Banjarkere
Siulan merdu
burung di Banjarkere, berapa besar biaya untuk menebus keharmonisan ini.
Aku rela
menggigil di Bumi belahan ini, asal berkumpul dalam gubuk kecil itu.
Bersama
menyaksikan bingarnya bola emas menggantung di atas seng rumahku, tengah hari.
Lalu akupun
berkata, “Ibu, gerah nian siang ini”. Aku terlanjur candu kehangatan, walau
berkali membujuk diri untuk tak merindu.
Aku tak bisa.
Ibu, kesibukanku
di kota tak pernah mampu menjadi bius untuk menenangkan candu kerinduan itu.
Hatiku tak
pernah bosan mengartikan suguhan senyum ibu dan tawa renyah ayah, kala pagi
menyambutku di desa.
Pun angin senja
terlalu jahat memainkan ujung jilbabku di kebun ubi, ikut meningkahi suasana
kala semburat senja sempurna tumpah.
Di sana, di kota
aku tak pernah menemukan siulan burung seperti di Banjarkere.
Tapanuli, Juli 2019
Pernahkah Kau Merindukanku ?
Kini malam telah
mengulang kisahnya.
Aku kembali
terpenjara dalam kisah tentangmu.
Mengungkit
kembali kenangan yang tak ujung usang.
Sakit,
terjerembab dalam ingatan masa silam.
Salahkah jika
aku amat merindukanmu ?
Mengapa rindu
begitu menyesakkan ?
Begitu menyiksa
bagi siapa yang hanya bisa meratapinya.
Rindu itu masih membelengguku,
kenangan memenuhi setiap mili otakku. Dan tentu tega merenggut senyumku.
Kau katakan
bahwa aku harus melupakanmu, itu tidak mungkin.
Sebab, bagaimana
mungkin kau katakan manusia lupa untuk bernafas.
Tapanuli, 26 Juni 2019
Balada Sang Garuda
Izinkan
kuberitahu sajak untaian sunyi padamu.
Bertuliskan
titah cinta pada Sang Garuda nan gagah perkasa
Ia terbang
mengangkasa dengan sayapnya, tampak perkasa dengan paruh kokohnya.
Namun sayang, ia
telah menjelma dalam keheningan yang mendalam.
Ia terombang –
ambing oleh angin riuh yang mengacaukan.
Terhempas pada
tanah, terseret di bebatuan tajam nan ranjau.
Kegagalan
menjadi memori, pertempuran hanyalah imperium yang menjemput perihnya luka.
Garuda menjadi
kenangan yang menohok sukma, mengusung sejarah cinta yang menggurita.
Garuda
tetaplah menjadi cerita penyimpan sejuta makna, tentang pertempuran menuju
sangkar peraduan.
Kesetiaannya
kan abadi, walau langit runtuh mendekap jiwa nan pilu.
Ath-thahirah, oktober 2019
Kepada Insan Berhati Mulia
Apa yang harus
kukisahkan tentangmu.
Nasehatmu kini
terbidik di jiwaku yang rapuh dahulu
Dan degub
jantung terdengar berpacu bersama ambisi yang menggebu
Kau sebagai
wujud dari penolong untuk orang – orang yang haus akan ilmu.
Apa yang harus kukisahkan
tentangmu.
Kau yang berbaik
hati menuntunku menjemput mimpi,
mengenalkanku pada cita dan perubahan, jejakmu begitu kentara di penjuru
negeri, namamu merekah bersama cinta dan akhlak yang menjadi cahaya.
Aku tidak pernah
mengira, tentang mimpi yang pernah kau sampaikan dahulu, menjadi awal dari
perjalananku yang panjang.
Apa yang harus
kukisahkan padamu wahai pemilik hati mulia.
Aku
menyaksikanmu bersikukuh dengan kerasnya perjuangan di negeriku, berlomba
dengan waktu menemui orang – orang di desa terpencil
Harap – harap
gelapnya malam menghapus lelahmu, kau tak kunjung tidur memikirkan nasib anak
didikmu.
Gedung – gedung
berdiri gagah dengan hamparan luas lapangan, siapa yang tak ingin menyalakan
cahayanya disana ?
Namun, kau
memilih akrab dengan bangunan tua nan reot di desa – desa, membiyarkan
tungkaimu lunglai setelah menyusuri jalan berbatu penuh liku.
Saat hujan deras
sedang turun tiada hentinya, bangunan tua yang disebut sekolah akan basah,
pelan – pelan ikut membasahi meja, kursi, dan papan tulis usang
Lalu terpaksa
kau dan anak – anak kesayanganmu harus berkemas pergi, lalu pulang.
Begitulah,
genangan air dalam ruang kelas ternyata tak mampu menyurutkan semangatmu.
Sekarang,
dimanakah kau berada ?
Mungkin, kau
masih setia dengan cinta yang kau sebut pengabdian itu.
Darahmu mengalir
deras, bola matamu menelurkan air mata keharuan bersambut senyum di wajah
teduhmu
Kau seraut wajah
pejuang yang ditangguhkan doa – doa dan pengharapan, kau gambar mimpi – mimpi
besar anak didikmu, doamu menjelma dalam sujud panjang.
Mataku tak lagi
bisa menemukan sosokmu, maka biyarlah doaku memeluk jiwamu, sebelum temu akan
dan tak pernah menjadi obat rindu
Aku membiyarkan
pedih merengkuh jiwaku bilamana kenangan akan sosokmu mengungkung di kepalaku.
Aku selalu berharap
senyummu akan lepas bersama mimpi anak didikmu yang tergapai satu persatu.
TENTANG PENULIS
Penulis
kelahiran Simangumban, 31 juli 1999 ini bernama Nurhakiki Sonia. Tercatat
sebagai mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di UNIMED
(Universitas Negeri Medan). Sekarang kost di Jl. M. Yakub, Medan Pancing.
Penyuka warna hijau dan putih ini memulai hobi menulis sejak duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama dan baru mulai mengirim karya – karyanya ke ranah
perlombaan sejak di bangku Aliyah atau SLTA sederajat. Kritik dan saran dapat
dikirimkan melalui akun facebook Nurhakiki Sonia atau ke alamat gmail nurhakikisonia31@gmail.com.
0 comments