Pohon kelapa memikat mata, bergoyang ke kiri dan kanan
secara beriringan. Ombak saling mengejar hingga ke bibir pantai. Sore ini
merupakan waktu yang tepat menghabiskan pergi ke pantai.Bibir pantai yang sangat mesra, orang-orang
selalu betah menyaksikan senja pergi. Ada yang bermain bola voli, menghabiskan
waktu dengan keluarga, mencari tempat hanya untuk sekedar mengabadikan
peristiwa-peristiwa penting.
Lain
halnya dengan perempuan yang masih tegap berdiri di bagian paling ujung. Dengan
wajah dan hati yang gundah. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra.
Sampai senja pergi ia masih tetap tegap berdiri.
Perempuan itu menatap
ke arah
barat. Sepertinya ia melihat kepergian yang membawa harapan. Harapan yang
berarti untuk perempuan seumuran dia. Mungkin tentang asmara, tapi bisa saja
bukan. Matanya berlinang, tapi
airmatanya tak jatuh. Hari sudah petang, matahari pun telah berwarna merah pertanda ia harus mengakhiri
penantian hari itu. Bisa saja hari itu ia tetap
menunggu, tapi hasrat ingin berteduh. Perempuan itu
menyisiri bibir pantai sambil menatap ke belakang. Jejak kakinya juga mengikuti. Sesekali lisannya komat-komit perihal kepergian.
"Siapa yang
salah? Semuanya jadi amburadul," ucapnya. Sambil mengusap kedua matanya.
Matahari perlahan-lahan terbenam dan sepanjang jalan pulang ia tetap melihat
ke arah yang
sama. Tak lama kemudian dia
meninggalkan tempat itu, dia mempercepat langkah. Kemudian berlari seperti
dikejar oleh seorang pria seperti di film-film India.
Beberapa saat kemudian perempuan
itu sampai di rumah. Senyum tak kunjung hadir di wajahnya. Baunya
juga amis. Dia mengetok pintu, penuh harap dibukakan oleh ibu tirinya.
"Bu, Roma
pulang!" Teriaknya. Sambil mengetok pintu
Ibunya membuka
pintu dengan penuh harapan puterinya membawa sesuatu yang bisa di makan.
"Sudah
pulang aja Rom, tak biasanya kau pulang jam segini," ucap ibu. Datar.
"Kau bawa
apa?" Tambah ibunya.
Dia diam.
Dipandanginya wajah ibunya yang berubah drastis sejak peristiwa itu. Peristiwa
yang membuat keluarganya amburadul seperi saat ini. Hampir tak ada senyuman di
setiap harinya. Makian yang bertubi-tubi datang. Roma menyeka air mata. Berlari
ke kamar. Dilihatnya foto ayahnya yang terpajang di dinding kamarnya.
“Ayah, adakah cinta yang lebih arif, jika ada harapku
cepatlah kembali,” ucap Roma. Memeluk foto ayahnya.
“Masih kau pandangi foto ayahmu!” Bentak ibunya.
“Sejak kapan ibu disini,”
“Sejak kau tangisi foto jadul itu,” balas ibunya. Tertawa
sumringah.
Kemudian ibunya pergi meninggalkan Roma di kamar. Roma
kembali memeluk foto ayahnya. Air mata menetes. Kerinduan Roma sudah ada puncak
kesabaran. Roma tak tahu apa ayahnya masih hidup atau hanya sekedar pergi untuk
merantau. Namun batinnya bersikukuh kalau ayahnya masih hidup di belahan dunia
yang luas. Peristiwa dua tahun lalu, memang sangat tragis. Ketika ayahnya pergi
berlayar dan ombak besar menghampiri perahu sampai saat itu tak ada kabar
pasti, ayahnya masih hidup atau sudah tiada.
"Maaf bu,
Roma tak bawa apa-apa. Soalnya tidak ada yang menerima kerja di pasar
tadi." Ucap Roma.
Ibunya menghela
napas. Menatap wajah puterinya itu, seakan-akan ingin membunuhnya saja.
"Memanglah
kau, tak ada otak, cari kerja yang lain. Pasti kamu seharian di pinggir pantai
lagi kan? Masih menunggu kepulangan ayahmu? Berapa kali aku bilang Ayahmu telah
melupakan kita. Tak kau lihat sudah lima tahun ditinggal disini saja."
Suaranya menggelegar seperti petir.
Dia hanya diam.
Menunduk. Ingin rasanya ia menjawab semua tanya dari ibu. Tapi dia takut malah
akan membuat masalah semakin besar. Malam sudah tiba. Saatnya Roma membantu
ibunya mencuci pakaian yang dititipkan oleh tetangga. Di rumah itu, jarang ada
senyum dari ibu kepada anak, walau bukan ibu kandung Roma.
Roma melakukan
pekerjaan itu dengan ikhlas. Walau airmata harus bersimbah. Tak jarang ia
mengingat masa bahagia ketika ayah dan ibunya masih ada. Tapi Allah sudah
mengatur jalan hidupnya. Ia ingin menjadi anak-anak seusianya yang menikmati
masa sekolah dan masa-masa bermain. Tapi itu semua jauh dari pandang. Sebab tak
ada bahu untuk bercerita.
Azan Magrib
berkumandang. Roma menghentikan pekerjaan. Ia bergegas membersihkan badan dan
melaksanakan salat. Sayup-sayup senja dan panggilan azan begitu mesra. Tak
jarang bulu ari Roma merinding mendengar panggilan suci itu. Di bentangkannya
sajadah. Seusai salat dua tangan menadah dan bercerita pada sang Kuasa. Masih
ada Allah yang menemani hidupnya di kala bara api dimana-mana. Airmatany jatuh.
Membasahi pipi. Ia bercerita lewat doa kepada TuhanNya. Malam
itu menjadi teduh, keheningan malam membawa semuanya dalam
peristirahatan.
Roma masih
teringat kalau setiap minggu akan banyak kapal besar yang lewat dari pelabuhan
Batang Natal.
"Ayah,
kapan lagi aku melihat wajahmu dan mendekap tubuh itu," ucap Roma di dalam
kamar.
Mentari
bersinar, di bibir pantai yang begitu mesra Roma pergi ke sana lagi. Tanpa
sepengetahuan ibunya. Perempuan dengan jilbab merah jambu di kepalanya yang
membuat dia terlihat indah bergegas menuju pinggir pantai. Matahari pagi masih
sangat bagus untuk dinikmati. Bertepatan dengan hari libur pantai Batang Natal
penuh dengan orang-orang yang ingin berwisata. Roma memanfaatkan kesempatan itu
untuk berjualan minuman es kelapa yang di ambilnya dari penjual di pondok dekat
pantai. Ia menjajakan jualannya. Hingga sore hari tiba.
Perlahan
orang-orang mulai sunyi, pantai itu ditinggal. Roma terisak melihat orang yang
pulang dengan seorang Ayah. Ia duduk di batu besar. Di pandangnya ujung lautan.
Di saksikannya matahari yang akan tenggelam. Sementara dari kejauhan bayangan
ibunya terlihat oleh Roma. Berjalan dengan cepat menuju kearahnya.
"Disini
lagi kau rupanya? Belum yakin, kalau ayahmu tak akan kembali." Ucap ibu.
Matanya merah memandang Roma. Bayu bertiup dan melewati jilbab
yang dipakai Roma. Tubuhnya gemetar.
"Bu, aku
hanya rindu Ayah, barangkali saja dia lewat dari sini," balasnya.
"Tak yakin
kau dengan surat ini." Ditunjukkan ibunya surat wasiat dari Ayah Roma yang
sudah lama dia simpan.
Air mata
Roma kembali jatuh. Tak menyangka ibunya akan setega itu. Surat yang menyatakan
tentang kepergian Ayah Roma, dan meninggalkan Roma sebab mempunyai hutang
kepada Ibu tirinya.
Senja
menyaksikan tangisan Roma. Ibunya tertawa dan menatapnya tanpa iba. Suara kapal
besar terdengar akan mendekati pelabuhan. Roma berlari. Begitu juga dengan
ibunya. Seorang laki-laki dengan perawakan mirip dengan Ayah Roma turun dari
kapal.
"Ayah,
akhirnya pulang juga," ucap Roma mendekati laki-laki itu.
"Kau siapa?
Aku bukan ayahmu," balasnya. Sambil merangkul anak dan istrinya.
"Roma, Ayok
pulang!" Teriak Ibunya.
Roma menatap
laki-laki yang dia sebut ayahnya. Ditinggalkannya pelabuhan dan senja yang
akhirnya tak membawa harapannya. Tangisannya pecah hari itu.
Tentang Penulis Mhd Ikhsan Ritonga lahir dan besar di Roncitan Tapanuli Selatan, 30 Juli 1998. Beberapa karyanya pernah di muat di media cetak dan media elektronik. Buku antologi puisi tunggalnya berjudul Setapak Jalan (guepedia, 2019).
0 comments