BLANTERWISDOM101

Cerpen: NANGGARJATI

Sabtu, 12 September 2020

 


Suasana di desa memang menjadi suasana yang sangat menyenangkan. Alam yang syahdu dan lingkungan yang asri serta udara yang begitu segar. Apalagi kehidupan di desa lebih baik daripada di kota saat ini. Selama berada di desa orangtua Luhut bertani sekaligus membuka kedai kopi di tepi jalan besar. Di samping itu, Luhut sudah mulai terbiasa dengan keadaan saat ini. Dia sudah akrab dengan desa Nanggarjati.

Nilai gotong royong dan menjaga adat budaya sampai saat ini menjadi hal yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini terlihat ketika salah satu warga desa mengadakan acara pernikakan. Tepatnya pada malam minggu, tua muda datang silih berganti membawa sekantong beras. Kemudian membantu untuk menyiapkan masakan untuk acara tersebut. Tidak kalah juga, anak-anak pun ikut memeriahkan pesta itu. Mereka bermain sambil menonton pertunjukan gordang sambilan yang merupakan salah satu budaya dari Tapanuli Selatan. Gordang sambilan merupakan salah satu pergeleran musik menggunakan gendang yang berjumlah sembilan buah. Luhut dan Tondi pun ikut menyaksikannya. Luhut sepertinya takjub dengan kekayaan budaya yang dimiliki oleh daerah ini.

Di tengah-tengah suara musik gordang sambilan, Tondi kemudian menyinggung tentang bukit Nanggarjati.

"Luhut, bagaimana dengan rencana kita itu? Tanya Tondi.

"Ya, jadilah. Kita harus pergi kesana," ucap Luhut.

"Kita berdua?"

"Tentu tidak, kita ajak yang lain seperti si Tua dan si Marihot,"

Kebetulan Tua dan Marihot sedang berada di tempat itu. Kemudian Tondi memanggil keduanya. Malam itu mereka berunding untuk berpetualang ke Nanggarjati besok. Kesepakatan pun ditemukan, mereka akan berangkat jam sembilan pagi. Setelah pembicaraan selesai, keempat anak kecil itu pulang kerumahnya masing-masing.

Esok hari pun tiba. Tondi dan Luhut sudah berkumpul di tanah lapang. Disusul oleh Marihot dan Tua. Sementara itu Luhut tidak memberitahukan kalau mereka akan pergi ke bukit Naggarjati. Ketika ditanyakan Ompungnya mau kemana , Luhut menjawab bermain ke ladang Tondi.

Setelah keempatnya berkumpul, perjalanan pun dimulai. Ketika mereka mau pergi tiba-tiba pak kades menegur mereka dari belakang.

"Tondi! Tunggu dulu!" Teriak pak kades.

Tondi pun menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

"Ia Uda, kenapa?"

"Kalian mau kemana pagi-pagi seperti ini?"

"Oh..kami mau ke ladang Uda, mau makan-makan," balas Tondi.

Pak kades pun percaya begitu saja. Tidak ada gerak-gerik mereka yang mencurigakan.

Setelah itu Luhut dan kawan-kawannya melanjutkan perjalanan. Ada dua jalur untuk menuju puncak bukit Nanggarjati. Pertama dari saluran irigasi aek silo, salah satu sungai di daerah Nanggarjati. Kemudian dari desa sebelah yaitu desa Napompar. Mereka mengambil jalur irigasi aek silo karena medan yang tidak terlalu sulit. Tidak lupa pula mereka membawa bekal untuk makan siang. Mereka menyisiri sungai aek silo sampai ke hulu. Jalan yang begitu licin dan penuh bebatuan. Tak jarang dari mereka ada yang tegelincir sampai bajunya basah.

Hahaha! Harus lebih hati-hati lagi ya,” ucap Luhut sambil tertawa.

Matahari mulai meninggi. Mereka melintasi irigasi dan mulai masuk ke hutan. Selama di perjalanan, keempatnya berbagi cerita tentang Nanggarjati. Di perjalanan mereke menemukan burung-burung yang tidak ada di desa, dan jarang ditemukan. Seperti burung katuldik, burung tappua dan sebagainya.

"Tondi, Luhut, Tua, lihat itu burungnya cantik sekali," ucap Marihot.

Mereka menatap ke arah yang sama. Kemudian di tengah hutan terdengar suara penebangan pohon dengan singsau. Luhut mengajak yang lainnya mendekat ke arah itu. Mereka menyaksikan empat orang pemuda dengan tubuh kekar sedang menebang pohon di kaki bukit. Empat orang itu menebang pohon-pohon satu persatu.

