Namanya Maya.
Aku memanggilnya kak Maya. Selain usianya lebih tua dariku, dia adalah saudara
seayah seibuku. Yah, dia kakak sulungku. Bagiku dia adalah malaikat, begitupun
bagi orang tua dan adikku.
Enam tahun yang
lalu adalah masa-masa tersulit bagi kami. Yah, kami sekeluarga. Ayahku, ibuku,
kak Maya, dan adik laki-lakiku, Nanda. Ayah mengalami masa kritis di rumah
sakit, semua tabungan terkuras untuk biaya pengobatan ayah. Tak hanya tabungan,
tanah perkebunan sumber penghasilan keluarga kami pun berpindah tangan. Waktu
itu kak Maya duduk di kelas 3 SMA, Nanda baru saja masuk SD, sedang aku baru
duduk sebagai siswa baru di satu-satunya SMP yang ada di kampung kami.
“Ibu, Pak Herman
akan mengalami kelumpuhan seumur hidup. Besok bapak sudah boleh dibawa pulang
untuk mengurangi biaya pengobatan. Tapi, ada beberapa obat yang harus tetap
dikonsumsi,” kata dokter Fatma pada Ibu.
Sejak itu
kehidupan kami berubah 180 derajat. Ayah tidak bisa lagi bekerja, Ibu yang
biasa menemani ayah ke kebun sudah tak ke kebun lagi, sebab kebun itu telah
terjual. Waktu itu aku baru saja pulang sekolah ketika ku dengar kak Maya
berkata, “Buk, izinkan Maya pergi ke Medan, yah? Maya punya teman yang ngajakin
kerja.”
Setelah
berulangkali kudengar kak Maya memohon pada Ibu, akhirnya setelah Ujian
Nasional Ibu mengizinkan kak Maya ikut dengan temannya itu. Sebulan kemudan
baru kak Maya pulang. Katanya dia mau ke sekolah jeput SKHUN biar kerjanya bisa
lebih enak. Cuma dua hari kak Maya di rumah, dia kembali lagi ke Medan setelah
memberikan amplop cokelat kecil ke Ibu. Katanya itu gaji pertamanya.
Bulan kedua kak
Maya mulai mengirim uang. Itu terus berlanjut sampai aku menyelesaikan SMA-ku.
Uang kiriman kak Maya nominalnya selalu bertambah setiap bulannya. Bahkan enam
bulan kak Maya bekerja, sudah cukup untuk memodali warung kelontong yang dibuka
ibu di teras rumah. Dan sekarang warung itu sudah menjadi grosir terbesar di
kampung kami.
Begitulah kak
Maya menjadi malaikat penolong di keluargaku. Sempat aku berpiki untuk ikut bekerja setelah tamat SMA, tapi kak
Maya tak mengizinkan, katanya aku harus kuliah. Karena itu permintaan kak Maya,
aku pun belajar lebih giat untuk bisa masuk ke universitas negeri. Walau
akhirnya Tuhan berkehendak lain.
Kak Maya
memilihkan sebuah kampus swasta terbaik di Medan, karena aku gagal di test
ujian masuk PTN. Tak tanggung-tanggung, kak Maya memilihkan jurusan kedokteran
untukku. Aku yakin itu membutuhkan biaya yang besar, tapi kata kak Maya aku
harus melanjutkan cita-citanya menjadi dokter. Sekarang aku
sudah kuliah di semester tiga. Aku tidak pernah tau berapa banyak uang yang
dikeluarkan kak Maya untuk biaya kuliahku. Dia memilihkan kamar kos yang cukup
mahal dengan fasilitas terbaik untukku, membelikanku sepeda motor baru untuk kugunakan
ke kampus, dan mengisi buku tabungan dengan nominal yang sangat besar setiap
bulannya.
