Oleh: Sawaluddin Sembiring
Siang itu, stasiun terasa lebih panas dan membuat gerah. Kardo masih duduk di peron, menunggu gerbong selesai dibersihkan. Perasaannya kacau, dari kemarin ingatanya terus pada anak dan istrinya yang kini ada di Medan---di rumah ibu mertua. Berdebar tak karuan jantungnya, membayangkan hal-hal yang membuat takut. Orang-orang berlalu lalang di hadapannya yang melamun, sesekali melirik ke arahnya yang masih mengenakan seragam loreng.
Sebelum naik ke gerbong kereta api, Kardo kembali menghubungi Julia lewat telepon umum. Tapi tak diangkat. Ini bukan kali pertama dia menelpon ke rumah mertuanya. Sejak kembali dari Cimahi lima hari lalu, cemas dia tak dapat menghubungi istrinya yang telah melahirkan. Sebelum pergi ke Cimahi enam bulan lalu, Kardo menyuruh istrinya pulang ke rumah ibu. Awalnya Julia menolak, terakhir bertemu hubungan mereka tidak baik. Julia dan Kardo diusir ibu setelah menikah.
Ibu tidak suka pada Kardo. Menerima Kardo seperti merobek luka lama yang telah dijahit oleh waktu. Tapi Kardo berusaha meyakinkan istrinya, jika seorang ibu tidak akan menyakiti anaknya. Ibu adalah malaikat tak bersayap, jika Julia akan lebih baik bila di rumah ibu. Setidaknya ada yang menemani dalam keadaan hamil tua saat itu. Pluit kondektur mulai terdengar, suara lokomotif menggema. Berlari Kardo menuju gerbong. Kereta api ini akan membawanya pada cerita baru yang sedang menunggunya dengan angkuh
***
Ibu masih membuang pandanganya ke arah bunga-bunga kertas yang berwarna warni, menghiasi pekarangan rumah. Sisa hujan siang tadi, masih menggelayut manja pada daun-daunya. Bunga-bunga kertas kesukaan ibu, bahkan ia melarang keras anak-anaknya agar tidak menebang pohon kertas yang tingginya sudah seperti pohon belimbing sayur di samping rumah, rimbun sekali. Di depan ibu, Kardo duduk diam. Dia memainkan kedua jari jempol tanganya, menunggu ibu berbicara. Dari dua tahun pernikahan, ini kali pertama mereka duduk berdua dengan begitu dekat. Bukan susah memulai pembicaraan, tapi Kardo menghomarmati ibu mertua walau hubungan keduanya tidak baik.
Kardo menikahi Julia tanpa restu, mereka menikah di rumah adik kandung ayah Julia---sekaligus menjadi wali pernikahan itu. Keduanya kawin siri. Sebab Kardo pun tak memiliki cukup berkas untuk membawa Julia menikah secara sipil. Ayah Julia tak banyak berbicara ketika itu, ibu yang begitu keras menentang. Bisa saja sebenarnya ayah mempeributkan masalah pernikahan diam-diam itu, tapi ayah menolak.
"Julia berhak bahagia," katanya.
Ibu tetap tidak terima, bahkan menyalahkan ayah. Sebab tak memarahi adik kandungnya, Fali, yang telah menikahkan Julia dengan Kardo tanpa ijin.
"Ibu keberatan kalau kedatangan kamu ini bermaksud ingin membawa Julia pulang, ini rumahnya," kata ibu, tegas. Dia masih tak memandang wajah laki-laki yang begitu gagah.
Kardo menghela napas, jari jarinya berhenti bermain asal. Dia menatap wajah ibu lekat, penuh pengharapan.
"Tapi Julia istri saya, bu."
Ibu segera menatap ke arah Kardo. Ada kemarahan di raut wajahnya. Kardo masih bersikap tenang, tak ingin tersulut amarah. Itu hanya akan mempersulit keadaan saja.
"Ibu saja tak pernah tau pernikahan kalian," cibir ibu. Kembali dia membuang pandangannya. Kardo menundukan wajah, mengerti masalahnya.
