BLANTERWISDOM101

KARYA PILIHAN: Pembawa Sial

Minggu, 15 November 2020

 

Ilustrasi

Nunik terpegun di kamar mandi. Di hadapan gadis itu terdapat ember yang berisi air dengan kembang tujuh rupa. Bibinya berpesan agar air di ember itu diguyurkan ke seluruh tubuh. Tanpa sisa. Tiap guyuran harus pula disertai dengan mengusapkan kembang-kembang itu di permukaan kulit. Pesan yang lebih bernada perintah.

Tidak ada sedikit pun keberanian gadis itu untuk menolak perintah adik perempuan bapaknya. Lagi pula, wanita itu sudah seperti ibu kandung sendiri bagi Nunik. Diahanya  tidak memahami kenapa harus mandi kembang tujuh rupa tepat sehari menjelang pernikahannya.

Bukan sekali dua dia melakukan ritual yang tidak masuk akal. Mandi garam, memakai gelang benang tiga warna, minum air tujuh sumur, hingga makan bunga kantil pernah dilakukannya. Semua atas perintah bibinya.

Buang sial. Begitu selalu yang dijawab Sumimah, bibinya, setiap kali Nunik bertanya. Kemudian wanita paruh baya itu akan menceritakan tentang tradisi ruwatan. Suatu ritual penyucian dosa dalam budaya masyarakat Jawa yang dipercaya bisa menghindarkan diri dari kesialan. Cerita itu selalu diakhiri dengan angan-angan sang bibi melakukan ruwatan untuk Nunik, jika saja mempunyai cukup uang.

Dulu, Sumimah tidak mempercayai hal-hal yang berbau takhayul seperti itu. Bahkan, setiap kali bapak mengamuk dan memarahi Nunik karena kesialan yang dibawanya, Sumimahlah yang selalu melindungi. Meskipun mereka berdua tetap saja tidak berdaya menghadapi murka lelaki yang sudah ditinggal mati istrinya tersebut.

Nunik awalnya tidak pernah memahami mengapa dia dianggap sebagai pembawa sial. Hanya saja, kata-kata itu selalu didengarnya setiap kali bapak menghardiknya. Lelaki itu memang tidak pernah berlaku lembut pada gadis malang tersebut. Berbeda sekali dengan perlakuan bapak pada kakaknya. Sampai akhirnya alasan itu dia pahami sendiri.

***

“Dasar anak pembawa sial!” hardik bapak beberapa tahun lalu saat Nunik berusia enam tahun.

“Kau mau membunuh kakakmu, ya!” bentaknya kemudian.

Nunik ketakutan mendengar suara bapak yang menggetar. Dia menunduk pasrah. Air matanya menetes perlahan diiringi suara sesenggukan. Nunik tahu, jika dia menangis dengan keras, kemarahan bapak akan semakin besar.

Tidak ada niat untuk mencelakakan. Dia hanya ingin ikut bermain dengan kakaknya yang baru dibelikan sepeda. Sekalipun hanya kebagian memegangi dan mendorong saat sang kakak mengendarai. Itu cukup membuatnya bahagia. Namun, nahas. Kakaknya hilang keseimbangan dan terjatuh di parit dan terluka cukup parah. Itulah yang menjadi sebab kemarahan bapak padanya.

Bapak bangkit dan mendekat. Nunik berusaha sekuat tenaga menyembunyikan tangisannya. Terlambat. Telinga lelaki itu sempat menangkap suara sesenngukannya.

“Diam kau, anak sial!” Tangannya mulai terangkat.

Berkali-kali tangan itu terayun ke tubuh Nunik. Sekalipun dia sudah tersungkur, bapak tidak juga menghentikan perbuatannya. Hidung gadis kecil itu bahkan kini telah mengeluarkan darah.

Sumimah terkejut melihat pemandangan di depannya. Dia, yang baru pulang dari mengantar jahitan, segera menghambur memeluk tubuh Nunik.Sempat beberapa kali dia juga menerima pukulan dari abangnya.

“Cukup, Bang!” teriaknya menyadarkan lelaki yang kalap itu.

Bapak mengusap wajah. Dia kemudian menunjuk-nunjuk Nunik. Raut kekesalan masih terlihat jelas di permukaan wajahnya.

“Dia … sudah membunuh ibunya!” geram bapak, “sekarang dia mau membunuh kakaknya!” Dadanya turun naik menahan marah.

“Dia tak tahu apa-apa, Bang. Semua tak ada hubungan dengannya,” Suara Sumimah tidak kalah tinggi. Lelaki itu mengempaskan tangan kemudian berlalu dari hadapan mereka.

Nunik menatap Sumimah. Pandangannya yang sendu mengandung tanya yang belum terjawab. Pertanyaan tentang perilaku kasar bapak. Pertanyaan kenapa dia dianggap sebagai pembawa sial, dan tentang ibunya.

“Kenapa, Bi?” tanyanya masih dalam isakan, “kenapa bapak bilang Nunik yang membunuh ibu?”

Bibinya mendengkus.Dia masih memilih diam. Sulit baginya menjelaskan yang sebenarnya pada gadis berusia enam tahun itu.

“Jawab, Bi!” desak Nunik sambil mengguncang tubuh Sumimah.Wanita paruh baya itu paham bahwa pelukan yang selama ini diberikannya sebagai jawaban, tidak akan mampu lagi membendung rasa ingin tahu gadis itu.

“Ibumu meninggal saat melahirkanmu,” jawab bibinya setengah bergumam.

“Jadi benar Nunik yang membunuh ibu? Karena itu bapak selalu marah sama Nunik.” gadis kecil itu mencoba menyimpulkan.

“Bukan begitu.” Sumimah menyadari sesuatu.

Nunik tersenyum kecut. Tatapannya kini benar-benar kosong. Dia berbalik, menunduk, kemudian melangkah meninggalkan Sumimah yang menyesali diri telah menjawab pertanyaan gadis itu.

***

Peristiwa mengenaskan itu berkelindan di ingatan Nunik. Belakangan, dia baru menyadari peristiwa itu meninggalkan luka yang tidak pernah kering di hatinya. Butiran air mata menetes seiring basuhan air kembang tujuh rupa di wajahnya.

Pagi itu, jika bukan karena rengekan sang kakak, tidak ada sedikit pun keinginan Nunik untuk ikut bersama bapak mengantarkan kakaknya ke sekolah. Bapak juga tidak kuasa menolak permintaan putri kesayangannya itu. Meskipun dengan berat hati, lelaki itu turut menaikkan Nunik ke atas sepeda motor.

Sepanjang perjalanan, Nunik lebih banyak diam. Dia tidak ingin melakukan hal yang mungkin bisa mengundang kemarahan bapak. Tangannya kuat menggenggam baju lelaki itu dari belakang, sementara sang kakak, yang duduk di depan, terlihat riang menikmati pemandangan. Bapak sesekali mengelus rambut kakaknya yang tergerai. Hal yang tidak pernah dilakukannya pada Nunik.

Lelaki paruh baya itu lengah. Sepeda motornya mengarak ke tengah jalan. Sebuah mobil SUV dari arah berlawanan menabrak dengan keras kendaraan roda dua tersebut. Nunik terlempar ke beram jalan, sementara kakak dan bapaknya terseret hingga beberapa meter. Keduanya meregang nyawa di tempat kejadian.

Nunik termangu menatap dua tubuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia terduduk diam di tengah kerumunan orang yang mulai berduyun mendatangi tempat kejadian. Haruskah dia menangis? Atau bahagia karena orang yang selalu berbuat kasar padanya telah meninggal? Saat itu, Nunik benar-benar tidak memahami apa yang dirasakannya.

***

Perilaku Sumimah berubah setelah peristiwa kecelakaan yang menimpa bapak. Dia mewarisi pemikiran abangnya. Nunik merupakan pembawa sial di rumah ini. Pemikiran yang lamat laun mengakar di kepalanya. Bahkan, alasan mengapa sampai saat ini wanita yang berprofesi sebagai penjahit itu belum menikah juga karena turut ditimpa kesialan yang dibawa Nunik.

Wanita paruh baya itu selalu membawa Nunik ke dukun atau tempat-tempat yang dianggap sakral. Di tempat itu, dia akan memaksa Nunik melakukan ritual yangmenurutnya dapat menghindarkan kesialan.

Pernah sekali gadis itu menolak saat disuruh Sumimahberendam di sebuah sungai sepanjang malam. Apa yang diperintahkan adik perempuan  bapaknya itu tidak ada hubungan sama sekali dengan ujian kelulusan yang akan dihadapi Nunik. Namun, penolakan tersebut justru mengundang kemarahan sang bibi. Sumimah dengan beringas melibas tubuh kecilnya menggunakan beberapa lidi yang sudah diikat. Nunik ketakutan. Belum pernah dia melihat bibinya mengamuk seperti itu.Sebab itu pula dia tidak pernah berani membantah perintah wanita yang sudah merawatnya tersebut.

