Matahari masih memancarkan sinarnya, padahal seharusnya ia sudah kembali
ke cakrawala. Anak muda itu masih berjongkok sembari menatap ke arah pusara
yang bertuliskan nama ibunya. Sudah beberapa lama matanya tak lepas dari sana.
Angin bertiup membawa hawa dingin. Meski cuaca sangat cerah, angin
bertiup lebih kencang dari biasanya. Namun, anak muda itu masih bergeming.
Tatapannya kosong. Seolah merenungi banyak hal yang baru saja terjadi
hari ini.
"Mak ...," ucapnya setelah sekian lama hanya diam.
"Mak tau, apa yang hari ini kulalui?" Suaranya terdengar rapuh.
"Subuh tadi, ada seorang nenek mampir ke rumah. Nenek itu sudah
sangat tua. Mungkin seumuran Nenek, Mak. Bajunya lusuh dan sudah berubah jadi
cokelat, nyaris seperti baru saja tenggelam dalam lumpur. Nenek itu juga sangat
kurus. Sepertinya belum makan selama beberapa hari terakhir, Mak."
Anak muda itu terdiam sejenak. Matanya liar memandangi seisi pemakaman.
Hanya ada ia di sana.
"Mak, aku kasihan sama nenek itu. Jadi, kuberikan sepotong
roti bakal sarapanku pada nenek itu. Mak tau? Nenek itu makan lahap sekali. Aku
sampai tak bisa bertanya apa-apa tentang dia. Tak tega mengganggu makannya.
Sejujurnya, aku juga lapar, Mak. Tapi aku tau, nenek itu jauh lebih kelaparan
daripada aku. Lagi pula, aku ini masih muda. Masih kuat menahan lapar. Benar
kan, Mak?"
Kepalanya tertunduk. Air wajahnya suram dan senyumannya lenyap. Wajah itu
dipenuhi luka yang menyakitkan.
"Mak, aku ini bodoh, ya. Aku tak pernah bersyukur selama ini. Aku
selalu saja mengeluh karena kehidupan pelik ini. Aku selalu putus asa dan
menyalahkan Tuhan. Aku selalu bertanya kenapa Tuhan tak pernah memberiku hidup
yang mudah dan mewah seperti orang-orang di luar sana. Aku selalu berbuat baik,
tapi kenapa Tuhan masih saja tak baik padaku? Itu yang selalu aku tanyakan,
Mak."
Sebulir bening mengalir membasahi pipinya. Penyesalan memenuhi rongga
dadanya. Perih menyeruak. Mengobrak-abrik seluruh perasaannya.
"Mak, setelah bertemu nenek tadi, aku banyak belajar. Aku selalu
mengeluh karena tak bisa jadi orang hebat. Aku selalu mengeluh karena tak bisa
jadi orang kaya. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja susah, Mak. Tapi
nenek tadi, bahkan tak tau harus mengadu nasib ke mana. Hidupnya mengikuti jalan
yang Tuhan bentangkan. Bahkan, nenek itu tak khawatir tentang apa yang akan
mengisi perutnya esok hari. Dia begitu percaya dengan Tuhan, Mak. Padahal,
Tuhan sepertinya selalu mengecewakan kepercayaannya." Anak muda itu
terdiam lagi.
"Mak, aku ini sangat tak bersyukur, ya. Berulang kali aku
menyalahkan Tuhan atas takdirku. Atas kepergian Emak. Apakah orang miskin tak
pantas bahagia, Mak? Apakah orang miskin tak pantas dapat kehidupan
layak?"
Anak muda itu menertawai dirinya sendiri. Sesaat kemudian, ia benamkan
wajahnya di kedua tangannya. Berusaha meredam tangisnya yang kian pecah.
"Mak, apa Tuhan mau memaafkan aku? Aku yang berlumur dosa ini, Mak.
Aku yang sudah durhaka sama Emak. Tak mendengarkan perkataan Emak waktu itu.
Tuhan benar-benar Maha Pemaaf, kan, Mak?" ucapnya dengan suara parau.
Cukup lama ia terdiam. Menangis dalam keadaan khusyuk. Sesekali ia
mendengus karena cairan di hidungnya. Dadanya terasa sangat sesak. Matanya
berkabut dan pandangannya mulai kabur.
"Mak, aku ke sini tak bisa bawa apa-apa. Cuma ini ... setangkai
mawar yang kubeli pakai sisa uangku."
Anak muda itu meletakkan setangkai mawar di atas pusara sang ibu.
Khidmat, sembari merapalkan doa di dalam hatinya.
"Mak, sisa uangku sudah kuberi pada nenek tadi. Tak banyak, memang.
Tapi kurasa bisa digunakan untuk membeli makan sampai dua hari ke depan. Mak
tak perlu khawatir. Aku tak pernah lagi mencuri sejak hari itu. Aku tau,
Mak akan marah jika aku melakukannya lagi. Dan ... aku tak mau membuat Emak
marah." Suara anak muda itu kembali bergetar. Sekuat tenaga ia mengatur
napasnya agar tak kembali menangis.
Sesaat kemudian, dibersihkannya gundukan tanah di depannya dari rumput
liar yang tumbuh di sana. Diusapnya nisan yang bertuliskan nama orang yang
paling ia sayangi itu sembari menikmati hatinya yang seolah ditusuk ribuan
belati. Kenangan tak indah menyeruak. Kenangan tentang kematian ibu yang paling
disayanginya.
Tujuh tahun lalu, tepatnya. Saat kedua orang itu tengah kelaparan, jalan
pintas selalu menjadi pilihan terakhir. Tak ada yang mau jadi orang jahat.
Namun, jika keadaan mendesak, banyak orang akan memilih berbuat jahat. Lupa
dengan segala kebaikan yang selama ini diajarkan.
Anak muda itu salah satunya. Saat seorang wanita kaya raya lewat di
hadapannya, diambilnya tas yang tergantung di bahu wanita itu. Ia berlari
sangat kencang untuk menghindari pengejaran orang-orang. Bagaimanapun, ia hanya
anak kecil yang kelaparan. Mencuri ia lakukan hanya sebatas untuk mengenyangkan
perutnya dan sang ibu.
Namun, ternyata nasib baik tak berada di tangannya. Ia tertangkap.
Dipukuli, ditendang, tanpa pandang bulu. Tak ada yang peduli meski usianya
masih sepuluh tahun kala itu. Malah mereka semakin geram saat mengetahui hal
itu.
Ibunya datang saat tahu sang anak menjadi bahan kekejaman manusia.
Dipeluknya anak muda itu untuk melindunginya dari tendangan dan pukulan manusia
tanpa hati yang mengamuk. Tetap saja, manusia-manusia itu tak peduli bahwa yang
tengah mereka hakimi adalah seorang wanita dan anak kecil. Yang terpenting
adalah mereka berdua salah. Hidup sebagai orang miskin saja sudah menjadi
kesalahan, apalagi ditambah dengan mencuri. Sudah pasti mereka lebih cocok
mati.
Semua baru berhenti saat salah seorang dari mereka sekarat. Darah
menghambur hampir dari seluruh bagian tubuh. Namun, tetap tak ada yang peduli.
Semua hanya mencaci lalu pergi. Tak ada yang mau berbelas kasih dan menolong
mereka untuk mengobati diri. Anak muda itu menangis. Menyesali semua tindak
sembrononya. Seandainya ia tak mencuri, pasti ibunya tak akan pergi. Seandainya
ia bisa menahan laparnya, pasti ini semua tak akan terjadi.
Namun, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Ia menangis sampai darah yang
keluar menggantikan air mata pun, sang ibu tak akan pernah kembali. Saat itu,
satu pesan dari ibunya terngiang.
"Sekeras apa pun kehidupan ini, tetaplah berpegang pada kebaikan.
Jangan menjadi orang jahat karena terdesak. Kita boleh miskin harta, tetapi
jangan sampai miskin hati."
Sayup suara Emak kembali menyayat perih hatinya. Kenangan buruk yang
menyeruak kembali menimbulkan penyesalan. Ia menangis sejadi-jadinya.
Menghambur ke arah pusara bertanah kemerahan itu.
"Mak ... aku sayang Emak," ucapnya parau.
Detik selanjutnya, hanya tangis yang mengisi sunyi. Menemani mentari yang
perlahan kembali ke cakrawala. Langit mulai gelap. Angin semakin kuat berembus.
Anak muda itu menghapus air matanya. Mengatur napas dan menenangkan hati.
Diusapnya kembali nisan itu. Senyuman tipis berusaha ia sunggingkan di
bibirnya.
“Mak, apa menurut Mak, aku bisa jadi orang sukses? Ah, aku ini menanyakan
apa. Sudah pasti Emak-lah orang yang paling percaya akan hal itu. Benar, kan?”
ucapnya bermonolog .
“Mak, Tuhan pasti akan memudahkan jalanku, kan? Tuhan pasti akan
menguatkanku, kan? Katanya, Tuhan akan selalu bersama orang-orang yang baik.
Tapi, apa bekas pencuri sepertiku ini akan selalu ditolong Tuhan, Mak?” Air
matanya membanjir lagi.
Dipeluknya pusara itu. Menumpahkan segala kepedihan dalam
hatinya. Sejenak, ia merasa seolah Emak ada di sebelahnya. Memeluknya sembari
membelai lembut rambutnya. Menguatkan hati rapuhnya. Membisikkan
kalimat-kalimat yang menguatkan dirinya.
Cukup lama ia menangis. Ia baru berhenti sampai rongga dadanya
terasa lega. Sejak tadi, hanya ada sesak yang menghimpit. Terlebih lagi saat
bayangan senyum Emak tergambar jelas di pelupuk mata. Emak pasti sudah bahagia
di sisi Tuhan. Emak pasti sudah bahagia bersama Bapak. Tuhan akan menjaga Emak
dengan baik. Jauh lebih baik dari dirinya. Ia menghapus sisa air matanya. Mengembuskan
napas panjang untuk menenangkan hatinya kembali.
"Mak, aku pulang, ya. Hari sudah sore. Aku pasti akan jadi anak
yang bisa banggain Emak di sana. Mak, aku sayang Emak. Selalu sayang
Emak."
Diciumnya nisan itu sebelum melangkah pergi. Satu hal yang kini mengisi dadanya,
ia harus bisa hidup lebih baik lagi. Bukan lagi meratapi dan menyesali semua
takdir yang telah terjadi.
-TAMAT-
Tentang Penulis: Leci Seira adalahseorang gadis sembilan belas tahun yang jatuh cinta pada menulis, editing naskah, dan membaca. Ia tengah menjalani perkuliahan semester lima di Universitas Sumatera Utara, jurusan Sastra Jepang. Ia juga tengah menjalani amanah sebagai Koordinator Divisi Karya, FLP Cabang Langkat. Untuk mengenalnya lebih dekat bisa melalui Instagram @leciseira.
0 comments