BLANTERWISDOM101

ARISAN KARYA Ep.6: [Cerpen] Sebelum 2958 mdpl

Rabu, 13 Maret 2024
Cerpen petualangan

    Ada banyak alasan orang naik gunung. Ada yang naik gunung untuk liburan, mengasingkan diri ke tempat yang asri. Ada juga yang naik gunung sebagai ajang unjuk kekuatan, siapa paling sanggup sampai ke puncak. Lalu pamer sudah berapa puncak yang berhasil ditaklukan. Tapi ada juga yang naik gunung sebagai momen mendekatkan diri kepada Tuhannya.

    Di antara semua itu, aku mempunyai alasan sendiri. Alasanku berada di sini adalah karena aku sakit hati, lebih tepatnya aku sedang melarikan diri dari semua permasalahan yang ada.

***
    Sebelas hari yang lalu di sebuah lorong selebar 1,5 meter aku sedang berdiri menanti pintu di depanku terbuka. Pintu dari ruang dosen pembimbingku, Profesor Mardi. Sudah menjadi aturan tak tertulis, seluruh mahasiswa Pak Mardi tidak diperkenankan mengetuk pintu ruangannya ketika sudah membuat jadwal bertemu. Semua tamunya harus menunggu sampai pintu terbuka dan dipersilahkan masuk oleh profesor perfeksionis itu.

    Di tengah keheningan lorong yang dingin itu, tiba-tiba dering ponselku nyaring berbunyi. Sebuah panggilan masuk ke nomorku. Tertera di sana nama “Ibu Kos” memanggil. Aku mengabaikan panggilan itu. Sengaja menghindar dari tagihan biaya kosan yang sudah menunggak satu catur wulan. Aku tak ingin panggilan itu membuatku tak fokus ketika harus berhadapan dengan Profesor Mardi. Bimbinganku kali ini harus menjadi bimbingan terakhir. Aku harus sidang pekan depan agar tidak membayar uang SPP lagi.

    Sudah cukup aku menambah satu semester hanya untuk meladeni permintaan dosen pembimbingku itu untuk mengubah metode penelitian yang telah digunakan di awal. Mengubah metode penelitian, berarti aku harus mengubah semuanya. Semua hasil yang telah aku peroleh. Itu artinya aku harus memulai lagi dari awal. Itu semua butuh tambahan waktu juga biaya. Biaya semester, biaya hidup dan tempat tinggal.

    Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu di depanku terbuka. Aku langsung memasukinya setelah diizinkan oleh Profesor Mardi. Tanpa berkata-kata, dosen senior dengan kacamata tebal itu langsung membuka halaman demi halaman skripsi yang telah aku berikan. Sampai di lembaran terakhir, ia belum juga mengucapkan sepatah kata. Hingga kemudian kata-kata yang terucap dari mulutnya membuatku ingin menangis saat itu juga.

“Tolong kamu tambahkan pengolahan data dengan metode yang lain, dan bandingkan hasilnya. Supaya lebih akurat.”

“Tapi, Pak, satu metode saja bukannya sudah cukup?”

“Saya ingin ada pembanding,” ucap Pak Mardi dengan tatapan menghakimi.

“Tapi, saya ingin sidang pekan depan, Pak. Supaya tidak masuk semester baru lagi,” ucapku memelas.

“Kalau ingin sidang pekan depan silakan kamu cari dosen pembimbing yang baru.”

Deg.

    Seperti ada bola api di dalam dadaku. Rasanya panas dan ingin meledak begitu saja. Ya Tuhan, kenapa masih ada dosen seperti ini. Di saat mahasiswa dituntut harus menghormati mereka, kenapa justru masih ada di antara mereka yang seolah-olah tak memahami dan menghargai mahasiswanya?

    Mulutku masih terkatup rapat. Gemuruh yang ada di dalam dada ini nyatanya tak bisa keluar. Aku lebih memilih diam, daripada harus mengorbankan banyak hal lagi. Aku menerima semua permintaan dosen senior itu. Langkahku gontai menyusuri jalan pulang. Mungkin ini sudah takdirku harus berjuang lebih keras lagi.

    Nyatanya di hari-hari berikutnya, aku benar-benar menjelma seperti orang yang hidup segan, mati tak mau. Aku tak nafsu makan. Lebih sering melamun dan tak bergairah melakukan segala aktivitas seperti biasanya.

    Lisa, teman satu kamarku di kosan, akhirnya berinisiatif mengajakku liburan naik gunung bersama sepuluh temannya yang lain. Tak seperti Lisa dan teman-temannya yang sudah biasa naik gunung, ini adalah hal baru yang belum pernah kulakukan. Itu pasti jadi hal yang menarik dan aku pun sepertinya butuh refreshing sejenak. Akhirnya kuputuskan untuk langsung meng-iya-kan ajakan Lisa setelah mendengar kata gratis yang ditawarkannya.

    Dengan persiapan yang sangat minim dan mendesak, akhirnya aku berangkat. Belum juga sampai pos satu, aku sudah mengalami acute mountain sickness. Kata Lisa, aku belum bisa mengatur nafas dengan baik. Nafasku tidak mengikuti ritme langkah kaki dengan seimbang. Aku hampir menyerah di sini. Tapi aku pikir ini kesempatan baik untuk melupakan semua masalah. Jadi aku putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.

    Tidak berhenti sampai di situ. Ternyata, jalur Gunung Putri yang dilewati tak ramah bagi pendaki pemula sepertiku. Sering kutemui jalan yang sangat menanjak. Sebelum memasuki kawasan Surya Kencana, kakiku keram tak bisa digerakkan. Semua otot kaki terasa kaku seperti saling tarik menarik. Untunglah Lisa dan rombongan pendaki lainnya cepat menolongku. Lisa meluruskan kakiku yang kaku, memijatnya pelan sampai akhirnya kakiku bisa berjalan lagi.

    Saat sampai Surya Kencana dan barisan tenda baru saja terpasang, angin kencang disertai gerimis sedang menyapa tempat para edelweis tumbuh ini. Akhirnya tanpa bisa dihindari, tiba-tiba saja tubuhku menggigil hebat. Gigi-gigiku saling beradu. Telapak tanganku mati rasa saat aku berusaha menggosokannya. Kulit tanganku memerah dan bergetar. Aku kedinginan, tulang-tulangku seperti ditusuk. Aku pikir aku hamipr mati saat itu. Aku tak bisa mengendalikan diri dan mulai meracau. Sempat terbersit aku menyesal naik gunung.

    Lisa membawaku masuk ke dalam tenda. Mengganti seluruh pakaianku yang basah dengan baju dan jaket tebal miliknya. Seluruh badanku juga dihangatkan dengan minyak tawon yang selalu ia bawa. Lisa memelukku sambil sesekali menggosok-gosok punggungku.

***

    Keesokan harinya, aku merasa jauh lebih baik. Baik jiwa juga raga. Melihat keindahan edelweis yang tersebar luas sepanjang mata memandang di Surya Kencana membuat hati terasa sejuk. Semilir angin pagi yang lebih ramah juga membelai lembut pipiku.

    Di tengah hamparan rumput di Surya Kencana ini ada sebuah telaga mata air yang sangat jernih. Airnya mengalir indah dari sela-sela bebatuan. Suara gemericiknya membuat siapa saja yang mendengarnya betah berlama-lama di sana. Rasanya aku tak ingin pulang.Di depan sana, menjulang tinggi puncak Gunung Gede yang menjadi tujuan selanjutnya. 

    Kata Lisa hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai puncak. Jalurnya juga tidak begitu sulit katanya. Tak sabar rasanya ingin segera menggapai puncak. Dengan cepat ku langkahkan kaki menuju tenda. Bersiap diri untuk muncak. Semua orang telah berkumpul di depan tendaku. Aku bergabung di dalamnya dan seketika terkejut saat mendapati tubuhku terbujur kaku di dalam tenda.



Biodata Penulis


Kholi Abas, lahir 18 Oktober 1993. Pernah menempuh pendidikan strata 1 di Institut Pertanian Bogor. Mulai menulis fiksi sejak duduk di bangku SMA. Perempuan mungil ini kini tergabung dalam komunitas FLP Medan angkatan 8 dan aktif sebagai jurnalis di salah satu stasiun TV lokal. 

Beberapa karyanya yang pernah dimuat di antaranya, Surat Cinta untuk Tuhan (Radar Banten), Gilalova (Gong Publishing), Toga di Tepi Jendela (Dompet Dhuafa), dan Pesan Cinta Dandelion (biem.co), Masih Adakah Surga di Bawah Telapak Kakiku (apajake.id), buku antologi bersama penulis Medan berjudul Pelukan Terakhir, dan Sekolahku Istimewa.
Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

1 comments