BLANTERWISDOM101

CERPEN: Bakti Seorang Bakti

Sabtu, 29 Januari 2022

 

Bakti Seorang Bakti

Oleh: Siti Tridia Utamy


 (Ilustrasi: Liputan6.com)

            Sejak memasuki gerbang hingga parkiran, mata-mata itu tak berkedip sedikit pun menyoroti Bakti yang tampak kepayahan menurunkan wanita tua dari motor butut yang baru selesai ia cagak.

“Ayo, Bu.

Wanita tua itu tak menjawab, tangannya berpindah ke lengan Bakti, mengamitnya bak anak kecil yang takut kehilangan ibu di tengah keramaian.

“Kasihan.”

“Kasihan.”

Bisik-bisik kerap terdengar setiap Bakti membawa wanita tua itu bersamanya. Entah karena Bakti seorang lajang tua yang tak kunjung menemui jodoh di umur yang beranjak kepala empat, atau orang-orang hanya risih melihat wanita tua yang selalu merepotkan Bakti ke manapun ia pergi.

“Pak, kenapa nenek selalu ikut ke sekolah?” Tanya Danu kepada Bakti yang asyik menuliskan soal matematika di papan tulis.

Aktivitasnya terhenti, jemari kanannya memainkan kapur putih yang tinggal separuh hingga berontokan di lantai. Ditatapnya wanita tua yang tengah pulas di kursi paling belakang.

“Karena di rumah tidak ada yang menjaga nenek, jadi bapak tidak mau nenek kenapa-kenapa.” Bakti menyunggingkan senyum hangat.

Ada raut ketidakpuasan dari wajah anak yang bertanya. Yang ia inginkan adalah jawaban berbeda dari gurunya kali ini. Bukan berarti ia tidak suka ibunya Pak Bakti ada di sini, akan tetapi desas-desus kegelisahan dari orang tua murid yang selalu ia dengar telah membuatnya masygul.

“Aku sebenarnya kasihan dengan ibunya Pak Bakti. Tapi kan ini sekolah ya, bukan rumah.” Keluh seorang ibu muda berbaju biru kepada temannya yang sama-sama menunggu anaknya pulang sekolah.

“Iya, ya. Setiap hari Pak Bakti selalu membawa ibunya ke sekolah. Bahkan anakku bilang, tak jarang Pak Bakti meminta anak-anak untuk bantu jaga ibunya.”

“Aku khawatir anak-anak kita tidak bisa fokus belajar. Kenapa dia tidak bayar orang lain saja untuk merawat ibunya di rumah?”

“Aku pikir memang baiknya begitu. Kasihan ibunya harus ikut dia ke sana ke mari.”

“Kalau begini terus, aku jadi ingin memindahkan anakku ke sekolah lain.”

Topik mengenai Bakti tak pernah alpa menjadi perbincangan hangat di kalangan wali murid. Hampir semua orang tua menganggap kehadiran ibunya Pak Bakti hanya akan mengganggu konsentrasi belajar anak-anak mereka di sekolah ini.

Seorang anak laki-laki menghampiri ibu muda berbaju biru tadi. Setelah berpamitan dengan temannya, ibu muda menggandeng tangan anaknya menuju parkiran. Namun langkah mereka terhenti karena si anak berhenti mendadak.

“Pak!”

“Oh, Danu. Mau pulang juga, ya?”

“Iya, Pak.”

Ibu muda memaksakan senyum canggung kepada wali kelas anaknya.

Setelah guru itu berlalu dengan motor butut dan wanita tua yang memeluknya dari belakang, anak yang bernama Danu itu meraih tangan ibunya dan menggenggam erat. Ibunya kaget, tetapi si anak hanya tersenyum penuh arti.

“Bu...”

“Hem?”

Danu mengamati wajah ibunya yang tengah fokus menyetir.

“Kalau nanti aku sudah besar, aku yang akan mengantar ibu ke sana ke mari.”

Ibu muda itu mengernyitkan dahi, “Kamu kenapa sih, kok tiba-tiba?”

Danu menggeleng lemah.

“Bu, berhenti, Bu! Itu Nenek!”

Ibu muda menginjak rem, memarkirkan mobilnya ke tepi jalan agar tak menghalangi pengguna jalan lain.

“Nenek mau ke mana?” tanya Danu cemas.

Wanita tua itu bergeming, tatapannya kosong. Entah dia tidak nyambung dengan apa yang ditanyakan anak ini atau bahkan dia pura-pura tidak dengar meskipun Danu sudah lima kali melontarkan pertanyaan yang sama.

Tak berapa lama, tampak sosok laki-laki berlari menghampiri mereka. Laki-laki itu berhenti dengan napas terengah-engah di depan wanita tua dengan mata sembab yang memerah.

“Kenapa kamu tidak ke sekolah?” kalimat pertama yang keluar dari mulut si wanita tua dengan polosnya.

Laki-laki itu tak menjawab, bulir-bulir air mata mengintip di netranya. Tangisnya tumpah ruah begitu ia peluk tubuh renta wanita itu erat-erat. Kehilangan ibu selama lima menit saja sudah cukup membuat hatinya terkoyak.

Ada rasa nyeri yang mengusik relung hati si ibu muda. Danu refleks menggenggam tangan ibunya tanpa tahu harus berbuat apa.

“Tadi aku hanya meninggalkan ibuku sebentar di motor, karena ada yang harus kubeli di mini market.” Terang laki-laki itu kepada ibunya Danu tanpa diminta. Wajahnya yang tadi kusut akibat air mata mendadak cerah kembali begitu menjelaskan asal mula tersesatnya wanita tua tadi.

Laki-laki itu mengelus kepala muridnya lembut sebelum pamit lagi sambil menuntun wanita tua, meninggalkan Danu yang melambaikan tangan riang. Sementara ibu muda masih kebingungan dengan perasaan yang tak bisa ia mengerti.

Seperti yang telah dijanjikan kepala sekolah sepekan yang lalu, maka keesokan hari di hari Minggu ini diadakan rapat khusus antara kepala sekolah dan para wali murid guna mencari solusi atas keresahan yang ditimbulkan seorang guru. Tentunya rapat ini tanpa sepengetahuan guru yang bersangkutan.

Kepala sekolah memasuki dua ruang kelas yang sekat pembatasnya telah dibuka agar dapat lebih banyak menampung wali murid yang menghadiri rapat di hari ini. Setelah mengucap salam dan berbasa-basi, kepala sekolah langsung membahas inti permasalahan.

“Saya telah mendapat banyak laporan dari para wali murid tentang Pak Bakti, bahwasanya tindakan beliau yang selalu membawa ibunya ke sekolah dianggap mengganggu kenyamanan siswa di sekolah ini.”

Seisi ruangan riuh bagai dengung lebah.

“Tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya bapak dan ibu sekalian mau mendengar cerita saya tentang Pak Bakti dengan saksama.”

Tawaran kepala sekolah berhasil meredakan atmosfer yang tadinya memanas.

“Pasti tidak ada di sini yang tak kenal Pak Bakti, karena saya yakin yang hadir di sini adalah orang-orang yang ingin Pak Bakti dipindahkan.”

Para wali murid mengangguk setuju. Kepala sekolah dengan sigap melanjutkan cerita dengan lantang sebelum seisi ruangan kembali ricuh.

“Saya sudah menanyakan banyak hal kepadanya, termasuk menawarkan pengasuh untuk merawat ibunya agar ia tak perlu membawanya ke sekolah lagi. Bila perlu biayanya saya yang menanggung. Tetapi, apa jawabnya?”

Kepala sekolah menjeda cerita, memberi kesempatan bagi orang lain berasumsi.

“Dia cuma punya ibunya, ibunya juga cuma punya dia. Dia tidak bisa membiarkan orang lain yang merawat ibunya. Karena dulu pun, ibunya hanya seorang diri melahirkan, merawat, dan membesarkan dia sejak kecil. Jadi, dia rasa tidak adil jika membiarkan ibunya dirawat orang lain, apalagi dibiarkan tinggal di panti jompo.”

Hening. Hanya deru napas yang sekarang terdengar di ruangan itu.

“Ibunya menderita demensia alzheimer atau yang biasa kita kenal pikun akut. Saking parahnya, kadang bisa membuat ibunya tidak bisa menyendok makanan sendiri, buang air sembarangan, dan lupa cara mandi. Semuanya Pak Bakti sendiri yang mengurus. Jadi, jangan mengira ibu beliau baik-baik saja sementang masih bisa berjalan tegak.”

Kepala sekolah meraih gelas berisi air putih di meja guru dan meminumnya.

“Terakhir, Pak Bakti itu dikenal sebagai guru teladan. Banyak sekolah favorit yang membujuknya untuk mengajar di sana. Tetapi, semuanya ditolak, karena tidak mau jauh-jauh dari ibunya. Jadi, sebenarnya kita beruntung sekali, orang sepintar dia mau mengajar di sekolah ini.”

Kondisi air muka para wali murid kini sangat kontras dengan setengah jam yang lalu.

“Sekarang pilihan ada di tangan bapak dan ibu sekalian. Bagi siapa saja yang menginginkan Pak Bakti dipindahkan, silakan tulis nama dan tanda tangan di sini.Kepala sekolah memegang kertas berisi tabel pemungutan suara.

Tak ada yang peduli, satu persatu wali murid keluar meninggalkan kertas putih yang teronggok begitu saja di meja guru.

Tentang Penulis 

Siti Tridia Utamy mahasiswa Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINSU. Bergiat di FLP Medan.


Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments