Semua orangtua di dunia ini pasti sangat menyayangi anaknya. Seberat dan sesulit apapun kondisi yang harus dihadapi, orangtua akan tetap berjuang demi anak. Tak satupun orangtua yang ingin kebutuhan anaknya tidak terpenuhi. Pun ketika sang anak mengalami kesulitan, atau pun saat tersakiti. Orangtua, terutama seorang ibu adalah sosok paling terdepan dalam pelayanan terbaik dan kasih sayang yang sempurna. Sejak awal janin mengisi rahimnya, ibu senantiasa menjaga dan melakukan banyak hal agar calon bayinya tumbuh di dalam kandungan. Dan setelah lahir, naluri seorang ibu bahkan rela tidak terpejam di saat kantuknya, hanya untuk menghindari gigitan nyamuk pada tubuh bayi mungilnya.
Tahukah kita bahwa
perhatian dan kasih sayang yang orangtua berikan ke pada anak adalah hal yang
akan terekam dalam benak mereka. Ibaratkan gula, iya kayak ada manis-manisnya.
Namun kebanyakan dari kita para orangtua seringkali salah dalam menakar 'gula'
yang pas seusai porsi yang seharusnya anak dapatkan.
Merujuk pada Pola Pengasuhan Ala Rasulullah dengan konsep
7-7-7 nya, sebaiknya orangtua tahu pentingnya takaran 'gula' yang tepat pada
pola asuh anak. Pada konsep ini dijelaskan bahwa anak usia 0 - 7 tahun adalah
masa pengasuhan secara dialogis dan fermisif. Yaitu dengan metode komunikasi 2
arah dan orangtua cenderung mulai mengenalkan kebiasaan-kebiasaan baik untuk
membangun karakter dan kemandiriannya. Walau kadang akan ada penolakan dari
sang anak sendiri. Hal ini penting, mengingat kelak mereka akan memasuki fase
kedua yaitu pengasuhan usia 7-14 tahun. Pada fase ini anak adalah tawanan atau
asisten orangtua. Dimana anak dituntut sudah mampu melakukan berbagai tugas
rumah dengan kadar kesulitan yang berbeda dan semakin bertambah tingkat
kesulitannya seiring bertambahnya usia dan kemampuannya.
Namun tak jarang kita jumpai, orangtua yang membiarkan
anaknya dalam kondisi 'gula' berlebih dalam pengasuhannya. Beberapa disebabkan
oleh faktor keluarga yang sudah lama menginginkan anak, atau sang nenek yang
lama mengidamkan cucu. Atau faktor trauma masa lalu, takut kehilangan dan lain
sebagainya.
Berbagai kondisi membuat orangtua takut anaknya mengalami
situasi sulit, sehingga selalu hadir sebagai Tim SAR atau mungkin pelayan
terbaik sepanjang hidupnya. Memakaikan kaos kaki dan sepatu anak setiap akan
berangkat sekolah dengan alasan biar cepat. Menyiapkan buku dan peralatan
sekolah anak dengan alasan agar tidak ada yang tertinggal. Menyuapkan anak
makan dengan alasan biar cepat dan tidak berantakan. Mengerjakan PR sekolahnya
dengan tujuan agar nilainya bagus. Bahkan hal terkecil tapi tak kalah penting
seperti melepas dan memakai celana sendiri setelah buang air.
Bagaiman bisa kita memintanya untuk mencuci piring sendiri
bila dirinya tidak merasa membuat piring kotor? Bagaimana mungkin kita untuk
membersihkan kamarnya, bila yang selalu dia lihat adalah kamar yang selalu
bersih dan rapi?
Psikolog anak Elly Risman M. Psi menyebutkan dalam sebuah
kutipannya bahwa "Suatu saat kita akan meninggalkan mereka, maka jangan
mainkan semua peran.
Jangan mainkan semua peran. Jangan memaksakan diri untuk
selalu ada dalam kondisi apapun. Anak kita perlu menikmati sulitnya memasukkan
kaos kaki, atau menaikkan celana usai buang air. Anak kita perlu tahu proses
menulis hingga menjadi rapi atau menjawab pertanyaan hingga benar semua.
Kemandirian yang kita ajarkan sejak dini, mulai dari hal-hal
sederhana seperti bisa makan sendiri atau membiarkannya menyelesaikan puzzle.
Kita tidak perlu menawarkan bantuan sampai masanya sang anak menyerah atau kita
lihat mulai kelelahan. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuannya
menghadapi masalah, menangani stres, mencari solusi dari masalahnya. Skill ini
disebut AQ atau Adversity Quotions.
Hal ini sangat penting, mengingat bahwa kita sebagai
orangtua tidak selamanya ada untuk mereka. Suatu saat kita akan meninggalkan
mereka. Maka jangan sampai kita meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan
lemah. Lemah dalam kemampuan menghadapi masalah, dan lemah dalam hal kemandirian,
memecahkan masalah.
Ataupun mereka akan meninggalkan kita untuk kehidupan mereka
di masa depan. Jika kita segera bergegas menyelamatkannya dari segala
kesulitan, dia akan menjadi ringkih dan mudah layu. Sakit sedikit, mengeluh.
Berantem sedikit, minta cerai. Masalah sedikit, jadi gila.
Jadi, izinkanlah anak kita melewati kesulitan hidup. Tidak
masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit menangis, sedikit kecewa, sedikit
telat, dan sedikit kehujanan. Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan
bantuan. Ajari mereka menangani frustrasi. Kurangi asupan 'gula' dengan selalu
menjadi ibu peri atau guardian angel bagi mereka. Apa yang terjadi jika
kita tidak bernafas lagi esok hari? Bisa - bisa anak kita juga akan ikut mati,
disebabkan obesitas dan diabetes dari hasil pola asuh kita selama ini.
Tentang Penulis
Suchi Mawarni, ibu muda dari 3 orang anak. Juga disibukkan
dengan rutinitasnya sebagai Guru TK islam terpadu Insan Azkia Medan. Karya
fiksinya ada di beberapa grup menulis. Dan pernah bergabung dengan beberapa
antologi cerpen dan puisi. Ia adalah salah satu anggota FLP Sumut. Dan ini
adalah karya non fiksinya yang pertama sebagai wujud kepeduliannya terhadap
dunia pendidikan dan anak.
masya allah terima kasih sudah diingatkan bunda
BalasHapus