BLANTERWISDOM101

Resensi: Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Sabtu, 08 Agustus 2020

 

Buku

Judul: Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Judul Asli: The Subtle Art of Not Giving F*ck

Penulis: Mark Manson

Penerjemah: F. Wicaksono

Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)

Tahun Terbit: 2018, cetakat ke-3

ISBN: 978-602-452-698-6

Tebal: 246 halaman

Sekilas jika membaca judulnya, buku ini mungkin memberikan kesan tentang sikap ketidakpedulian seseorang karena frasa Bodo Amat yang tercantum di dalamnya. Umumnya, ungkapan tersebut menunjukkan sikap acuh tak acuh bagi sebagian besar orang yang sering diucapkan ketika mereka merasa sudah tidak mau ambil pusing. “Ah, bodo amat lah!”

Judul yang unik memang kerap memancing rasa ingin tahu pembaca terhadap sebuah buku dan Mark Manson berhasil melakukannya. Judul asli buku ini sebelum diterjemahkan memang agak sedikit tabu. Namun, syukurlah, pemilihan judul edisi terjemahan oleh penerbit rasanya sudah dengan pertimbangan yang banyak meskipun tidak menggunakan makna asli yang sebenarnya. Sampul dengan desain sederhana bisa jadi membuat orang bertanya-tanya, seni bersikap bodo amat itu yang seperti apa, sih?

Berbeda dari ekspektasi sebagian pembaca, buku ini justru tidak membahas sikap cuek seperti ungkapan yang umum kita pakai. Masa bodoh yang dimaksud oleh Manson adalah sikap ketika seseorang merasa nyaman saat harus berbeda. Menurut Manson, kehidupan yang baik bukanlah kehidupan di mana kita memedulikan banyak hal, tetapi tentang memedulikan hal yang sederhana, mana yang benar dan mendesak, mana yang lebih penting. Skala prioritas setiap orang jelas berbeda-beda, sehingga kita tidak mungkin bisa menggunakan standardisasi orang lain terhadap diri kita sendiri.

“Kebahagiaan itu masalah,” kata Manson. Menurutnya, kebahagiaan itu datang dari berhasilnya seseorang dalam memecahkan masalah. Menghindar dari masalah atau merasa tidak memiliki masalah justru akan membuat diri kita sengsara.

Kebahagiaan membutuhkan perjuangan. Kebahagiaan tumbuh dari masalah. Jadi, jika Anda ingin bahagia, berkubanglah dalam masalah, dan rela melakukan perjuangan yang melelahkan. Jika Anda berpikir bahwa kenikmatan itu kebahagiaan, Anda salah.

Apa yang menentukan kesuksesan Anda bukanlah, “Apa yang ingin Anda nikmati?” melainkan pertanyaan, “Rasa sakit apa yang ingin Anda tahan?”

Jalan setapak menuju kebahagiaan adalah jalan yang penuh dengan tangisan dan rasa malu.

Membaca buku ini mungkin saja memunculkan banyak sekali pertanyaan dan pro kontra bagi pembaca. Mason mengajak pembaca untuk jangan berusaha mati-matian, padahal di dalam Islam sendiri, kita dianjurkan untuk memiliki visi hidup dengan usaha maksimal. Perihal hasil, biarlah Allah yang menentukan. Tetapi bagi Manson, berlaku hukum kebalikan, semakin kuat kita berusaha merasa baik setiap saat, kita akan merasa semakin tidak puas karena mengejar sesuatu hanya akan meneguhkan fakta bahwa pertama-tama kita tidak baik-baik saja. Pengalaman positif adalah sebuah pengalaman negatif, menerima pengalaman negatif adalah pengalaman positif.

Berbeda dengan kebanyakan buku pengembangan diri lainnya yang mengajak orang lain untuk mengejar kesuksesan berupa kebahagiaan hidup atau bahkan pencapaian-pencapaian dalam hidup, buku ini justru tidak mengajari kita tentang bagaimana cara mendapat atau mencapai sesuatu, tetapi bagaimana cara berlapang dada dan membiarkan sesuatu pergi.

Kalau dikatakan buku ini anti mainstream, ya, ada benarnya.

“Kesadaran diri ibarat sesiung bawang. Punya banyak lapisan, dan semakin cepat Anda kupas lapisan demi lapisan, Anda akan semakin cepat mulai menangis tanpa disangka-sangka.” (halaman 82).

Peresensi: Evyta Ar

Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments