Mendalami ilmu sesuai dengan passion, tentu menjadi hal yang
diimpikan bagi setiap orang. Sama halnya dengan dosen sastra yang juga adalah
seorang penulis ini. Ia bahkan telah menyelesaikan pendidikan magister ilmu
sastra di Universitas Gajah Mada dengan IPK yang cukup membanggakan, 3,95.
Ari
Azhari Nasution. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU)
ini mulai aktif menulis sejak masih kuliah sekitar tahun 2008. Pria alumni
Sastra Indonesia USU ini, memang sudah lama menulis. Tulisannya sudah pernah
terbit di beberapa media cetak seperti Analisa,
Medan Bisnis, Waspada, Joglosemar dan Riau pos. Selain itu ia juga aktif di beberapa
organisasi kampus dan komunitas menulis, seperti HMI, UKM Teater O USU, Warung
Sahiva, Ketua Himpunan Keluarga Besar Sastra Indonesia, Koordinator Humas Forum
Lingkar Pena (FLP) Sumut, dan UKM Kesenian Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM.
Pria
kelahiran Tebing Tinggi ini, kini lebih sering menulis karya ilmiah berupa
jurnal dengan pengkajian sastra dan analisis karya sastra. Beberapa jurnal yang
telah ditulisnya yaitu, Jurnal Antarabangsa Persuratan Melayu (RUMPUN) International
Journal of The Malay Letters Vol. 8 (2020), Jurnal Antarabangsa Persuratan
Melayu (RUMPUN) International Journal of The Malay Letters Jilid 6 (Jan,
2018), Bahasa Indoneia Prima Vol.2 (2020). Buku yang pernah ditulisnya yaitu
buku esai Poe(l)itica (2017) dan Antologi Kisah Perempuan yang Membalurkan
Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup (2017).
Nah, apakah ada perasaan atau sesuatu yang
berbeda saat menulis ketika masih mahasiswa atau ketika telah menjadi dosen
sastra? “Kalau perasaan menulis itu gak berubah, masih sama. Hanya gaya kepenulisan sudah bisa membedakan. Karena
sekarang lebih sering menulis analisis karya sastra (kritik),” papar suami Evi
Marlina Harahap.
Selain
kesibukannya mengajar, ayah dari Ayizia Rindiani Nasution kini sedang
menuntaskan beberapa buku solonya, salah satunya buku tentang apresiasi sastra.
Sebagai pengajar di bidang sastra,
tentunya Ari tidak hanya mengajar tetapi juga mengarahkan mahasiswanya untuk
menulis, sebagai aplikasi dari ilmu sastra yang mereka pelajari. Apakah animo
mahasiswa kini dalam menulis tinggi? “Minat dalam menulis cukup tinggi, namun
masih enggan untuk mempublikasikan lewat media, alasannya ribet, takut ditolak
dan lain-lain. Maka hanya segelintir aja yang memang mau fokus menulis. Kalau peminatan
sendiri, ada yang lebih ke novel ada juga yang menulis artikel.” Jelas penyuka
getuk ini.
Mengingat
memang kini belum cukup tinggi minat generasi muda untuk menulis, Ari punya
trik tersendiri dalam menstimulus mahasiswa agar semangat menulis. “Untuk
mahasiswa yang mau menulis, ada reward khusus untuk yang tulisannya berhasil
dimuat dikoran. Reward bisa berupa buku atau
nilai tambahan untuk mereka, “ ujar pria yang tidak suka menunggu ini.
Ada kesan juga saat mengajak mahsiswa untuk menulis, “lucu juga melihat mereka
yang awal-awal belajar menulis itu bersemangat sekali. Tapi ketika sudah mulai
menulis muncul berbagai alasan. Salah satunya adalah kurangnya
referensi/bacaan. Jadi akhirnya menyuruh mereka membaca dulu,” terang pria
kelahiran 14 April ini.
Banyak
berkah dari menulis yang sudah dirasakan sulung dari pasangan Aladdin Nasution
dan Alm. Chairani ini, salah satunya bisa keluar negri dari menulis. “Bisa
mengerjakan tugas dengan hasil yang baik sekaligus belajar menulis, yang
akhirnya mengantarkan Ari menjadi peserta International Summer School di
Humboldt University, Jerman.” Kenang
dosen yang pernah menjadi editor Jurnal Poetika UGM ini.
Kunci dari lahirnya sebuah
tulisan adalah membaca. Dari membaca ada wawasan yang bisa kita ambil, kita juga bisa melihat bagaimana gaya bahasa
dari sebuah tulisan. Ide juga bisa dicari dari banyak membaca. Ini juga yang
diingatkan Ari pada mahasiswanya, “banyaklah membaca, lalu menulis. Karena
banyak manfaat yang akan didapatkan dari keduanya.”
0 comments