Oleh : Dewi Pertiwi
Angga namanya. Siswa sekolah menengah pertama kelas sepuluh. Pendiam dan menjauhi permusuhan adalah prinsipnya. Sosoknya yang cool menjadikannya banyak digemari remaja perempuan di sekolahnya. Tak heran jika beberapa temannya seolah cemburu dengan bakat bawaan lahir dirinya yaitu menjadi pusat perhatian perempuan. Punya teman banyak tak penting bagi Angga, yang terpenting adalah kawannya sepanjang masa, Rayhan dan Andika selalu menemaninya dalam berbagai keadaan. Mereka teman sejak kecil, sejak dalam kandungan malah. Jika kalian pernah melihat tiga orang perempuan hamil kemana saja selalu bersama, begitulah kekompakan ibu mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.
Suatu pagi yang sedikit gerimis, terdengar perkelahian dari kelas Sepuluh B. Itu kelas Rayhan. Pak Syaiful, guru Biologi mendapati dua siswa dari kelas Sepuluh A ada disana. Siapa lagi jika bukan Angga dan Andika. Pak Syaiful yang saat itu kosong jadwal mengajar langsung membawa empat siswa itu ke ruangan BP, kebetulan Pak Amar, guru BP di sekolah itu ada di ruangannya. Pak Syaiful dan Pak Amar berbicara sebentar dengan nada pelan.
“Kenapa berkelahi?” Tanya Pak Amar. Mereka berempat diam.
“Siapa yang mulai duluan?” Lanjutnya lagi.
Indra, siswa kelas Sepuluh B menunjuk Angga. “Dia duluan, Pak.”
“Benar Angga?”
“Dia pecahkan jam tangan Vanesa waktu jam olahraga tadi pagi, Pak. Tapi dimasukkan ke tas Rayhan. Saya lihat pakai mata kepala saya sendiri. Tadi saya mau ke toilet, Pak.”
“Ga ada, Pak. Dia fitnah saya.” Kata Indra membela diri.
Percakapan mereka semakin seru di dalam sana, hingga akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk memanggil orangtua masing-masing ke sekolah besok.
Biasanya pulang sekolah akan diwarnai dengan percakapan penuh canda sepanjang jalan. Tapi kali ini tidak. Mereka bermonolog dengan pikiran mereka masing-masing. Perasaan yang sungguh tidak enak, tapi harus dilewati.
“Angga.” Panggil seseorang di belakang jalan mereka.
Saat menoleh bersamaan. Gadis berambut Panjang dengan bando merah muda mendekat.
“Maaf, karena jam tanganku, kalian dipanggil guru BP tadi.” Vanesa buka suara.
“Bukan karena jam tanganmu kok. Tapi karena dia masukin jam itu ke tas Rayhan dan nuduh Rayhan yang pecahkan. Aku ga suka dia lempar kesalahan sama orang lain.” Angga berjalan sambal mengajak dua rekannya lagi, meninggalkan Vanesa berdiri ditunggu oleh sopir pribadinya di dalam mobil yang terparkir rapi di pinggir jalan.
“Makasih ya, kalian berdua.” Akhirnya Rayhan memulai obrolan.
Angga merangkul Rayhan dengan tangan kanannya. Rayhan menyikut pinggang Andika. Sejenak kemudian mereka sudah kembali tersenyum dan tertawa membicarakan apa saja.
***
Ruang BP terasa begitu dingin, mungkin suhu ruangan sekitar 180 C. Angga, Rayhan dan Andika duduk di sebelah ibu mereka masing-masing. Tak ada yang berani berkutik, bahkan tangan mereka pun dengan sempurna dipegangi oleh perempuan sepersahabatan itu. Tinggal menunggu Indra dan orangtuanya datang. Beberapa menit berlalu, Pak Amar masuk ke ruangan BP lalu menjelaskan beberapa hal dan mempersilahkan ketiga ibu yang bersangkutan pulang. “Masalahnya sudah selesai, Bu. Silahkan Ibu pulang ke rumah masing-masing. Anak-anak silahkan kembali ke kelas.”
Tentu saja ketiga ibu pulang dengan penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin mereka dipanggil ke sekolah karena kenakalan anaknya, tapi disuruh pulang begitu saja. Ada rasa bersalah dalam hati mereka karena sudah memarahi anaknya habis-habisan tadi malam. Ternyata masalahnya tak sebesar itu, buktinya bisa selesai secepat ini.
***
“Kalian tau gak, kasus kita kemarin itu ditutup karena Papanya Indra minta Kepala Sekolah untuk nggak memperpanjang masalahnya. Trus jam tangan Vanesa diganti sama Papanya Indra dengan jam branded yang lebih mahal lagi. Enak banget ya jadi orang kaya. Pake duit aja nyiapin masalahnya sama orang.” Kata Rayhan pada Angga dan Andika. Ia mendapatkan cerita ini dari Vanesa.
“Kok Pak Kepsek mau sih?”
“Ga tau, katanya sih dibawain oleh-oleh, orang tuanya Indra baru pulang dari Kanada.”
***
Maka, jadi apa sosok Indra sekarang? Yang selalu diselamatkan orangtuanya tiap punya masalah. Yang sedari kecil sudah diajarkan untuk menyelesaikan tiap masalah dengan uang?
Tiga puluh tahun berlalu. Cerita semasa SMP itu tak akan mereka lupakan begitu saja. Apalagi ditambah dengan kondisi saat ini. Saat mereka tau kejadian yang hampir sama terjadi lagi. Kejadian yang lebih hebat, yang terlahir karena ketidak tegaknya keadilan masa lalu, menciptakan seorang manusia berhati dingin yang dengan mudah mengatur segalanya, bahkan hidup orang lain dengan uang.
Seorang pemuda tanggung, mungkin delapan belas tahun usianya. Bebas dari pengadilan tanpa hukuman apa-apa setelah menghilangkan nyawa seorang perempuan dengan seorang anaknya. Mereka bilang itu kecelakaan. Mereka bilang pemuda itu tak sengaja. Mereka bilang pemuda itu masih belajar menyetir mobil. Lantas jika masih belajar, mengapa dibiarkan berkendara di jalanan? Apakah polisi tak bertanya tentang Surat Izin Mengemudi? Tanda tanya itu memenuhi kepala Angga.
Belum hilang sedihnya karena kehilangan istri dan anaknya yang bungsu, ia harus mengghadapi kenyataan bahwa orang yang katanya tak sengaja menabrak tokonya di pinggir jalan adalah anak dari temannya semasa SMP dulu. Teman yang dengan mudah menutup kasus padahal telah melemparkan kesalahan pada orang lain. Apakah akan berulang akhir yang sama?
Dan benar saja, kasus itupun ditutup dengan alasan yang menabrak adalah bocah di bawah umur. Kalau dia di bawah umur, kemana orang tuanya? Tidakkah mereka mengajarkan cara untuk merasa bersalah, menyesal dan meminta maaf? Akan jadi apa ia pada usia dewasa nanti jika dibiarkan begitu saja?
Angga cuma duduk, menatap kosong. Sementara Rayhan dan Andika duduk di sisi kanan dan kirinya. Mencoba menenangkan, mencoba memberi nasihat. Akan sulit sekali dicerna hati, tapi ini adalah takdir yang harus diterima.
Biodata Penulis
Dewi Pertiwi, seorang perempuan 30 tahun yang berprofesi sebagai istri, ibu dari seorang anak, dosen dan apoteker. Menggemari novel dan fiksi lainnya. Tapi lebih sering menulis jurnal ilmiah. Bisa ditemui di IG pertiwidewi710, FB Dewi Pertiwi.
Share This :
0 comments