BLANTERWISDOM101

ARISAN KARYA Ep.5: [Cerpen] Sebatas Mimpi

Kamis, 15 Februari 2024
Cerpen cinta


Pagi yang dingin. Hujan turun amat deras malam tadi. Teras balkon lantai dua rumahku terlihat basah dan sedikit tergenang air. Belum lagi sisa debu yang selalu beterbangan hinggap di lantai teras ini, membuat telapak kaki telanjangku kotor seperti berlumpur.

“Ah, sudah jam 06.00” Gusarku membayangkan betapa terlambatnya aku akan tiba di tempat kerja pagi ini kalau harus mengelap lantai dahulu sebelum berangkat.

Urung kuambil tangkai pel yang menggantung dibalik pintu kamar mandi belakang. Aku memilih menarik handuk yang tergantung rapi di tali jemuran pakaian. Handuk berwarna pink kesayanganku, warna favoritku sejak dahulu. Kemudian menuju kamar mandi dan mandi secepatnya, memburu waktu. Tiga puluh menit setelahnya, aku sudah berada di atas sepeda motor butut kesayanganku, menerobos kemacetan jalan raya di Senin pagi yang cerah ini.

“Hati-hati di jalan, Sayang.” Itu pesan pertama yang muncul di telepon genggamku, ketika baru saja kuletakkan jaket di sandaran kursi kerja berwarna biru elektrik. Senyum dan rasa berbunga menghiasi wajah dan dadaku.

“Terima kasih, A’” Jawabku, berharap si pengirim pesan kembali mengetikkan sesuatu, namun ternyata tidak. Pria yang biasa kupanggil Aa’ itu hanya me-read tanpa berkata apapun lagi.

Aku berinisiatif mengirim pesan lagi. “Sudah di lokasi proyek, A’? Apakah hari ini lembur?” 

Dia kembali mengetik, dan aku nyaris melompat dari kursiku saking senangnya. “Hari ini gak lembur, Sayang. Aa’ juga sudah di lokasi proyek. Nanti lagi ya, ada tukang yang sedang melapor pekerjaannya.” 

That”s enough for this morning!” teriakku tanpa sadar. Seketika aku malu melihat mata teman-teman kerja seruangan menatapku penuh tanya. 

Aku terpaksa menjelaskan kepada mereka bahwa suamiku yang saat ini bekerja di Jawa Timur, baru saja menghubungi. Mereka pun maklum dan segera kembali tak peduli.

Ya, pria itu suamiku, suami yang baru dua minggu lalu menjadikanku pasangan hidupnya. Dan meninggalkanku di rumah kontrakan kami yang lumayan besar untuk ditinggali seorang diri. Hiks, aku jadi teringat bagaimana suamiku itu susah payah mengajukan permohonan pindah kerja dari perusahaan tempat dia bekerja agar bisa selalu bersamaku setelah kami menikah. 

Atasannya menyayangkan kepindahannya, dan mungkin tidak rela jika dia harus pindah. Oleh karena itu, atasannya menggunakan berbagai cara agar dia tetap bekerja di Sidoarjo. Pak Bram, nama atasan suamiku, memberinya proyek besar lagi untuk suamiku tercinta itu, hahah! I really love him, you know?! 

Proyek itu memakan waktu 2 tahun. Ih! Kalau bukan karena ayah dan ibu mertua yang begitu baik itu membujukku untuk bersabar, sudah kucakar-cakar wajah Pak Bram!

Aku membuka laptop dan memulai pekerjaan. Cuti pernikahan satu minggu membuat banyak pekerjaan yang tertinggal. Belum lagi surat-surat yang belum sempat kuekspedisi ke divisi lain sebelum cuti.

Hadeuh! Segera kubereskan semua hari ini, supaya nanti malam aku bisa berlama-lama ngobrol dengan suami tersayang. Aku tersipu sendiri, lama-lama mereka bisa menyangka aku sudah tidak waras wkwk.

“Braaakk!!” Aku menabrak Pak Abi.

“Yu, kamu gak apa-apa, kan?” Tanya Pak Abi yang semua berkas terjatuh.

Dia adalah manajer di tempatku bekerja. Meski berbeda divisi, tetapi ruangan kami bersebelahan. Semua berkas dan surat-surat yang hendak kubawa ke divisi Pak Abi kini berserakan di lantai. Aku buru-buru memungut semuanya, merapikan sekadarnya dan segera berdiri menghadap Pak Abi.

“Selamat pagi, Pak” sapaku menghilangkan kejengahan.

“Maaf, Pak. Saya menabrak Bapak” Wajahku saat ini mungkin sudah seperti kepiting rebus, memerah tak tentu arah.

“Mengapa minta maaf, Yu? Saya yang tabrak kamu. Berkas-berkas itu semua mau dibawa ke dalam, kan?” Tanyanya tanpa melepas senyum dari wajahnya yang tampan. 

“Ingat Yu, kamu baru saja menikah!” Rutukku dalam hati, berniat bergegas meninggalkannya.

“Oh ya, selamat buat pernikahan kamu ya, Yu. maaf saya tidak bisa hadir waktu itu. Pernikahan kamu benar-benar mengagetkan saya”

Ucapan Pak Abi berhasil membuat langkahku berhenti. Aku memejamkan mata sekejap, mengumpulkan keberanian dan energi, membentuk sedikit senyum di wajahku, dan berbalik menghadapnya.

“Ah iya, Pak. terima kasih buat ucapan selamatnya, Pak.” 

Aku tidak berkomentar untuk ucapan terakhirnya. Kaget? Bukankah sudah berkali-kali kukatakan padanya bahwa aku akan menikah? Bukankah sudah berkali-kali juga dia seperti mendekatiku tetapi kemudian menjauh?

Berengsek!” Ucapku lirih.

“Kamu bilang apa, Yu?”

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Saya bilang ringsek, iya, berkas yang ini agak ringsek karena tadi terjatuh.” Jawabku asal.

“Saya permisi, Pak.” Segera kutinggalkan si berengsek itu eh Pak Abi dan menemui sekretarisnya. Aku menyerahkan seluruh berkas dan surat-surat yang tertunda. Untungnya, semua surat-surat itu tidak ada yang urgent, jika tidak habislah aku.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 16.00 wib. It’s time to go home. Aku meregangkan tangan dan meluruskan punggungku. Ternyata, dua minggu di rumah saja membuat ketahanan tubuhku menurun. Rasa lelah dan ngantuk mulai menyerangku. Aku segera berpamitan pada teman-teman yang mengambil lembur hari ini. 

Aku sedang tidak butuh uang lembur, uang suamiku banyak haha.” Pikirku angkuh.

Aku melaju di jalanan ringroad dengan motor andalanku, menuju rumah kontrakan yang sudah disiapkan suamiku. Dari jauh, sudah kulihat atapnya yang terbuat dari tanah liat bercat merah (baca: genteng), seperti menyapaku ramah. Ternyata menikah sebahagia ini, aku harap bulan ini Aa’ bisa pulang ke Medan.

A’, akhir bulan ini jadi pulang kan?” Aku mengiriminya pesan selepas salat maghrib. Tidak ada jawaban, bahkan pesanku masih centang satu. 

Aku mencoba meneleponnya, tetapi selulernya tidak aktif. Rasa cemas dan khawatir mulai menyerangku. Aku bertanya-tanya, apakah terjadi sesuatu padanya di lokasi proyek? Tidak biasanya suamiku seperti ini, biasanya dia akan langsung menjawab pesanku, bahkan meneleponku dan ponselnya selalu aktif.

Malam kian larut dan aku masih memandangi layer ponselku, berharap centang satu menjadi dua dan berwarna biru. Aku mulai merasakan kegelisahan yang luar biasa, aku memutuskan mencoba menelepon ayah dan ibu mertuaku, mungkin mereka tahu di mana suamiku itu berada. Namun, aku baru ingat, aku tidak pernah memiliki nomor ponsel mereka.

“Kok bisa aku lupa menyimpan nomor mereka ya?” Rutukku pada diri sendiri.

Dddddrrrrtttt…. Ddddddrrrrtttt…

Ponselku berbunyi nyaring dan bergetar hebat, volumenya memang sengaja kunaikkan tadi sebelum tidur, agar aku tidak melewatkan pesan maupun panggilan dari suamiku. Aku melihat ke layar ponsel,  muncul sebuah nama dengan huruf kapital ‘BOS ABI GILA’ sedang menelponku. Aku menerima panggilannya dan perlahan mendekatkan ke telingaku dengan ragu.

“Yu Tan! di mana kamu?! Saya ada meeting pagi ini dan Priska bilang semua dokumen yang saya perlukan ada di kamu, kan? Halo? halo? Kamu budek ya?!”

Aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku, melemparnya ke atas kasur, mencoba fokus. Mengumpulkan nyawaku yang masih tercerai-berai, aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan dan segera melihat jam yang tergantung di dinding, aku melirik kalender meja.

"Astagfirullah! Ini hari Senin! Ada meeting hari ini!"

Aku melihat sekeliling, ini kamar kontrakanku, bukan rumah yang kulihat kemarin, yang dikontrakkan oleh Aa’, suamiku. kulihat jemariku, tidak ada cincin pernikahan kami. Kupejamkan mata dan ponselku berbunyi. Ada sebuah pesan panjang di sana.

Assalamu’alaikum, maaf, Yu. Keluarga saya tidak menyetujui hubungan kita. Saya tidak mungkin membantah mereka, kan? Saya harap kamu dapat mengerti, hubungan jarak jauh ini mungkin tidak akan berhasil. Saya sekali lagi mohon maaf. Saya pamit ya, Yu” Begitu isi pesan darinya.

Aku terkulai lemas, bukan karena mendadak dibentak oleh Pak Abi, bukan juga karena tiba-tiba diputuskan sepihak oleh pacarku dengan hubungan LDR ini. Tetapi, aku terkejut dengan kenyataan,  ternyata semua hal indah itu, hanya sebatas mimpi!

Tentang Penulis:

Saya Wahyunita, seorang ibu dari sepasang anak laki-laki dan perempuan yang berusia sembilan dan delapan tahun. Lahir di Langkat pada 20 Nopember 1982. Bekerja sebagai ASN di Kementerian Pertanian. Berdomisili di Kota Medan sejak tahun 2014. Memiliki hobi membaca fiksi, menonton thriller, bernyanyi dan menulis.

Ketika impianmu terlihat tidak bisa dicapai jangan ubah impianmu tapi ubahlah cara mengejarnya” – Motto hidup
Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments