Nunik
terpegun di kamar mandi. Di hadapan gadis itu terdapat ember yang berisi air
dengan kembang tujuh rupa. Bibinya berpesan agar air di ember itu diguyurkan ke
seluruh tubuh. Tanpa sisa. Tiap guyuran harus pula disertai dengan mengusapkan
kembang-kembang itu di permukaan kulit. Pesan yang lebih bernada perintah.
Tidak
ada sedikit pun keberanian gadis itu untuk menolak perintah adik perempuan
bapaknya. Lagi pula, wanita itu sudah seperti ibu kandung sendiri bagi Nunik.
Diahanya tidak memahami kenapa harus
mandi kembang tujuh rupa tepat sehari menjelang pernikahannya.
Bukan
sekali dua dia melakukan ritual yang tidak masuk akal. Mandi garam, memakai
gelang benang tiga warna, minum air tujuh sumur, hingga makan bunga kantil
pernah dilakukannya. Semua atas perintah bibinya.
Buang
sial. Begitu selalu yang dijawab Sumimah, bibinya, setiap kali Nunik bertanya.
Kemudian wanita paruh baya itu akan menceritakan tentang tradisi ruwatan. Suatu
ritual penyucian dosa dalam budaya masyarakat Jawa yang dipercaya bisa
menghindarkan diri dari kesialan. Cerita itu selalu diakhiri dengan angan-angan
sang bibi melakukan ruwatan untuk Nunik, jika saja mempunyai cukup uang.
Dulu,
Sumimah tidak mempercayai hal-hal yang berbau takhayul seperti itu. Bahkan,
setiap kali bapak mengamuk dan memarahi Nunik karena kesialan yang dibawanya,
Sumimahlah yang selalu melindungi. Meskipun mereka berdua tetap saja tidak
berdaya menghadapi murka lelaki yang sudah ditinggal mati istrinya tersebut.
Nunik
awalnya tidak pernah memahami mengapa dia dianggap sebagai pembawa sial. Hanya
saja, kata-kata itu selalu didengarnya setiap kali bapak menghardiknya. Lelaki
itu memang tidak pernah berlaku lembut pada gadis malang tersebut. Berbeda
sekali dengan perlakuan bapak pada kakaknya. Sampai akhirnya alasan itu dia
pahami sendiri.
***
“Dasar
anak pembawa sial!” hardik bapak beberapa tahun lalu saat Nunik berusia enam
tahun.
“Kau
mau membunuh kakakmu, ya!” bentaknya kemudian.
Nunik
ketakutan mendengar suara bapak yang menggetar. Dia menunduk pasrah. Air
matanya menetes perlahan diiringi suara sesenggukan. Nunik tahu, jika dia
menangis dengan keras, kemarahan bapak akan semakin besar.
Tidak
ada niat untuk mencelakakan. Dia hanya ingin ikut bermain dengan kakaknya yang
baru dibelikan sepeda. Sekalipun hanya kebagian memegangi dan mendorong saat
sang kakak mengendarai. Itu cukup membuatnya bahagia. Namun, nahas. Kakaknya
hilang keseimbangan dan terjatuh di parit dan terluka cukup parah. Itulah yang
menjadi sebab kemarahan bapak padanya.
Bapak
bangkit dan mendekat. Nunik berusaha sekuat tenaga menyembunyikan tangisannya.
Terlambat. Telinga lelaki itu sempat menangkap suara sesenngukannya.
“Diam
kau, anak sial!” Tangannya mulai terangkat.
Berkali-kali
tangan itu terayun ke tubuh Nunik. Sekalipun dia sudah tersungkur, bapak tidak
juga menghentikan perbuatannya. Hidung gadis kecil itu bahkan kini telah
mengeluarkan darah.
Sumimah
terkejut melihat pemandangan di depannya. Dia, yang baru pulang dari mengantar
jahitan, segera menghambur memeluk tubuh Nunik.Sempat beberapa kali dia juga
menerima pukulan dari abangnya.
“Cukup,
Bang!” teriaknya menyadarkan lelaki yang kalap itu.
Bapak
mengusap wajah. Dia kemudian menunjuk-nunjuk Nunik. Raut kekesalan masih
terlihat jelas di permukaan wajahnya.
“Dia
… sudah membunuh ibunya!” geram bapak, “sekarang dia mau membunuh kakaknya!”
Dadanya turun naik menahan marah.
“Dia
tak tahu apa-apa, Bang. Semua tak ada hubungan dengannya,” Suara Sumimah tidak
kalah tinggi. Lelaki itu mengempaskan tangan kemudian berlalu dari hadapan
mereka.
Nunik
menatap Sumimah. Pandangannya yang sendu mengandung tanya yang belum terjawab.
Pertanyaan tentang perilaku kasar bapak. Pertanyaan kenapa dia dianggap sebagai
pembawa sial, dan tentang ibunya.
“Kenapa,
Bi?” tanyanya masih dalam isakan, “kenapa bapak bilang Nunik yang membunuh
ibu?”
Bibinya
mendengkus.Dia masih memilih diam. Sulit baginya menjelaskan yang sebenarnya
pada gadis berusia enam tahun itu.
“Jawab,
Bi!” desak Nunik sambil mengguncang tubuh Sumimah.Wanita paruh baya itu paham
bahwa pelukan yang selama ini diberikannya sebagai jawaban, tidak akan mampu
lagi membendung rasa ingin tahu gadis itu.
“Ibumu
meninggal saat melahirkanmu,” jawab bibinya setengah bergumam.
“Jadi
benar Nunik yang membunuh ibu? Karena itu bapak selalu marah sama Nunik.” gadis
kecil itu mencoba menyimpulkan.
“Bukan
begitu.” Sumimah menyadari sesuatu.
Nunik
tersenyum kecut. Tatapannya kini benar-benar kosong. Dia berbalik, menunduk,
kemudian melangkah meninggalkan Sumimah yang menyesali diri telah menjawab
pertanyaan gadis itu.
***
Peristiwa
mengenaskan itu berkelindan di ingatan Nunik. Belakangan, dia baru menyadari
peristiwa itu meninggalkan luka yang tidak pernah kering di hatinya. Butiran
air mata menetes seiring basuhan air kembang tujuh rupa di wajahnya.
Pagi
itu, jika bukan karena rengekan sang kakak, tidak ada sedikit pun keinginan
Nunik untuk ikut bersama bapak mengantarkan kakaknya ke sekolah. Bapak juga
tidak kuasa menolak permintaan putri kesayangannya itu. Meskipun dengan berat
hati, lelaki itu turut menaikkan Nunik ke atas sepeda motor.
Sepanjang
perjalanan, Nunik lebih banyak diam. Dia tidak ingin melakukan hal yang mungkin
bisa mengundang kemarahan bapak. Tangannya kuat menggenggam baju lelaki itu
dari belakang, sementara sang kakak, yang duduk di depan, terlihat riang
menikmati pemandangan. Bapak sesekali mengelus rambut kakaknya yang tergerai.
Hal yang tidak pernah dilakukannya pada Nunik.
Lelaki
paruh baya itu lengah. Sepeda motornya mengarak ke tengah jalan. Sebuah mobil
SUV dari arah berlawanan menabrak dengan keras kendaraan roda dua tersebut.
Nunik terlempar ke beram jalan, sementara kakak dan bapaknya terseret hingga
beberapa meter. Keduanya meregang nyawa di tempat kejadian.
Nunik
termangu menatap dua tubuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia terduduk diam di
tengah kerumunan orang yang mulai berduyun mendatangi tempat kejadian. Haruskah
dia menangis? Atau bahagia karena orang yang selalu berbuat kasar padanya telah
meninggal? Saat itu, Nunik benar-benar tidak memahami apa yang dirasakannya.
***
Perilaku
Sumimah berubah setelah peristiwa kecelakaan yang menimpa bapak. Dia mewarisi
pemikiran abangnya. Nunik merupakan pembawa sial di rumah ini. Pemikiran yang
lamat laun mengakar di kepalanya. Bahkan, alasan mengapa sampai saat ini wanita
yang berprofesi sebagai penjahit itu belum menikah juga karena turut ditimpa
kesialan yang dibawa Nunik.
Wanita
paruh baya itu selalu membawa Nunik ke dukun atau tempat-tempat yang dianggap
sakral. Di tempat itu, dia akan memaksa Nunik melakukan ritual yangmenurutnya
dapat menghindarkan kesialan.
Pernah
sekali gadis itu menolak saat disuruh Sumimahberendam di sebuah sungai
sepanjang malam. Apa yang diperintahkan adik perempuan bapaknya itu tidak ada hubungan sama sekali
dengan ujian kelulusan yang akan dihadapi Nunik. Namun, penolakan tersebut
justru mengundang kemarahan sang bibi. Sumimah dengan beringas melibas tubuh
kecilnya menggunakan beberapa lidi yang sudah diikat. Nunik ketakutan. Belum
pernah dia melihat bibinya mengamuk seperti itu.Sebab itu pula dia tidak pernah
berani membantah perintah wanita yang sudah merawatnya tersebut.
Syukurnya,
Nunik berhasil lulus meskipun lewat ujian susulan. Dia tidak bisa hadir di
ujian utama sebab keesokan harinya tubuh gadis itu terserang demam tinggi
setelah berendam hampir semalaman. Namun, Sumimah malah berpikir bahwa ritual
itulah yang menghindarkan Nunik dari ketidak lulusan..
“Kalau
bibi ada uang, bibi akan buat ruwatan untuk kamu,” ujar Sumimah suatu hari.
“Sayang
uangnya, Bi.” Nunik mencoba menawar niatan bibinya.
“Lah,
kamu itu bisa lulus, ya, karena sudah buang sial kemarin!” Suara Sumimah mulai
tinggi, “Kalau bapakmu masih ada, pasti sudah dibuatnya.”
“Kau
harus melakukan ritual-ritual tertentu supaya sialmu itu lepas dari badanmu.”
Nunik
terdiam menunduk. Tidak ada gunanya membantah ucapan Sumimah. Semenjak itu,
banyak ritual aneh yang dilakukannya atas perintah sang bibi. Termasuk mandi
kembang tujuh rupa menjelang hari pernikahannya ini.
***
Nunik
menunggu dengan cemas. Riasan yang dikenakannya terlihat sedikit luntur sebab
keringat yang menguar dari pori-pori. Berkali dia menyeka wajah dengan tisu
yang sedari tadi digenggamannya.
Akad
pernikahan yang direncanakan sudah mundur satu jam lebih. Rombongan pengantin
pria masih belum juga sampai. Tuan kadi mulai gelisah di tempat duduknya.
Berulang kali dia melihat jam yang melingkar di tangan. Ada satu pernikahan
lain yang harus dihadirinya.
Beberapa
tetangga sudah mulai kasak-kusuk membicarakan keterlambatan itu. Bahkan, ada
yang menghubung-hubungkan dengan nasib sial yang dialami Nunik selama ini.
Sayup-sayup suara-suara itu tertangkap telinga Nunik. Sekuat tenaga dia
mengabaikan, tetap saja perih menyergap perasaannya.
Sumimah
yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan gadis itu. Tangannya
mengelus-elus pundak Nunik.
“Jangan
khawatir. Mungkin di jalan sedang macet.” Sumimah mencoba menutupi
kegelisahannya, “kamu, kan, sudah mandi kembang.”
Ucapan
bibinya itu sedikit menawar kegelisahan Nunik. Kembali dia memperbaiki
duduknya. Sebisa mungkin calon mempelai itu tetap menyunggingkan senyum
meskipun raut gelisah tetap kentara di sana.
Seorang
lelaki berpakaian batik tergopoh menghampiri mereka. Napasnya terengah seakan
sedang diburu sesuatu. Mungkin juga karena kelelahan sebab sedari tadi dia
melangkah dengan setengah berlari.
“Rombongan
pengantin ….” Lelaki itu mengatur napas, “tertimbun longsor.”
Wajah
Nunik seketika pucat. Pandangannya kabur. Seluruh sendi kaki terasa lemah.
Hampir saja tubuhnya membentur lantai jika tidak segera ditangkap oleh Sumimah.
Perlahan, suasana menjadi riuh. Sayup telinga Nunik menangkap sebuah suara
sebelum akhirnya kehilangan kesadaran, “Kok bisa, ya? Bibi dan ponakan
mengalami nasib yang sama?”
Tentang
Penulis :
Muhammad Abduh Putra
Panjaitan, pria kelahiran 25 agustus yang merupakan seorang guru di SMK Negeri
3 Medan. Sempat vakum dari dunia tulis-menulis beberapa tahun. Kini kembali
menggeliat dan sudah menghasilkan beberapa antologi cerpen, Jejak Ingatan, Candramawa, dan Slice of Love. Satu antologi puisi, Adagium Renjana. Beberapa antologi
lainnya sedang dalam proses cetak. Saat ini sedang merampungkan satu novel
solo. Selain menulis, saya juga menggeluti dunia Spray Painting.
IG : @abdoeh25882
FB : Muhammad Abduh
Putra Panjaitan (abdoeh25882)
Email : abduhpanjaitan@gmail.com.
0 comments