“Pendidikan tinggi ini adalah tertiary education , Pendidikan tinggi itu kebutuhan tersier,” papar PLT sekretaris dirgen pendidikan tinggi kementerian pendidikan di salah satu channel stasiun nasional milik swasta. Maya menyimak berita headline hari ini, hanya iseng ganti channel setelah film kesukaan mama di channel ikan hiu itu iklan.
Tentu dengan teh manis dan setoples rengginang buat mama. Rengginang makanan khas Bante, tentu bukan dengan sengaja, bahan berkualitas, sisa nasi yang dikeringkan diolah kembali oleh mama.
“Sepakat sekali aku dengan berita itu,” mama mengangguk – angguk setuju. Seolah staff menteri itu menyampaikan yang selama ini dipendam oleh hatinya.
“Maksud mama? Mama sudah janji loh, besok datang ke sekolah,” Maya menjawab celoteh mama, tapi fokusku tetap pada isi berita.
Sebelumnya Maya meminta ibunya datang ke sekolah besok. Wali kelas meminta persetujuan masuk perguruan tinggi negeri secara langsung. Pihak sekolah khawatir jika siswa lulus tidak mengambil kesempatan tersebut.
“Ya, lihat saja berita itu. Jalur prestasi tidak menjamin uang kuliah gratis, “ jawab mama tidak mau mengalah.
Makin aneh saja bangsa ini. Saat Indonesia emas digaung-gaungkan, saat itu dunia pendidikan diciderai. Narasi pendidikan tinggi kebutuhan tersier, hanya orang – orang kaya yang berhak masuk pendidikan tinggi.
Itu artinya, yang miskin tetap dengan pendidikan rendahnya, biar sampai sekolah menengah atas saja, begitu? Tapi, kalau ya. Berarti bangsa yang digadang–gadangkan dengan pancasila, sila kedua, kemanusian yang adil beradab benar – benar harus dihilangkan! Karena yang kaya tetap kaya, yang miskin biarkan melarat saja.
“Ya, sadar dirilah. Selain kamu seorang perempuan, ujungnya nanti menjadi ibu, di dapur, di kamar dan di kasur. Ingat kamu anak siapa, hanya anak dari seorang petani padi. Ayah sudah tiada. Sudah cukup sampai sekolah menengah saja,” papar mama dangan nada yang cukup, tidak untuk dibantah.
Mama menolak permintaan Maya masuk perguruan tinggi sama seperti menolak kakak – kakaknya sebelumnya, pendidikan menengah atas hanya mampu mengantar mereka jadi buruh harian di kebun – kebun tuan tanah di desaku.
“Ma, Maya mohon hanya restu mama yang mengantarkanku pada gerbang sukses itu, lagian yang sekolah cuma Maya saja,” Maya memelas.
Maya memang anak bungsu di keluarga ini. Dua kakak perempuannya sudah tamat sampai sekolah menengah atas saja.
“Itu kamu tahu. Restu mama yang menghantarkanmu ke gerbang sukses, sudah bagus, nurut sama mama,” mama seolah benar dan sial saja, kenapa harus memutar channel sialan itu. Narasi staff bajingan itu berhasil merapatkan pola pikir orang - orang tertutup selama ini, seperti mama.
“Mama selalu benar,” Maya mengganti channel ke serial kesukaan mama dan berlalu dengan sedikit hentakan kaki, mata berair menuju kamar. Maya berusaha pejamkan mata, Maya masih harus sekolah besok.
***
Kekurangan makanan bisa disiasati dengan puasa. Kekurangan ilmu bisa disiasati dengan membaca, tapi ia tidak sempurna tanpa bimbingan seorang guru. Sebanyak pengetahuan tanpa arahan guru seperti belati yang siap menikam tuannya.
Membujuk mama percuma saja, Maya tidak akan berhasil. Maya harus nekat dangan atau tanpa dukungan mama. Durhaka ialah ketika melawan orang tua yang memerintahkan anaknya menyembah Allah. Pendidikan tinggi bukan sesuatu yang syirik. Maya pasti bisa.
Seperti sebelumya ibu guru bimbingan konseling itu selalu berhasil membuat siswa terbuka padanya. Tiba di sekolah, Maya menemui guru tersebut. Bagaimanapun yakinnya untuk mengambil langkah masuk perguruan tinggi. Maya tetap saja anak sekolah menengah atas yang masih butuh arahan.
“Bu, Maya sepertinya tidak jadi mengambil perguruan tinggi negeri favorit itu, mama tidak mengizinkan Maya melanjutkan pedidikan,” papar Maya tentu dengan mata penuh air mata.
“Jadi, kamu tidak akan melanjutkan pendidikan, begitu?” selidik ibu guru bimbingan konseling.
Maya menunduk, menahan isaknya. Keinginannya melanjutkan pendidikan sungguh luar biasa, “Pengennya Maya, ya tetap ingin kuliah bu.” Jawabnya lesu.
Tetap saja mendaftar melalui jalur prestasi dari sekolah harus melalui persetujuan orang tua. Maya tidak akan berhasil membujuk ibunya ke sekolah.
Ibu guru bimbingan konseling tersebut menatapnya dan tersenyum, “tidak harus pendidikan tinggi negeri favorit tersebut, di kota kecil ini masih ada perguruan tinggi, ya meskipun tidak mimpimu itu,” ibu guru bimbingan konseling memeluknya.
“ Ya, tetap saja mama tidak mengizinkan,” jawab Maya pasrah.
“Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kesuksesan anaknya, tinggal Maya saja, yakin enggak, mampu menghadapi penolakan ini, kalau yakin, lanjut di kota ini, saja. Ya tentu dengan effort yang tidak main–main. Setidaknya kalau di kota ini, Maya tidak butuh biaya tempat tinggal. Dan jangan harapkan biaya dari mama, banyak cara cari biaya selain dari beasiswa, Maya harus bekerja part time. Ibu kasih pinjam untuk biaya semester awal,” ibu guru bimbingan konseling tersebut meyakinkan dengan solusi luar biasa.
“Tapi, bu..” jawab Maya bimbang.
“Tidak ada sukses tanpa perjuangan, ya kalau mau hidup biasa–biasa saja, berjuanglah biasa–biasa saja, Kalau mau sukses, siksa dirimu dengan berjuang, pada akhirnya penyiksaan itu menjadi nikmat, dan kamu pasti akan bermanfaat,” tutup ibu guru bimbingan konseling tersebut.
Maya hanya mengangguk dan pamit undur diri. Berharap ia mampu menghadapi gelombang kehidupan yang ia hadapi.
Waktu berlalu begitu cepat. Masa sekolah menengah atas sudah berakhir. Jarak waktu dari kelulusan menuju maha siswa baru terbilang lama. Tiga bulan. Waktu yang cukup untuk mengumpul receh –receh rupiah menuju perguruan tinggi. Maya tidak ingin memberatkan sesiapa pun, akhirnya ia bekerja apapun selagi halal.
Waktu yang ada mampu membantu ketiadaan menjadi ada. Receh – receh yang kurang bernilai menyatu menjadi sesuatu yang besar. tekat yang kuat mengahantarkannya menjadi mahasiswa baru. Dan semoga semangat tidak surut menghantarkanya ke gelar sarjana.
Biodata Penulis:Fenni Heppy Royani Munthe, biasa dipanggil Kak Fenni, merupakan kakak sulung dikeluarganya. Ia lahir pada tanggal 27 Mei, kecil dan dibesarkan di tanah Tapanuli bagian selatan tepatnya di Sisundung, Kecamatan Angkola barat. Penulis ini yang hobbi membaca, menulis, memasak sangat suka tantangan. Sesekali ia menggahabiskan waktu mendaki. Ia juga senang menggeluti dunia pendidikan, sekarang mengabdi di sekolah MI Terpadu Mutiara Padangsidimpuan. Penulis memasuki dunia kata sejak ia duduk di bangku SMA walau hanya sekedar mengisi mading sekolah. Sejak ia mengenal Forum Lingkar Pena cabang Medan, ia tergugah untuk lebih banyak berkarya. Benar kata–kata orang–orang organisasi tidak akan membuatmu berkarya, tapi di organisasi yang tepat akan membangkitkan semangatmu membara, tentu harus dengan usahamu sendiri
Share This :
0 comments