"Luhut ayok kita kabur jangan disini, nanti habis kita. Mereka itu penebang liar," ajak Tondi.

"HA!!" Luhut terkejut.

Mereka berlari meninggalkan tempat itu menuju puncak bukit. Cuaca yang begitu panas membuat mereka segera istirahat ditambah lagi perut mereka mulai keroncongan. Suasana makan siang yang sangat seru. Tondi berinisiatif menggabungkan makanan di atas daun pisang, jadilah mereka seperti tentara yang sedang survival. Suasana hutan di bukit begitu sepi, dari kejauhan sosok laki-laki berjenggot tebal dan tubuh tinggi sedang menuju ke arah mereka. Dengan segera mereka pun bersembunyi di balik semak.

"Itu Ompung Jollak," ucap Tondi.

"Yang betul?" tanya Luhut.

"Lihatlah badannya. Persis seperti cerita Ompungmu kan," tegas Tondi.

"Kalau gitu, ayok kita ikuti? Supaya kita tahu rumahnya dimana," ucap Luhut.

Tanpa rasa takut, mereka mengikuti Lelaki yang mereka sebut Ompung Jollak itu.

Perjalanan yang cukup jauh. Luhut dan yang lainnya sudah sampai di puncak bukit dengan mengikuti lelaki tua tadi. Mereka melihat banyak kopi dan kayu manis. Tapi mereka kehilangan jejak lelaki yang mereka sebut Ompung Jollak. Lelaki itu sudah pergi jauh meninggalkan Luhut dan teman-temannya. Mereka pun melanjutkan perjalanan, mencari tempat yang datar di bukit Nanggarjati.

Tondi menjadi penunjuk jalan, setelah mereka mendapatkan tanah yang lapang, mereka istirahat lagi. Luhut membuka pembicaraan.

"Menurut kertas yang kubaca di rumah pusaka harta karun di bukit ini sangat banyak. Mulai dari batu Nanggar, emas dan sebagainya. Kalau kita menemukan itu bisa kaya kita." Ucap Luhut kegirangan.

Ketika Luhut membicarakan hal itu kepada teman-temannya. Suara kayu jatuh terdengar kira-kira jarak 1 km ke dalam hutan. Mereka pun terkejut. Dan berlari ke arah suara itu. Mereka berlari secepat mungkin. Tondi ketinggalan dan berteriak sekeras-kerasnya.

"Woii! Tunggu aku!" teriak Tondi.

Luhut menoleh ke belakang. Mereka bersembunyi di balik batu besar memperhatikan empat orang lelaki yang sedang memotong kayu. Tubuhnya begitu kekar. Dan peralatan yang begitu lengkap. Luhut dan yang lainnya berada dalam rasa takut. Terutama Luhut karena ini merupakan hal yang menegangkan bagi dia. Sementara itu Tondi berusaha menenangkan kawan-kawannya.

"Sabar jangan ribut, nanti kita habis di buat mereka, itu orang yang tadi juga bukan?" tanya Tondi.

“Sepertinya iya,” ucap yang lain serentak.

“Kalau begitu cepat cari akal,” balas Tondi

Suasana semakin menegangkan, apalagi salah satu diantara lelaki yang memotong kayu berjalan ke arah mereka. Semakin dekat dan ternyata dia buang air kecil di dekat batu besar. Luhut dan yang lainnya masih mencari akal, untuk menghentikan orang-orang itu. Pohon jati mulai dibelah berbentuk balok. Sementara Luhut mengatur strategi untuk mencari bantuan.

"Tondi kamu ikut aku ya, untuk cari bantuan. Sementara Marihot dan Tua tetap disini." ucap Luhut, dia seperti panglima perang saat itu.

"Oke, kita nanti tinggalkan ranting di sepanjang jalan untuk tetap mengingat jalan," ucap Tondi.

Luhut dan Tondi segera mencari bantuan. Sementara dua orang temannya tetap bersembunyi. Para penebang pohon itu juga tidak hanya menebang pohon jati saja, tapi ada juga batu yang berwarna hijau muda dengan ukuran yang besar di samping mereka. Keadaan semakin genting apalagi hari sudah mendekati petang. Tua dan Marihot tetap bersembunyi.

Tondi dan Luhut pun pergi menuju puncak bukit. Seperti cerita orang di bukit ini juga ada pemukiman. Mereka berdua ingin mencari bantuan ke warga di pemukiman itu. Keduanya mempercepat langkah. Ada rasa takut dalam pikiran keduanya. Tidak lupa pula Tondi memetik batang-batang untuk penunjuk jalan pulang nanti.

“Tondi, apa benar disini ada pemukiman?”

“Menurut cerita seperti itu, hanya orang-orang tertentu yang datang ke bukit Nanggarjati ini Luhut,” ucap Tondi.

Tondi dan Luhut semakin kebingungan. Sudah begitu lama mereka mencari bantuan. Bahkan tanda-tanda pemukiman pun belum ditemukan. Luhut merasa bersalah karena dia mengajak teman-temannya ke tempat ini. Sementara Tondi berusaha untuk menyemangati Luhut. Dari kejauhan sosok lelaki betubuh besar dan wajah yang gelap datang mendekati mereka. Lelaki itu berlari dengan kencang. Luhut dan Tondi gemetar. Mereka mati langkah. Lelaki itu yang tidak lain mereka sebut Ompung Jollak.

“Tondi, bukankah ini Ompung Jollak,” ucap Luhut.

Lelaki itu tertawa melihat tingkah dua anak desa itu. Apalagi ketika dia di panggil sebagai Oppu Jollak. Lelaki itu kemudian berbicara pada dua anak itu.

Ompung Jollak Bah! Kaget kali dengarnya, saya ini bukan Ompung Jollak, tapi Ompung Nanggar,” ucapnya pada Luhut dan Tondi.

“Ha, bukan Ompung Jollak? Maaf kan kami Ompung, sudah berprasangka buruk,” Ucap Tondi, sambil menyalam Ompung Nanggar.

Ompung Nanggar merupakan kepala dusun di desa Tano Ponggol, sebuah dusun yang ada di balik Bukit Nanggarjati. Ompung Nanggar pun memperkenalkan dirinya. Perkenalan yang begitu singkat saat suasana yang genting. Mendengar hal itu, Luhut dan Tondi merasa gembira. Kemudian mereka menceritakan tentang orang-orang yang sedang menebang pohon kayu jati di seberang.

Ompung, bantulah kami dulu. Dua orang teman kami masih di sana,”

“Saya akan membantu, sudah lama kami mencari penebang liar disekitar bukit Nanggarjati ini.” Ucap Ompung Nanggar.

Kemudian dengan satu kali siulan Ompung Nanggar mengumpulkan sepuluh orang warganya. Melihat kejadian itu Tondi dan Luhut merasa kagum. Beberapa saat kemudian mereka pergi ke tempat Tua dan Marihot bersembunyi. Dengan mengikuti daun-daun yang di petik Tondi sebelumnya arah jalan lebih mudah di temui. Sementara itu, dari kejauhan Tua dan Marihot sudah gemetar. Ompu Nanggar kemudian mengatur strategi untuk menyergap penebang liar.

“Luhut dan yang lainnya berada di belakang. Pak Sakkot dan yang lainnya dari arah timur. Sementara kita dari arah depan. Nanti akan ada aba-aba untuk menyergap,” Perintah Ompung Nanggar.

Semuanya menganggukkan kepala dan mengerjakan perintah Ompung Nanggar.

“Kalian! Berhenti merusak hutan!” Ucap Ompung Nanggar.

“Kau siapa? Melarang kami.” Ucap salah satu diantara mereka.

“Aku yang menjaga hutan ini!” Balas Ompung Nanggar.

Ompung Nanggar merasa diremehkan. Dengan satu kali siulan keempat penebang liar berhasil di lumpuhkan. Luhut beserta kawan-kawannya merasa takjub dengan kehebatan  Ompung Nanggar.

“Terimakasih, Ompung sudah membantu kami. Maaf sekali lagi karena kami telah salah duga terhadap Ompung,” ucap Luhut.

“Tidak apa-apa. Oh iya ini sudah hampir malam. Tidak mungkin kalian turun lagi ke desa Nanggarjati. Menginaplah semalam di dusun kami. Besok baru kalian pulang,” ajak Ompung Nanggar.

Keempatnya saling melirik satu sama lain, karena ragu dengan tawaran itu.

“Tapi Ompung, bagaimana dengan ayah dan ibu. Pasti mereka kecarian.” Balas Tondi.

“Tidak apa-apa. Nanti saya kabari Pak Kades kalau kalian ada di sini.”

Kemudian Ompung Nanggar serta Luhut dan kawan-kawannya pergi ke arah dusun Tano Ponggol. Tidak lupa keempat penebang liar di bawa oleh warga.

 

Tentang Penulis: Mhd Ikhsan Ritonga bergiat di Komunitas Rumah Baca Nanggarjati dan Forum Lingkar Pena Medan


Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments