Penulis: Suci Widyasari
Manusia hidup beragam waktunya. Sebagian sebentar, sebagian lainnya lama. Beberapa bahkan sangat lama. Pertanyaannya bukanlah berapa lama napas yang kita punya,melainkan berapa berarti itu semua. Lisa Samadikun
Ada yang bilang kalau musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Saat terjebak di masa lalu kadang kita berada di zona limiting belief. Sebuah keyakinan yang membelenggu pikiran seseorang sehingga menyebabkan tidak berdaya. Misalnya hopelessness (tidak memiliki harapan), helplessness (tidak mampu tanpa bantuan), worthlessness (mampu namun merasa tidak layak). Keyakinan seperti itu sangat mempengaruhi kesehatan mental maupun fisik, tentunya berpengaruh juga terhadap kehidupan yang saat ini dijalani.
Limiting belief membuat seseorang membatasi ruang dirinya untuk berkembang dan hidup menjadi lebih baik. Seperti yang pernah saya alami, proses panjang yang akhirnya mengantarkan diri harus berdamai dengan masa lalu dan berpindah ke belief untuk mencapai keberhasilan yang diimpikan. Perjalanan hidup memang sebuah misteri. Kita tidak akan meminta sesuatu yang buruk terjadi, tapi hari-hari silih berganti bukan hanya hal baik yang memenuhi akan tetapi untuk keseimbangan hal buruk juga turut menghiasi.
Banyak orang mengatakan kunci bahagia itu be here, now. Ada sepenuhnya di momen ini, sekarang. Kejadian sebaliknya malah, lagi berkendara tapi pikiran ada di rumah, atau lagi makan pikiran berada di kantor, bahkan saat berwisata ternyata kita tidak benar-benar menikmati, hanya badan yang sedang dalam perjalanan sedangkan pikiran carut marut penuh dengan segala problematika. Jadi sesederhana itukah kebahagian itu diwujudkan? Tentu tidak. Nyatanya setiap orang punya prosesnya masing-masing untuk menuju makna bahagianya sendiri.
Kondisi lain, saat kita dianugerahi umur panjang lalu disibukkan dengan terlalu memikirkan masa depan. Seolah kita berada di sebuah labirin mencari jalan keluar dan tidak dapat menikmati hari-hari yang sedang dilalui. Di sinilah kita memerlukan keseimbangan. Berorientasi terhadap masa depan merupakan hal positif namun jika ada kata terlalu yang mencampuri sama halnya seperti saat terjebak di masa lalu, yang ada hidup terasa begitu sesak.
Saat mulai sadar ada sesuatu yang
tidak beres, bukankah itu awal perubahan yang baik? Tuhan selalu punya cara
untuk menarik makhluknya agar memperbaiki hidup. Biasanya dari sesuatu yang
menyakitkan adalah permulaan kebangkitan. Misalnya saat kesehatan memburuk,
kebangkrutan, kondisi keluarga tidak harmonis, pekerjaan terlalu menyita
pikiran dan tenaga, atau sesuatu yang terjadi lainnya tidak sesuai dengan
harapan. Setiap orang berhak untuk mengubah dirinya. Seperti yang dikatakan
oleh Zia Kusumawardani,
“Semakin besar masalah yang datang, semakin besar juga kesempatan untuk berkembang dan bertumbuh.”
Sangat disayangkan saat kita tidak ingin beranjak dari keterpurukkan, waktu kita terbatas, bagaimana cara agar waktu yang masih diberikan ini menjadi lebih bermakna. Bukan hanya bermanfaat buat diri melainkan berguna untuk orang-orang yang ada di dekat kita. Cerita sedikit bagaimana baiknya Tuhan terhadap diri saya. Barangkali ada hal baik yang bisa diambil. Tahun lalu kesehatan memburuk, seolah menjawab doa-doa yang selama ini dipanjatkan.
Tuhan mempertemukan saya dengan banyak orang yang mengerti tentang kesehatan fisik maupun psikis. Dan itu bibit semangat untuk belajar. Belajar agar memahami badan sendiri, mencari tahu akar masalah yang menjadi penyebab. Dalam setahun belakangan banyak perubahan yang saya rasakan. Pikiran lebih positif, lebih bergairah melakukan banyak hal. Dengan fisik yang lebih sehat akan membuat pikiran lebih tenang, gangguan emosi berkurang, dan yang patut disyukuri kondisi itu membuat saya lebih mudah mengerjakan ibadah.
Niat
yang baik, lakukan sedikit demi sedikit, pelan-pelan saja, nanti Tuhan bukakan
jalan-jalan dan kita tinggal melewatinya sambil memetik makna.
0 comments