"Saya minta maaf bu. Saya janji akan menjaga Julia semampu saya." Kardo mengiba, nada pengharapan masih melekat di perkataanya.
Hati ibu gerimis mendengar janji tadi. Mengingatkannya pada almarhum ayah Julia. Dulu, laki-laki itu mengatakan hal yang sama kepada orangtuanya. Meminangnya baik-baik, menjadikannya nyonya sekaligus penerima luka yang berakhir pada perpisahan maut. Sesak dada ibu mengingatnya. Dia bangkit dari duduk, menahan ego.
"Anakmu butuh pengakuan. Ibu harap kamu bertanggung jawab dengan masa depannya," kata ibu ketus. Kemudian dia pergi ke kamarnya, menutup pintu dengan rapat.
***
Magrib baru saja usai. Di ruang makan, Julia sibuk menghidangkan makanan. Makan malam di rumah ini dimulai pukul tujuh. Biasanya malah pukul enam sore. Ini sudah berlaku sejak ayah dan ibu menikah. Hingga menjadi aturan turunan yang mendarah daging. Menurut ayah Julia, malam waktu untuk beristirahat, bukan makan. Kardo duduk sendiri, sesekali menggoda istrinya yang masih bersarung. Bayinya sudah tidur, anak yang menggemaskan.
"Makanlah," pinta Julia.
"Ibu?"
Julia diam. Menatap wajah suaminya. Kardo mencoba mengerti, ibu masih tak siap duduk bersama di ruang makan malam ini. Perempuan itu butuh waktu. Julia menghargai kemarahan dan sikap dingin ibu. Sebagai anak, ia ingin bahagia dan membuat ibunya bahagia. Tapi ini pilihan. Kemudian menjadi keputusan yang tak bisa diterima ibu.
"Rasa sakit yang dicipta ayahmu dulu, muncul dua kali karenamu," kata ibu pada Julia di suatu sore yang lewat. Julia bungkam, pedih hati ibu bukan rahasia umum. Tapi ia enggan membantahnya.
Makan malam selesai. Kardo sudah kembali ke kamar, menemani bayi laki-lakinya. Julia masih sibuk berbenah. Mencuci piring, menyimpan sisa makanan ke dalam lemari es, juga memastikan dapur bersih sebelum ia ke kamar. Ibu menemuinya di dapur, masih mengenakan mukenah putih dengan bordiran bunga berwarna merah muda. Hadiah dari ayah di awal ramadhan lima tahun lalu. Walau sudah usang, tapi tetap menjadi kesayangan.
Julia sedikit gugup melihat kedatangan ibu, sejak pertemuanya dengan Kardo siang tadi ibu tidak lagi keluar kamar---berbicara denganya. Wajah ibu sendu, dia menatap Julia dengan teduh. Julia menunggu ibunya berbicara, tapi sang ibu malah menggiringnya ke ruang makan. Julia mengambil piring, mengisi nasi dan lauk yang belum dimasukkannya ke dalam lemari es, karena ibu belum makan sejak tadi. Perempuan bermata sayu itu diam saja.
"Makanlah, bu" pinta Julia, ia menaruh piring batu putih bermotif melati di hadapan ibu. Ibu masih diam. Hatinya gusar.
"Mungkin ini karma dari rasa sakit hati orang lain, pada ayah dan ibu," ungkapnya, mengingat ingat dosa masa lalu.
Kedua alis Julia bertemu, merasa heran dengan kalimat ibu. Ia bergeming di hadapan ibunya.
"Dulu ibu memaki habis-habisan perempuan yang membuat ayahmu tak lagi mau pulang," pecah air mata ibu, lirih hati Julia mendengarnya.
"Semua kata-kata kasar keluar dari mulut ibu, tak beriba ataupun berempati. Bagi ibu perempuan itu murahan, karena telah menggoda pria beristri." Tangisnya semakin pecah. Ibu tenggelam dalam sepotong adegan menyakitkan dulu. Tentang suaminya, Rusli. Laki-laki jangkung yang berani menemui ayahnya yang terkenal galak dan suka menguji kesetiaan seorang laki-laki. Kemudian menikah, punya tiga orang anak. Julia adalah anak pertama mereka.
Bertahun tahun pernikahan itu berjalan harmonis, dibumbui pertengkaran manis. Semuanya berubah, ketika ayah jatuh cinta lagi pada seorang perempuan yang berjualan di kantin kantornya. Hubungan keduanya intim, bahkan membuat ayah tak pernah pulang. Hati ibu hancur, semua yang ada di rumah tangganya menjadi hambar. Ayah berkhianat, itu yang membuat hatinya menjadi batu akhirnya. Ibu tetap sabar dan bertahan, walau berulangkali dia mendatangi perempuan itu dengan kemarahan.
Perempuan yang melantangkan diri, bahwa dia juga mencintai ayah. Ibu terus membesarkan hati, tak mengadu pada kantor ayah. Dia yakin, ayah hanya sedang merasakan puberitas masa tua. Doa pun tak putus dari mulutnya. Sampai akhirnya ayah kembali, dengan penyakit paru-paru. Perempuan yang dinikahi siri olehnya pergi, tak mau susah. Ibu menerima dengan tabah kepulangan ayah yang sudah mengkhawatirkan. Walau banyak kemarahan yang disimpanya. Sampai akhirnya ayah meninggal di pangkuan ibu, dan sempat mengatakan maaf.
"Kau harus bersabar, Zubaidah. Apapun masalahnya, seorang suami akan kembali pada istri tuanya. Dan kau harus bertahan, menjaga marwah, anak-anakmu, juga harta suamimu." Petuah nenek, menjadi sandaran kesusuhan ibu kala itu.
Julia menelan ludah, ia juga terjebak pada ingatan yang kelam. Usianya dua puluh tahun saat itu, sudah cukup mengerti apa yang terjadi. Sebelum meninggal ayah pernah bercerita, dia mengungkapkan sesuatu yang terkadang membuat dadanya menjadi sesak.
"Tidak selamanya cinta kedua yang datang dari seorang lelaki itu salah. Dan tak selamanya seorang perempuan yang mencintai laki-laki beristiri salah. Dia hanya tau cinta dan ketulusan, walau jalanya salah."
Ibu masih menangis. Matanya merah sekali. Hati Julia juga semakin gerimis. Ia tak mau mendukung siapa pun dalam masalah itu. Ia hanya seorang anak yang ingin kedua orang tuanya ada.
"Mungkin perempuan itu sakit hati. Mengutuk ibu, agar hal yang sama terjadi juga pada ibu atau anak perempuan ibu," ucapnya dalam tangis. Semakin deras airmatanya bercucuran. Julia pun mulai ikut menangis.
"Bu," Julia memberi keyakinan, kekuatan, dari sorot matanya.
"Jul. Ibu mengerti. Ibu hanya khawatir."
"Bu,"
"Jul, apakah kau akan siap jika Kardo kembali pada istri tuanya, meninggalkanmu? Dan kau akan menjadi kesalahan di mata banyak orang?"
Julia bungkam. Hatinya bergetar. Matanya mengikat pandangan ibu yang pilu. Bagaiamana juga ia belum pernah memikirkan hal itu. Air matanya berderai-derai, kalimat ibu seperti menyadarkanya pada kenyataan yang pilu dan harus diterima tanpa penyanggahan. Entalah, Julia gugup sekali, tubuhnya pun gemetaran, memikirkan ketakutan ibu yang kini menjadi ketakutannya. Mungkin ibu benar, ini adalah sebuah karma. Karma yang harus dijunjung di atas kepala. Karena ia pun mencintai suami orang.
*) Disalin dari karya Sawaluddin Sembiring
*) Terbit di Surat Kabar Harian Analisa, edisi 26 April 2020
Share This :
0 comments