Suasana di desa memang menjadi suasana yang sangat
menyenangkan. Alam yang syahdu dan lingkungan yang asri serta udara yang begitu
segar. Apalagi kehidupan di desa lebih baik daripada di kota saat ini. Selama
berada di desa orangtua Luhut bertani sekaligus membuka kedai kopi di tepi
jalan besar. Di samping itu, Luhut sudah mulai terbiasa dengan keadaan saat ini.
Dia sudah akrab dengan desa Nanggarjati.
Nilai gotong royong dan menjaga adat budaya sampai saat
ini menjadi hal yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini
terlihat ketika salah satu warga desa mengadakan acara pernikakan. Tepatnya
pada malam minggu, tua muda
datang silih berganti membawa sekantong beras. Kemudian membantu untuk menyiapkan masakan untuk acara
tersebut. Tidak kalah juga, anak-anak pun ikut memeriahkan pesta
itu. Mereka bermain sambil menonton pertunjukan gordang sambilan yang merupakan salah satu budaya dari Tapanuli
Selatan. Gordang sambilan
merupakan salah satu pergeleran musik menggunakan gendang yang berjumlah
sembilan buah. Luhut dan Tondi pun ikut menyaksikannya.
Luhut sepertinya takjub dengan kekayaan budaya yang dimiliki oleh daerah ini.
Di
tengah-tengah suara musik gordang
sambilan, Tondi
kemudian menyinggung tentang bukit
Nanggarjati.
"Luhut,
bagaimana dengan rencana kita itu? Tanya
Tondi.
"Ya,
jadilah. Kita harus pergi kesana," ucap Luhut.
"Kita
berdua?"
"Tentu
tidak, kita ajak yang lain seperti si Tua dan si Marihot,"
Kebetulan
Tua dan Marihot sedang berada di tempat itu. Kemudian Tondi memanggil keduanya.
Malam itu mereka berunding untuk berpetualang ke Nanggarjati besok. Kesepakatan
pun ditemukan, mereka akan berangkat jam sembilan pagi. Setelah pembicaraan
selesai, keempat anak kecil itu pulang kerumahnya masing-masing.
Esok
hari pun tiba. Tondi dan Luhut sudah berkumpul di tanah lapang. Disusul oleh
Marihot dan Tua. Sementara itu Luhut tidak memberitahukan kalau mereka akan
pergi ke bukit Naggarjati. Ketika ditanyakan Ompungnya mau kemana , Luhut
menjawab bermain ke ladang Tondi.
Setelah
keempatnya berkumpul, perjalanan pun dimulai. Ketika mereka mau pergi tiba-tiba
pak kades menegur mereka dari belakang.
"Tondi!
Tunggu dulu!" Teriak pak kades.
Tondi
pun menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
"Ia
Uda, kenapa?"
"Kalian
mau kemana pagi-pagi seperti ini?"
"Oh..kami
mau ke ladang Uda, mau
makan-makan," balas Tondi.
Pak
kades pun percaya begitu saja. Tidak ada gerak-gerik mereka yang mencurigakan.
Setelah
itu Luhut dan kawan-kawannya melanjutkan perjalanan. Ada dua jalur untuk menuju
puncak bukit Nanggarjati. Pertama dari saluran irigasi aek silo, salah satu
sungai di daerah Nanggarjati. Kemudian dari desa sebelah yaitu desa Napompar.
Mereka mengambil jalur irigasi aek silo karena medan yang tidak terlalu sulit.
Tidak lupa pula mereka membawa bekal untuk makan siang. Mereka menyisiri sungai aek silo sampai ke hulu. Jalan
yang begitu licin dan penuh bebatuan. Tak jarang dari mereka ada yang
tegelincir sampai bajunya basah.
“Hahaha! Harus lebih hati-hati lagi ya,”
ucap Luhut sambil tertawa.
Matahari
mulai meninggi. Mereka melintasi irigasi dan mulai masuk ke hutan. Selama di
perjalanan, keempatnya berbagi cerita tentang Nanggarjati. Di perjalanan mereke
menemukan burung-burung yang tidak ada di desa, dan jarang ditemukan. Seperti burung katuldik, burung tappua dan sebagainya.
"Tondi,
Luhut, Tua, lihat itu burungnya cantik sekali," ucap Marihot.
Mereka
menatap ke arah yang sama. Kemudian di tengah hutan terdengar suara penebangan
pohon dengan singsau.
Luhut mengajak yang lainnya mendekat ke arah itu. Mereka menyaksikan empat orang pemuda dengan tubuh kekar
sedang menebang pohon di kaki bukit.
Empat orang itu menebang pohon-pohon satu persatu.
"Luhut
ayok kita kabur jangan disini, nanti habis kita. Mereka itu penebang
liar," ajak Tondi.
"HA!!"
Luhut terkejut.
Mereka berlari meninggalkan tempat itu menuju puncak
bukit. Cuaca yang begitu panas membuat mereka segera istirahat ditambah lagi perut
mereka mulai keroncongan.
Suasana makan siang yang sangat seru. Tondi berinisiatif menggabungkan makanan
di atas daun pisang, jadilah mereka seperti tentara yang sedang survival. Suasana hutan di bukit begitu sepi,
dari kejauhan sosok laki-laki
berjenggot tebal dan tubuh tinggi
sedang menuju ke arah mereka.
Dengan segera mereka pun bersembunyi di balik semak.
"Itu
Ompung
Jollak," ucap Tondi.
"Yang
betul?" tanya
Luhut.
"Lihatlah
badannya. Persis seperti cerita Ompungmu
kan," tegas Tondi.
"Kalau
gitu, ayok kita ikuti? Supaya kita tahu rumahnya dimana," ucap Luhut.
Tanpa
rasa takut, mereka mengikuti Lelaki yang mereka sebut Ompung Jollak itu.
Perjalanan
yang cukup jauh. Luhut dan yang lainnya sudah sampai di puncak bukit dengan mengikuti lelaki tua tadi.
Mereka melihat banyak kopi dan kayu manis. Tapi mereka kehilangan jejak lelaki
yang mereka sebut Ompung
Jollak. Lelaki itu sudah pergi jauh meninggalkan Luhut dan teman-temannya.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, mencari tempat yang datar di bukit
Nanggarjati.
Tondi
menjadi penunjuk jalan, setelah mereka mendapatkan tanah yang lapang, mereka
istirahat lagi. Luhut membuka pembicaraan.
"Menurut
kertas yang kubaca di rumah pusaka
harta karun di bukit ini sangat banyak. Mulai dari batu Nanggar, emas dan
sebagainya. Kalau kita menemukan itu bisa kaya kita." Ucap Luhut kegirangan.
Ketika
Luhut membicarakan hal itu kepada teman-temannya. Suara kayu jatuh terdengar
kira-kira jarak 1 km ke dalam hutan. Mereka pun terkejut. Dan berlari ke arah
suara itu. Mereka berlari secepat mungkin. Tondi ketinggalan dan berteriak
sekeras-kerasnya.
"Woii!
Tunggu aku!"
teriak Tondi.
Luhut
menoleh ke belakang. Mereka
bersembunyi di balik batu besar memperhatikan empat orang lelaki yang sedang memotong
kayu.
Tubuhnya begitu kekar. Dan peralatan yang begitu lengkap.
Luhut dan yang lainnya berada dalam rasa takut. Terutama Luhut karena ini
merupakan hal yang menegangkan bagi dia. Sementara itu Tondi berusaha
menenangkan kawan-kawannya.
"Sabar
jangan ribut, nanti kita habis di buat mereka, itu orang yang tadi juga bukan?"
tanya Tondi.
“Sepertinya
iya,” ucap yang lain serentak.
“Kalau
begitu cepat cari akal,” balas Tondi
Suasana semakin menegangkan, apalagi salah satu diantara
lelaki yang memotong kayu berjalan ke arah mereka. Semakin dekat dan ternyata
dia buang air kecil di dekat batu besar. Luhut dan yang lainnya masih mencari akal, untuk menghentikan
orang-orang itu. Pohon jati mulai dibelah berbentuk balok. Sementara Luhut
mengatur strategi untuk mencari bantuan.
"Tondi
kamu ikut aku ya, untuk cari bantuan. Sementara Marihot dan Tua tetap
disini." ucap Luhut, dia seperti panglima perang saat itu.
"Oke, kita nanti tinggalkan ranting di sepanjang jalan untuk tetap mengingat
jalan," ucap Tondi.
Luhut dan Tondi segera mencari bantuan.
Sementara dua orang
temannya tetap bersembunyi. Para penebang pohon itu juga tidak hanya menebang
pohon jati saja, tapi ada juga batu yang berwarna hijau muda dengan ukuran yang
besar di samping mereka. Keadaan semakin genting apalagi hari sudah mendekati
petang. Tua dan Marihot
tetap bersembunyi.
Tondi dan Luhut pun
pergi menuju puncak bukit. Seperti cerita orang di bukit ini juga ada
pemukiman. Mereka berdua ingin mencari bantuan ke warga di pemukiman itu.
Keduanya mempercepat langkah. Ada rasa takut dalam pikiran keduanya. Tidak lupa
pula Tondi memetik batang-batang untuk penunjuk jalan pulang nanti.
“Tondi, apa benar disini ada pemukiman?”
“Menurut cerita seperti itu, hanya orang-orang tertentu yang datang ke
bukit Nanggarjati ini Luhut,” ucap Tondi.
Tondi dan Luhut semakin kebingungan. Sudah begitu lama mereka mencari bantuan.
Bahkan tanda-tanda pemukiman pun belum ditemukan. Luhut merasa bersalah karena
dia mengajak teman-temannya ke tempat ini. Sementara Tondi berusaha untuk
menyemangati Luhut. Dari kejauhan sosok lelaki betubuh besar dan wajah yang
gelap datang mendekati mereka. Lelaki itu berlari dengan kencang. Luhut dan
Tondi gemetar. Mereka mati langkah. Lelaki itu yang tidak lain mereka sebut Ompung Jollak.
“Tondi, bukankah ini Ompung
Jollak,” ucap Luhut.
Lelaki itu tertawa
melihat tingkah dua anak desa itu. Apalagi ketika dia di panggil sebagai Oppu
Jollak. Lelaki itu kemudian berbicara pada dua anak itu.
“Ompung Jollak Bah! Kaget kali dengarnya,
saya ini bukan Ompung
Jollak, tapi Ompung Nanggar,” ucapnya pada Luhut dan Tondi.
“Ha, bukan Ompung
Jollak? Maaf kan kami Ompung, sudah berprasangka buruk,” Ucap
Tondi, sambil menyalam Ompung
Nanggar.
Ompung Nanggar merupakan kepala dusun di
desa Tano Ponggol, sebuah dusun yang ada di balik Bukit Nanggarjati. Ompung
Nanggar pun memperkenalkan
dirinya. Perkenalan yang begitu singkat saat suasana yang genting. Mendengar
hal itu, Luhut dan Tondi merasa gembira. Kemudian mereka menceritakan tentang
orang-orang yang sedang menebang pohon kayu jati di seberang.
“Ompung, bantulah kami dulu. Dua orang teman kami masih di sana,”
“Saya akan membantu,
sudah lama kami mencari penebang liar disekitar bukit Nanggarjati ini.” Ucap Ompung Nanggar.
Kemudian dengan satu
kali siulan Ompung Nanggar
mengumpulkan sepuluh
orang warganya. Melihat kejadian itu Tondi dan Luhut merasa kagum. Beberapa
saat kemudian mereka pergi ke tempat Tua dan Marihot bersembunyi. Dengan
mengikuti daun-daun yang di petik Tondi sebelumnya arah jalan lebih mudah di
temui. Sementara itu, dari kejauhan Tua dan Marihot sudah gemetar. Ompu Nanggar kemudian mengatur strategi
untuk menyergap penebang liar.
“Luhut dan yang lainnya
berada di belakang. Pak Sakkot dan yang lainnya dari arah timur. Sementara kita
dari arah depan. Nanti akan ada aba-aba untuk menyergap,” Perintah Ompung Nanggar.
Semuanya menganggukkan
kepala dan mengerjakan perintah Ompung
Nanggar.
“Kalian! Berhenti
merusak hutan!” Ucap Ompung Nanggar.
“Kau siapa? Melarang
kami.” Ucap salah satu diantara mereka.
“Aku yang menjaga hutan
ini!” Balas Ompung Nanggar.
Ompung Nanggar merasa
diremehkan. Dengan satu kali siulan keempat penebang liar berhasil di
lumpuhkan. Luhut beserta kawan-kawannya merasa takjub dengan kehebatan Ompung
Nanggar.
“Terimakasih, Ompung
sudah membantu kami. Maaf sekali lagi karena kami telah salah duga terhadap
Ompung,” ucap Luhut.
“Tidak apa-apa. Oh iya
ini sudah hampir malam. Tidak mungkin kalian turun lagi ke desa Nanggarjati.
Menginaplah semalam di dusun kami. Besok baru kalian pulang,” ajak Ompung Nanggar.
Keempatnya saling melirik satu sama lain, karena ragu dengan
tawaran itu.
“Tapi Ompung, bagaimana dengan ayah dan ibu.
Pasti mereka kecarian.” Balas Tondi.
“Tidak apa-apa. Nanti
saya kabari Pak
Kades kalau kalian ada di sini.”
Kemudian Ompung Nanggar serta Luhut dan
kawan-kawannya pergi ke arah dusun Tano Ponggol. Tidak lupa keempat penebang
liar di bawa oleh warga.
Tentang Penulis: Mhd Ikhsan Ritonga bergiat di Komunitas Rumah Baca Nanggarjati dan Forum Lingkar Pena Medan
0 comments