BLANTERWISDOM101

KARYA PILIHAN : JEJAK MALAM GADIS KECIL

Sabtu, 22 Agustus 2020

Penulis : Kholi Abas

Karsinah, bocah berusia sembilan tahun itu meringis. Ia memijat-mijat kakinya yang terasa pegal dan sakit. Ingin rasanya ia menangis sekencang mungkin dan merengek-rengek ke ibunya. Tap ia urungkan niatnya itu karena kondisi malam yang mencekam. Kini Karsinah hanya bisa sesenggukan sambil terus memijat kakinya yang hampir mati rasa.

Ibu Karsinah yang tepat berada di samping Karsinah melihat jelas apa yang sedang dilakukan putri sulungnya. Ia juga paham bahwa putrinya itu sudah lelah dan merasa kesakitan. Tapi wanita paruh baya itu tak mampu berbuat apa-apa. Ia tak mungkin menggendong Karsinah yang beratnya 25 kilo. Punggung Ibu Karsinah pun sudah terisi oleh anak bungsunya yang masih berusia empat tahun. Sejujurnya, Ibu Karsinah juga merasakan hal yang sama. Ia lelah dan kesakitan. Bukan hanya di kakinya, tapi juga punggung dan terlebih batinnya.

Karsinah dan ibunya sudah berjalan sejauh tujuh kilometer. Mereka bersama dengan 72 orang lainnya yang berada dalam satu rombongan telah berjalan sejauh itu meninggalkan rumah juga harta benda dan keluarga yang ada di Dusun Tandus. Mereka pergi meninggalkan kampung halaman tercinta bukan tanpa alasan. Namun, perintah Buya Halim selaku tetua dusun yang tak bisa mereka tolak. 

“Demi menjaga keselamatan jiwa-jiwa suci,” begitu titah Buya Halim orang paling dihormati di Dusun Tandus. Akhirnya malam itu, 75 penduduk Dusun Tandus berangkat menuju dusun lain yang lebih aman. Sebuah dusun yang berada di balik bukit setelah lembah ke sembilan. 

Dipimpin oleh dua orang pemuda kepercayaan Buya Halim, rombongan yang kebanyakannya perempuan dan anak-anak itu melakukan perjalanan menerobos hutan. Menaiki dan menuruni bukit. Sementara kaum laki-laki banyak yang memilih tetap tinggal di dusun menemani Buya Halim. Menemani Buya Halim untuk mengusir para londo putih juga londo ireng.

Berita kedatangan para londo diketahui dari penduduk Dusun Rawas yang berhasil selamat dari kekejaman tentara Belanda yang sering disebut londo itu. Penduduk Dusun Rawas yang selamat sampai di Dusun Tandus, langsung memberitahukan rencana serangan yang akan dilakukan para londo ke dusun itu kepada Buya Halim. Tidak menunggu lama, menjelang magrib Buya Halim segera mengumpulkan para kaum laki-laki di dusun itu. Mereka berunding hingga akhirnya tercetuslah sebuah keputusan untuk mengamankan penduduk Dusun Tandus ke tempat lain yang lebih aman. Selepas isya, penduduk yang harus pergi memulai perjalanannya. Sedangkan yang tersisa harus tetap tinggal.

Benar saja, ketika rombongan sudah memasuki hutan dan menaiki bukit kedua, desingan peluru dan dentuman meriam mulai terdengar memasuki Dusun Tandus. Di antara dentuman meriam sesekali terdengar pekikan takbir yang menggema saling bersahutan. Suara-suara itu membuat siapa saja yang mendengarnya bergetar ketakutan. Banyak anak-anak yang mulai menangis ketakutan. Mereka takut mendengar desingan peluru, dan takut akan hutan yang gelap.

Suara-suara yang terdengar itu membuat langkah rombongan penduduk Dusun Tandus terhenti sejenak. Air mata mereka jatuh menganak sungai di pipi. Mereka pilu membayangkan apa yang terjadi di sana. Apa yang terjadi pada Buya Halim? Apa yang terjadi pada para bapak dari anak-anak kecil yang ada dalam rombongan ini? Apa yang terjadi pada para pemuda, anak-anak dari para ibu yang ada di rombongan ini juga? Dibalik tangis dan mulut mereka yang terkunci rapat, tak henti-hentinya mereka berdoa kepada Sang Maha Penolong. Berdoa demi keselamatan mereka yang di perjalanan, dan bagi mereka yang tertinggal di dusun.

Akhirnya, Sofiyan selaku pemimpin rombongan mengajak semua orang untuk melanjutkan perjalanan. Ia meminta agar semua orang mempercepat langkahnya. Ia takut tentara Belanda itu berhasil menyusul mereka ke dalam hutan. Walau ia tahu kalau para londo tak akan ada nyali untuk masuk hutan ini. Hutan yang banyak babi hutan raksasa juga macan yang buas. 
Kata Buya Halim sebelum mereka pergi, “Londo-londo itu tak akan ada yang berani masuk ke hutan itu. Mereka takut sama babi hutan juga macan.” Sofiyan yang kaget mendengar ucapan Buya Halim langsung membayangkan betapa menyeramkan wujud dari dua hewan yang disebutkan tadi. Seolah bisa membaca ketakutan di wajah Sofiyan dan penduduk lain, Buya Halim melanjutkan perkataannya, “Kalau kita? Kita tak perlu takut dengan hewan-hewan itu. Mereka mahluk-mahluk Allah yang lebih banyak dzikirnya dibanding manusia.”

Sofiyan dan rombongan pun mempercepat langkah mereka hingga setengah berlari. Mereka semua terus melangkah walau seringkali terjatuh karena lantai hutan yang penuh akar pohon dan gelapnya malam yang mengaburkan penglihatan mereka. Sofiyan yang berada di paling depan terus mengayunkan parangnya. Menebas semak belukar yang menghalangi jalan. Ia dengan gesit menyibak lebatnya hutan demi mebuka jalan bagi orang-orang yang ada di rombongan itu. 

Sofiyan dan rombongannya terus berjalan, bahkan terkadang berlari-lari kecil. Menyusuri jalan setapak yang penuh akar pohon, melewati semak-semak berduri, dan pernah mereka jumpai pacet yang sudah menempel di badan mereka ketika melewati lantai hutan yang sedikit basah. Mereka terus berjalan, menaiki bukit demi bukit. Menurunui lembah demi lembah, hingga sampailah mereka di lembah ke tujuh. Rombongan itu sudah kewalahan, banyak yang mulai kelelahan  dan tumbang, langkah mereka jadi lambat. Akhirnya mereka memilih beristirahat di lembah ini untuk sekedar mengatur nafas yang saling berburu dan mengisi tenaga dengan air.

Sofiyan bersama rekannya yang bernama Husen mengecek kondisi setiap orang di rombongan itu. Sofiyan yang ada di baris depan menyisir satu persatu orang di rombongan hingga ke tengah. Begitu juga dengan Husen, ia yang ada di baris paling akhir mengecek kondisi dari belakang. Mereka membagikan potongan gula merah kepada setiap orang. Mereka juga mengobati sebagian orang yang terluka dengan meneteskan cairan minyak tanah ke bagian luka agar tidak semakin parah.

Semua orang di rombongan itu merasakan hal yang sama. Lelah, sakit, takut, haus juga lapar. Tapi mereka hanya saling diam. Tak ada yang berkeluh kesah, karena mereka sadar semua orang merasakan hal yang sama. Begitu juga dengan anak-anak dalam rombongan. Mereka yang di awal perjalanan banyak yang menangis, kini mereka hanya mampu menahan isaknya. Mereka seolah sadar apa yang sedang terjadi. Anak-anak itu menahan isak tangis dan sakitnya, berharap segera sampai tempat tujuan. Termasuk Karsinah, gadis kecil yang masih memijat kakinya.

Karsinah menatap orang-orang di sekelilingnya. Mereka saling menolong dalam keadaannya yang sempit. Ada yang saling memijat kaki dan bahu, ada juga yang saling berbagi bekal seadanya. Gadis kecil itu menatap satu persatu wajah-wajah lelah. Termasuk wajah ibunya yang kini ia pandangi. Ibu Karsinah tengah sibuk menyuapi anak bungsunya dengan ubi rebus yang sudah dingin. Selain air minum, hanya itu yang mampu ia bawa sebagai bekal.

“Bu,” panggil Karsinah setengah berbisik.

“Iya, Nak?”

“Masih jauh?” tanya Karsinah berharap mendapatkan jawaban yang diinginkan.

“Sudah dekat. Tinggal dua lembah lagi kita akan sampai,” ucap Ibu Karsinah lembut sambil mengelus pundak putrinya. Karsinah terdiam, memikirkan jawaban ibunya. 

Dua lembah lagi, itu berarti ia harus melewati dua bukit lagi. Ia menghela nafas panjang. Membayangkan harus menaiki bukit-bukit yang membuat kakinya semakin sakit. Karsinah menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang bayangan lelahnya harus menaiki dua bukit lagi. Tapi tiba-tiba ia terdiam lagi, ia berpikir. Pikirannya kini tertuju pada bapak, Buya Halim, dan orang-orang yang tertinggal di Dusun Tandus.

“Bu,” panggil Karsinah lagi.

“Iya?”

“Bapak dan Buya bagaimana?” tanya gadis kecil itu khawatir.

“Mereka akan menyusul kita, insya allah,” jawab Ibu Karsinah berusaha menenangkan hatinya yang juga sedang bergejolak hebat.

Menyebut Buya Halim membuat Karsinah teringat akan kisah-kisah nabi yang sering diceritakan oleh Buya di surau setiap sore. Selain tetua Dusun Tandus, Buya Halim juga mengajar ngaji anak-anak di Dusun Tandus. Sebelum memulai ngaji, biasanya Buya Halim akan menceritakan kisah-kisah manusia pilihan agar menjadi teladan bagi anak-anak Dusun Tandus. Mengingat kondisi yang kini dialami Karsinah, gadis kecil itu terbayang kisah hijrahnya Sang Nabi ke bumi Yatsrib yang diceritakan Buya Halim beberapa hari lalu. Karsinah merasa, dirinya kini sedang melakukan hal yang sama dengan Sang Nabi. Ia sedang melakukan hijrah, pikir Karsinah.

“Bu, kita sedang hijrah ya, Bu?” tanya Karsinah ingin meyakinkan bahwa apa yang dipikirnya itu benar. Ibu Karsinah sontak sedikit terkejut dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba berubah dari pembicaraan di awal. Namun, dibalik keterkejutannya ada rona bahagia yang tersirat dari senyum yang menghias bibirnya. Ia tentu tahu jika putrinya sedang mengingat kisah yang diceritakan Buya Halim itu. Karsinah sering menceritakan ulang apa yang didengarnya di surau kepada ibunya ketika di rumah. 

“Iya, Nak. Betul,” jawab Ibu Karsinah dengan senyumnya yang haru.

“Jadi begini ya Bu rasanya hijrah. Berat meninggalkan kampung kita, juga bapak dan orang-orang yang tertinggal di dusun,” Karsinah menjawab dengan lemas lantaran sedih mengingat bapaknya.

“Sabar, Nak. Ingat apa yang dikatakan nabi waktu ia hijrah bersama Abu Bakar?” Ibu Karsinah mencoba menghibur anaknya dengan mengalihkan pikiran karsinah agar fokus kepada kisah hijrah. Gadis kecil yang ditanya itu hanya menggeleng. Ia seakan lupa bagian kisah yang dimaksud ibunya.

“Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,” jawab Ibu Karsinah yang kini tersenyum. Mendengar jawaban ibunya, membuat Karsinah teringat kembali bagian kisah yang ia lupa. Ia teringat bagaimana kondisi Sang Nabi bersama Abu Bakar lebih sulit dan menakutkan kala itu. Mereka bersembunyi di dalam gua selama beberapa hari demi menghindar dari kejaran musuh yang berniat membunuh mereka. 

Nabi dan Abu Bakar memilih rute yang tidak biasa dalam menuju kota tujuan hijrah. Ini dilakukan untuk mengelabui musuh. Karsinah berpikir, keputusan Buya Halim yang memerintahkan penduduk Dusun Tandus agar pergi ke tempat tujuan melalui hutan ini juga termasuk dalam sikap meneladani strategi Sang Nabi. Karsinah berdecak kagum setelah menyadari itu, ia angguk-angguk sendiri.

Gadis kecil yang kini merasa sudah lebih baik itu juga teringat akan sosok orang yang tertinggal ketika nabi dan para sahabatnya yang lain telah melakukan hijrah. Sosok itu adalah Ali Bin Abi Thalib. Seorang pemuda yang dengan gagah berani menggantikan posisi nabi untuk tidur di rumahnya. Rumah yang saat itu sudah dikepung oleh para musuh yang siap menghunuskan pedang-pedangnya. 

Karsinah jadi teringat lagi kepada bapak dan orang-orang yang tertinggal di dusun. Ia membayangkan mereka seperti sosok Ali yang berani menetap demi menghalau musuh-musuh. Mengingat itu, Karsinah langsung tersenyum senang. Ada pancaran kebahagiaan di wajah mungilnya.

“Bu, bapak, Buya Halim dan yang lain pasti akan menyusul kita. Mereka pasti berhasil menghalau para londo ya, bu?” tanya Karsinah yang masih kegirangan. Sedangkan Ibu Karsinah yang ditanya masih nampak bingung mencerna maksud pertanyaan anak sulungnya itu.