Syukurnya, Nunik berhasil lulus meskipun lewat ujian susulan. Dia tidak bisa hadir di ujian utama sebab keesokan harinya tubuh gadis itu terserang demam tinggi setelah berendam hampir semalaman. Namun, Sumimah malah berpikir bahwa ritual itulah yang menghindarkan Nunik dari ketidak lulusan..

“Kalau bibi ada uang, bibi akan buat ruwatan untuk kamu,” ujar Sumimah suatu hari.

“Sayang uangnya, Bi.” Nunik mencoba menawar niatan bibinya.

“Lah, kamu itu bisa lulus, ya, karena sudah buang sial kemarin!” Suara Sumimah mulai tinggi, “Kalau bapakmu masih ada, pasti sudah dibuatnya.”

“Kau harus melakukan ritual-ritual tertentu supaya sialmu itu lepas dari badanmu.”

Nunik terdiam menunduk. Tidak ada gunanya membantah ucapan Sumimah. Semenjak itu, banyak ritual aneh yang dilakukannya atas perintah sang bibi. Termasuk mandi kembang tujuh rupa menjelang hari pernikahannya ini.

***

Nunik menunggu dengan cemas. Riasan yang dikenakannya terlihat sedikit luntur sebab keringat yang menguar dari pori-pori. Berkali dia menyeka wajah dengan tisu yang sedari tadi digenggamannya.

Akad pernikahan yang direncanakan sudah mundur satu jam lebih. Rombongan pengantin pria masih belum juga sampai. Tuan kadi mulai gelisah di tempat duduknya. Berulang kali dia melihat jam yang melingkar di tangan. Ada satu pernikahan lain yang harus dihadirinya.

Beberapa tetangga sudah mulai kasak-kusuk membicarakan keterlambatan itu. Bahkan, ada yang menghubung-hubungkan dengan nasib sial yang dialami Nunik selama ini. Sayup-sayup suara-suara itu tertangkap telinga Nunik. Sekuat tenaga dia mengabaikan, tetap saja perih menyergap perasaannya.

Sumimah yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan gadis itu. Tangannya mengelus-elus pundak Nunik.

“Jangan khawatir. Mungkin di jalan sedang macet.” Sumimah mencoba menutupi kegelisahannya, “kamu, kan, sudah mandi kembang.”

Ucapan bibinya itu sedikit menawar kegelisahan Nunik. Kembali dia memperbaiki duduknya. Sebisa mungkin calon mempelai itu tetap menyunggingkan senyum meskipun raut gelisah tetap kentara di sana.

Seorang lelaki berpakaian batik tergopoh menghampiri mereka. Napasnya terengah seakan sedang diburu sesuatu. Mungkin juga karena kelelahan sebab sedari tadi dia melangkah dengan setengah berlari.

“Rombongan pengantin ….” Lelaki itu mengatur napas, “tertimbun longsor.”

Wajah Nunik seketika pucat. Pandangannya kabur. Seluruh sendi kaki terasa lemah. Hampir saja tubuhnya membentur lantai jika tidak segera ditangkap oleh Sumimah. Perlahan, suasana menjadi riuh. Sayup telinga Nunik menangkap sebuah suara sebelum akhirnya kehilangan kesadaran, “Kok bisa, ya? Bibi dan ponakan mengalami nasib yang sama?”


Tentang Penulis :

Muhammad Abduh Putra Panjaitan, pria kelahiran 25 agustus yang merupakan seorang guru di SMK Negeri 3 Medan. Sempat vakum dari dunia tulis-menulis beberapa tahun. Kini kembali menggeliat dan sudah menghasilkan beberapa antologi cerpen, Jejak Ingatan, Candramawa, dan Slice of Love. Satu antologi puisi, Adagium Renjana. Beberapa antologi lainnya sedang dalam proses cetak. Saat ini sedang merampungkan satu novel solo. Selain menulis, saya juga menggeluti dunia Spray Painting.

IG : @abdoeh25882

FB : Muhammad Abduh Putra Panjaitan (abdoeh25882)

Email : abduhpanjaitan@gmail.com.


Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments