(Sumber Gambar : Kindpng)
“Idul
Fitri dapat disebut hari raya kemenangan. Pada hari itu, kaum beriman yang
telah menunaikan ibadah Ramadan meraih kemenangan dengan terlahir kembali
kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan kuat hati,” (Din Syamsuddin, Ketua PP
Muhammadiyah 2005-2015)
Bulan Ramadan telah usai, bukan berarti ujian menahan emosi telah selesai. Gorengan bukaan puasa telah berganti dengan opor ayam. Dahaga sehari-hari terbalas dengan kaleng soda tiga kali sehari. Tak lupa juga, gibah yang tertahan berhasil terlampiaskan pasca Ramadan ini. Habit transformation yang mencolok sekali, bukan? Seolah semua pantangan selama bulan Ramadan berhasil bebas dari sekat-sekat rantai penjajahan.
Bukan, kita belum menemui titik puncak dari drama Idul Fitri. Semua berawal dari ritual sosialnya. Tak lengkap rasanya menyambut hari yang dianggap penyucian diri tanpa silaturahmi. Sayangnya, suasananya sedikit berubah sejak diterbitkannya Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 yang melarang mudik ke kampung halaman tercinta.
Sebagai warga negara yang baik, hendaknya kita mentaati aturan tersebut demi kebaikan bersama. Meskipun beberapa pemudik berhasil curi-curi titik start sebelum adanya larangan mudik pada 22 April 2021, kita anggap saja mereka benar-benar memendam kerinduan. Kalau kita menanyakan pejabat pemerintahan yang tidak pulang kampung, bercontohlah pada orang nomor satu di Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Mereka rela bersilaturahim dengan keluarga secara daring dari Istana Kepresidenan Bogor.
Tetapi, Ada yang Tidak Berubah
Sebanyak apapun perubahan yang terjadi saat silaturahmi, entah pandemi, tidak pandemi, bertemu langsung, ataupun bertemu virtual, ada satu hal yang tidak berubah, apakah gerangan? Ya, tentu kita masih kejang-kejang saat menunggu pertanyaan toxic dari siapapun. Sekilas pertanyaan “kapan lulus?”, “kapan nikah?”, “kapan lolos tes PNS?”, dan pertanyaan bullshit lainnya hanya bercanda saja. Tetapi, apakah sepsikopat itu mereka menanyakan apa yang tidak seharusnya ditanyakan kemudian menganggap itu sebuah kebahagiaan?
Mengapa Masih Terjadi?
Menurut Psikolog Klinis Dessy Ilsanty, kita memang ada naluri untuk menanyakan kabar dan berbasa-basi agar komunikasi yant terjalin berjalan lancar. Anehnya, harus sekali ya menanyakan ranah privasi orang lain? Contohnya ketika menanyakan “kapan nikah?” kemudian ditambah bumbu-bumbu seperti “nanti kalau makin tua, susah punya anak” dan “kalau kelamaan, gak ada lagi yang mau nanti”. Sebenarnya pertanyaaan “kapan nikah?” masih tergolong aman bagi seorang bermental baja, tetapi haruskah ada pertanyaan intimidatif lanjutan sebagai penjelas hina sekali diri kita ini?
Lebih Baik Berikan Solusi Bukan Hujanan Maki-Maki
That’s fine mereka bertanya seperti itu, asalkan diberi solusinya bukan hujatan dari mulutnya. DIbanding bertanya “kapan nikah?”, lebih baik mengatakan “Eh, kemarin Tante ada kenal anaknya bapak A lho. Udah cantik, taat agama pula. Kamu kan belum nikah, mau dikenalin gak?”. Apakah kalian pernah bertemu dengan penawaran seorang malaikat dunia tersebut? Pasti tidak pernah, hehehe.
Begitu juga dengan pertanyaan “kapan lulus kuliah?”, bukankah lebih baik diganti dengan “mau Om bantu kerjain skripsinya?”. Tak lupa juga jawaban “Om masih ingat beberapa soal CPNS tahun lalu, mau belajar bareng?” untuk pertanyaan “kapan jadi PNS?”. Oh ya, daripada nanyain kapan kamu dapat kerja, mendingan mereka kasih setumpuk lamaran kerja kepadamu, bukan?
Begitulah orang Indonesia. Tiga puluh hari menahan gibah saat Ramadan dan cukup satu menit meruntuhkannya. Jadi apa sebenarnya yang kita petik selama berpuasa kemarin? Kalau jawabannya hanya lapar dan dahaga tanpa perkembangan akhlak serta empati, betapa ruginya kita selama ini. Sepertinya, orang Indonesia perlu belajar dari kutipan berikut,
“Orang yang memiliki jiwa pemimpin, fokus pada solusi. Orang yang fokus pada masalah biasanya hidupnya bermasalah” (Jamil Azzaini, CEO Kubik Leadership).
Tidak heran survei Digital Civility Index (DCI) dari Microsoft menyatakan warganet Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Ternyata memang berakar dari kebiasaan sehari-hari terbawa ke dunia maya. Miris rasanya, bukan? Indonesia sebagai negara mayoritas Islam di dunia malah tidak melambangkan adab seorang Muslim yang seharusnya.
Bagaimana Kita Menanggapi Pertanyaan Toxic?
Jangan takut, berikut kita akan kupas tuntas tiga cara menanggapi pertanyaan toxic saat silaturahmi:
Menurut Psikolog Klinis Veronica Adesla, kita harus positive thinking dengan mereka. Barangkali mereka benaran care dengan kita, bukan? Setelah itu, kita ukir senyum terindah dan menjawab “mohon doa terbaik ya”. Kemudian, alihkan topik obrolan menarik lainnya sehingga tidak berlama-lama membahas hal tersebut. Cukup mudah ya!
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Chandra Kirana menganjurkan mengajak ngobrol dua arah saja daripada sibuk menasihati satu arah sehingga terkesan menggurui. Padahal, zaman antara orang tua dan anak sekarang sudah berbeda, yang berarti pandangan hidup juga tak lagi sama. Dengan mengobrol diskusi, tidak ada penamaman nilai satu arah, tetapi cenderung terbukanya wawasan baru kedua pihak tersebut agar bisa memahami satu sama lain. Pastinya tidak sulit untuk saling diam dan mendengarkan pendapat masing-masing, kan? Psikolog Roslina Verauli menyarankan untuk membagi topik pertanyaan sesuai jenjang umur. Contohnya, jangan menanyakan mengenai karir dan jodoh kepada kaum dewasa awal (20-30 tahun), karena mereka masih jatuh bangun meniti jalan tersebut. Pertanyaan seputar karir dan jodoh lebih baik ditanyakan kepada kaum dewasa (30-40 tahun) karena sudah memiliki kestabilan dalam aspek tersebut. Bagaimana dengan kaum lansia? Lebih baik memuji kondisi badannya yang masih sehat dan awet muda, jangan lupa menanyakan apa saja rahasianya. Dengan begitu, mereka merasa dihargai.
Momen silaturahmi saat pandemi maupun tidak sama-sama mengandung kesakralan di dalamnya. Kehangatan bisa berkumpul bersama memiliki nilai tersendiri bagi kaum perantauan. Oleh karena itu, jangan sampai kehangatan tadi menjadi panas membara dengan pertanyaan privasi tidak berguna kecuali memang berniat membantu. Semoga tiga tips di atas dapat diterapkan dalam keseharian agar kita terlepas dari jeratan toxic questions dari keluarga sendiri.
Tentang Penulis
Seorang pemuda kelahiran 27 April 2001 bernama Aryadimas Suprayitno. Saat ini menempuh pendidikan dalam program S1 Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. Alhamdulillah sudah sering mengisi seminar kepenulisan dan persiapan kampus, bahkan mengadakan Kelas Online Menulis Non Fiksi. Tulisan lainnya dapat dilihat pada link https://linktr.ee/artikelaryadimas.
0 comments