“Mereka pasti selamat, Bu. Seperti Ali. Ali berhasil menyusul nabi dan penduduk Mekah yang hijrah ke Madinah.” Ibu Karsinah hanya tersenyum mendengarkan perkataan putrinya. Jauh dalam hatinya, ia juga berharap semoga suami dan semua orang yang masih di Dusun Tandus bisa menyusul mereka dengan selamat ke tempat tujuan mereka pergi. 

Ibu Karsinah kini sibuk dengan lamunannya, di saat putrinya, Karsinah, juga sedang sibuk dengan kisah hijrah Sang Nabi yang kini bermain di pikirannya.

Gadis kecil itu kini membayangkan sosok sahabat nabi yang sangat pemberani, Umar Bin Khattab. Sosok satu ini dengan gagah dan tak takut sedikitpun berani melakukan hijrah secara terang-terangan. Ia bahkan menantang para musuh yang akan menghadangnya untuk keluar menghadapnya jika ingin anak-anaknya menjadi yatim. Karsinah berandai-andai jika saja saat ini ada sosok seperti Umar, pastilah para londo itu lari terbirit-birit ketakutan. Ia cekikikan, tertawa geli akan pikirannya sendiri. Ibu Karsinah juga ikut tertawa melihat tingkah putrinya. Tak terasa, lelah  dan sedih yang menghampiri mereka kini seolah lenyap perlahan.

Pikiran gadis kecil itu masih menerawang jauh ke kisah hijrah. Kali ini ia membayangkan betapa dekatnya pertolongan Allah kepada nabi saat peristiwa hijrah seperti yang dikisahkan oleh Buya Halim. Ia teringat bagaimana Allah menutupi pandangan para musuh yang mengepung rumah Sang Nabi dan membuat mereka terlelap ketika nabi keluar rumah. Karsinah juga teringat ketika Allah memerintahkan seekor laba-laba dan burung untuk membuat sarang di mulut gua tempat nabi dan Abu Bakar bersembunyi.

Ia jadi terpikir tentang perjalanannya malam ini. Walau dirasa mencekam, namun dari awal ia dan rombongan memasuki hutan ini belum pernah sekalipun mereka bertemu atau diganggu hewan-hewan penghuni hutan ini. Padahal dari cerita yang banyak beredar, hutan ini masih banyak dihuni oleh babi-babi hutan yang berukuran besar, dan juga macan yang menjadi penunggu hutan. Karsinah merefleksikan diri, ia sampai pada kesimpulan bahwa semua itu adalah pertolongan Allah. Gadis kecil itu mengucap syukur berkali-kali.

Kisah hijrah Sang Nabi yang bermain di pikiran Karsinah membuatnya merasa lebih baik. Lelah dan sakit di kakinya kini tak lagi dirasa. Setelah hampir 30 menit ia dan orang-orang dalam rombongan beristirahat, kini mereka telah siap untuk melakukan perjalanan menuju sebuah dusun setelah lembah ke sembilan. Mereka siap untuk segera sampai tempat tujuan meski harus melewati dua bukit lagi. Perjalanan kembali dilanjutkan setelah Sofiyan dan Husen selesai mengkondisikan semua orang di rombongan itu. Dengan posisi yang masih sama, Sofiyan memimpin di depan, sedangkan Husen menjaga dari belakang.

Kini Karsinah melangkah dengan ringan dan riangnya. Berharap kisah hijrahnya akan berahir sama dengan hijrahnya Sang Nabi. Sebuah akhir yang bahagia. Ia membayangkan akan disambut oleh penduduk dusun yang baik hati seperti penduduk Madinah menyambut nabi dan rombongan hijrah dari Mekah. Hingga akhirnya bisa berkumpul kembali dengan bapak, Buya Halim, dan penduduk Dusun Tandus lainnya. Karsinah sudah tidak merasa lelah, takut, dan sedih lagi. Ia tahu jika Allah selalu ada bersamanya.


Tentang Penulis

Kholi Abas merupakan nama pena dari seorang perempuan kelahiran 93 yg telah menjadi ibu dr seorang putra. Beberapa karyanya pernah di muat di media cetak maupun media online, seperti serial cerbung "Pesan Cinta Dandelion" yg dapat dinikmati di biem.co. Buku antologinya yg pernah terbit seperti "Toga di Tepi Jendela", dan "Gilalova"
Kholi Abas kini tergabung dalam komunitas FLP Medan.

Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments