Ilmu
merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, bahkan terdapat anjuran
menuntut ilmu dimulai sejak lahir hingga akhir hayat. Selain itu pada Al-Qur’an
Surat Al Mujadilah ayat 11 juga disampaikan bahwa Allah akan meninggikan
derajat bagi orang-orang berilmu. Adapun sarana untuk menuntut ilmu dapat
melalui lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non formal.
Pendidikan
formal merupakan jalur pendidikan berjenjang yang diakui oleh negara, adapun
tingkatan pendidikan formal di Indonesia dapat dimulai dari PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini), TK (Taman Kanak-Kanak), SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah
Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) dan Perguruan Tinggi.
Untuk
mengikuti pendidikan formal memiliki persyaratan tertentu yang harus dipenuhi
oleh calon peserta didik, berupa usia, domisili, nilai akademik hasil belajar
dan bahkan harus mengikuti ujian atau tes yang diselenggarakan khusus dalam
rangka menyeleksi peserta didik.
Kriteria
setiap lembaga pendidikan baik dari jenjang PAUD hingga Perguruan Tinggi dalam
menyeleksi peserta didik memiliki perbedaan, hal ini karena negara juga
mengklasifikasikan lembaga pendidikan berdasarkan akreditasi. Alhasil, hanya
orang-orang yang mampu bersaing yang akhirnya mendapatkan lembaga pendidikan
berakreditasi baik.
Lolos
di lembaga pendidikan bergengsi dengan akreditasi baik menjadi cita-cita setiap
anak dan orang tua. Anak menjadi bangga apabila dapat belajar di tempat yang
berakreditasi baik dan bagi anak yang belum mampu bersaing harus belajar di
tempat yang tidak memiliki fasilitas sebaik lembaga pendidikan berakreditasi
tersebut. Esensi menuntut ilmu sedikit terabaikan, beralih menjadi ajang
memperebutkan lembaga pendidikan.
Hampir
satu tahun ini, seluruh dunia terkena pandemi yang mengakibatkan lembaga
pendidikan formal terpaksa menghentikan pembelajaran tatap muka dan kegiatan
belajar mengajar dialihkan melalui daring. Anak yang masih di jenjang SD hingga
SMA harus menyesuaikan diri dan lebih mandiri selama pembelajaran karena
kebanyakan guru di sekolah hanya memberikan tugas atau soal yang dikerjakan
tanpa penjelasan dan pemaparan sedetail saat belajar tatap muka.
Pendidikan
non formal menjadi solusi pembelajaran tatap muka karena mampu menerapkan protokol
kesehatan dengan pembatasan jumlah peserta didik dalam satu kelas, selain itu
pendidikan non formal diharapkan mampu membantu dalam pembelajaran karena
proses belajar secara daring yang dilakukan oleh pendidikan formal dinilai
tidak efektif karena guru hanya memberikan tugas namun tidak memberikan
penjelasan atau pemaparan materi belajar. Orang tua mulai tersadar mendapati
anaknya tidak dapat belajar maksimal, sehingga pendidikan non formal berupa
lembaga bimbingan belajar dipilih untuk mendampingi anak dalam belajar.
Lembaga
bimbingan belajar tidak hanya dianggap sebagai pendamping belajar anak, namun
dianggap sangat menentukan kelulusan anak saat akan melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Padahal, tingkat kelulusan anak juga sangat ditentukan
oleh kemampuan anak sendiri dan peranan orang tua dalam menciptakan kondisi
yang nyaman untuk belajar dirumah.
Sebagai
seorang konsultan pendidikan, saya seringkali mendengar target yang diberikan
orang tua, ‘Bu, target anak saya adalah Universitas Gajah Mada dengan jurusan Ilmu
Komunikasi’ atau ‘Bu, anak saya harus
melanjutkan sekolah di SMA Unggulan Matauli’ dan lain sebagainya. Terkadang
saya akan melontarkan pertanyaan untuk menanggapi ‘Ibu ingin si adik mempelajari ilmu di jurusan tersebut atau hanya ingin
dia belajar di tempat itu?’ Pertanyaan yang saya lontarkan tersebut dapat
membuat para orang tua terdiam dan terlihat sedikit berfikir
Memang
tidak bisa dipungkiri, anak yang bisa lolos di sekolah atau perguruan tinggi
dengan kualitas dan akreditasi baik lebih sering disanjung dan dipuji daripada
anak yang lainnya, apakah anak lainnya yang tidak berkesempatan untuk meraih
tempat belajar yang berkualitas dan akreditasi baik tak layak dipuji? Padahal
kedua kategori anak tersebut sama-sama sedang menuntut ilmu.
Ya,
tentu kita harus berfikir ulang mengenai makna dan tujuan menuntut ilmu. Apakah
benar ingin mencari ilmu atau hanya sekedar menuntut puji ?
Tentang Penulis:
M. Khamdiyah lahir di
Aceh Barat, 5 Mei 1995, merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Berkuliah di
Ilmu Administrasi PublikUniversitas Sumatra Utara Angkatan 2013. Tergabung di
Relawan Rumah Zakat Medan Angkatan 12 dan Forum Lingkar Pena Medan Angkatan 8.
Karya yang sudah dibukukan dapat dibaca pada antologi cerpen Langkah Tak Beraturan,
Antologi Cerpen Merantau ‘Setiap Pergi, Sejarang Pulang’ dan Antologi Cerpen Abdiku Untuk Baktiku.
0 comments