini kulihat wajahnya merah padam seperti itu.
Seakan semua aliran darahnya berkumpul di kepala. Menguarkan kepulan asap-asap masalah yang sempat tertahan di pikirannya selama dua bulan.
Aku mendongak. Memperhatikan kembali trafo listrik yang hendak kami ledakkan.
Aku khawatir jika ia salah memotong kabel, setidaknya ada 220 volt yang akan menggerayangi tubuhnya, memaketkannya ke alam barzah untuk menjumpai leluhurnya hanya dalam hitungan detik.
"Kau yakin tentang ini, Pen?"
Ia menanapku tajam, seperti ingin mencekikku. Melahapku sampai ke tulang benulang.
Air muka Pendi yang awalnya macam orang sesak buang hajat, seketika berubah menjadi ekspresi orang kesurupan. Sorot matanya memproyeksikan kejadian 3 detik ke depan. Sebuah makian.
"Yakin kau bilang, Hah!? Setelah kita menyuap Tuan Kadi untuk tak datang!? Setelah kita mencuri semua buku nikah di kantor urusan agama!? Kau bilang apa...yakin!?"
Adrenalin melompat-lompat menyentuh ubun-ubunnya.
Membakar ujung sumbu kesabarannya yang tak seberapa, yang masih sedikit tersisa. Berapi. Berkobar-kobar. Meledak seperti roket NASA.
"Ukir baik-baik ini di tengkorak kepalamu!?"
Suaranya ketus. Ia membanting martil yang dipegangnya. Berdebam di tanah.
"Kau bilang saling cinta!? Besok Nita akan dikawinkan, Bay! Rela Kau!?"
Ia menunjuk-nunjuk batang hidungku. Menghakimiku seperti seorang pesakitan. Aku menggeleng.
Tak sekali pun aku rela Nita dipinang orang lain. Hanya saja, aku juga khawatir terhadap Pendi. Khawatir terhadap nasib kami.
"Tapi Pen, tak takutkah kau kita bakal tertangkap penegak hukum?"
Mendengar kalimatku, ekspresi kesurupan Pendi menjelma jadi kesetanan, bahkan lebih dari itu. Malah setan itulah yang sedang dirasuki Pendi.
"Penegak hukum, Bay!? Penegak hukum apanya, Hah!?"
Ia merepet.
"Satu-satunya hukum yang tegak di negara ini cuma hukum Fisika! Jadi tutup mulutmu, Bay!"
Aku menunduk tak berani membantah.
Mencari solusi lain pada akhirnya kami mengorbankan Ngai untuk meledakkan trafo listrik. Ngai adalah ayam kesayanganku. Kami letakkan Ngai di selah trafo listrik.
Tidak sampai 2 menit trafo listrik meledak dan Ngai berubah menjadi ayam bakar. Ia mati terhormat. Listrik padam, malam jadi gelap gulita dan masyarakat komplein ke PLN. Malam itu riuh dengan cacian terhadap kinerja pemerintah.
Sayangnya keesokan harinya pernikahan Nita tetap dilaksanakan meski listrik padam. Pendi duduk di sudut macam tak berdosa, santai menikmati rendang.
Aku terdiam menatap calon mempelai berpakaian serba biru. Jauh dalam kesadaranku berbisik ini semua bukan kenyataan dan hanya cerpen belaka. Ah…sayangnya tidak.
Kuharap aku bisa menyampaikannya secara langsung. Sekali…sekali saja…cukup sekali saja mengucapkan padanya, kalau aku mencintainya.
Biodata Penulis:Pria kelahiran 12 Agustus 1995 dengan nama pena Bagus D Kesumo. Pernah menerbitkan Antologi Menjadi Manusia Anti Mainstream bersama Arum Faiza terbitan Quanta Books.
Share This :
0 comments