Hari ini aku
harus menerima kenyataan itu. Kenyataan pahit yang tidak pernah terfikir olehku
sebelumnya. Aku menyesal, tapi keinginan untuk menjawab rasa penasaranku itu
memaksaku untuk melakukan ini. Awalnya kukira laki-laki yang
menjeput kak Maya di kosannya itu adalah pacarnya. Kak Maya tidak pernah
mengijin aku datang ke kosnya, tapi sore itu aku sengaja mengikuti kak Maya
yang datang menjenguknya. Walau sempat curiga sebab laki-laki itu tak bisa
menyembunyikan raut tua di wajahnya.
Hari ketiga aku
memata-matai kosan kak Maya, ku dapati tiga laki-laki berbeda yang menjeput kak
Maya dengan mobil-mobil mewah. Kucari alasan terbaik untuk menjawab pertanyaan
yang hadir dibenakku sendiri.
“Apa mungkin kak
Maya … ?”
“Iya,
tarifnya sudah tau kan, Mas? Iyah. Nanti di transfer aja. Oke. Nanti Maya
sms-kan alamatnya, ya,” kak Maya mengakhiri pembicarannya lewat smartphone
miliknya.
“Telepon dari
siapa kak?” tanyaku yang sedari tadi memperhatikan kak Maya.
“Ouh, Nita. Kamu
ngagetin kakak aja. Itu tadi relasi kerja kakak,” jawabnya. Jawaban yang
semakin menambah rasa penasaranku.
“Kak, kenapa
kita enggak ngontrak rumah atau beli rumah aja? Kan enak kita bisa tinggal
sama.” Ini adalah pertanyaan yang pertama kali kulontarkan padanya saat pertama
kali ke kosan mewah ini.
“Nita, kakak
pengennya kamu itu belajarnya lebih fokus. Kalau kamu tinggalnya sama kakak,
nanti kamu bisa enggak fokus, soalnya kamu kan orangnya khawatiran, nanti kalo
kakak pulangnya telat atau lagi ada job ke luar kota, gimana? kan lebih bagus
kamu ngekos. Kakak dah cariin yang fasilitasnya lengkap biar kamu nyaman,
cateringnya juga udah kakak coba, enak. Jadi kamu bisa fokus belajarnya. Ingat
ya, kamu belajar bagus-bagus, karena kakak dah enggak mungkin lagi jadi
dokter,” tuturnya lembut.
Setahun yang
lalu alasan itu bisa ku percaya. Tapi sekarang, apa sebenarnya pekerjaan kak
Maya? itulah pertanyaan yang selalu mengganjal di pikiranku.
“Kamu kenapa sih
nanya pekerjaan kakak terus? Kamu kuliah aja, nanti kalau udah selesai kamu
kerjanya di rumah sakit, nolongin orang, enggak perlu kerja kayak kakak,” itu
jawaban untuk kesekian kali kudengar setiap kali pertanyaan itu kulontarkan
padanya. Jawaban yang cukup membungkam mulutku untuk tidak lagi bertanya.
Bagaimana
mungkin pertanyaan itu tidak mengganjal fikiranku. Bila setiap bulannya saldo
atm-ku bertambah minimal lima juta. Dan aku tidak pernah tau berapa duit lagi
yang dikeluarkan kak Maya untuk biaya kos, uang makan, ditambah Ibu yang setiap
dua hari sekali datang untuk mengambil baju-baju kotorku dan mengembalikannya
dalam keadaan bersih, rapi dan wangi.
Terlebih saat
ibu menelpon, katanya kak Maya sudah membeli sebidang tanah perkebunan dengan
harga ratusan juta rupiah. Perusahaan mana yang mau menggaji kak Maya dengan
nominal besar sedang ia hanya punya ijazah SMA.
“Adek ini
siapanya Maya?” Tanya perempuan di depanku. Tadinya dia mengaku bernama Shinta.
“Saya adiknya
kak,” jawabku bangga.
“Ough, adiknya
yang calon dokter itu, ya?” tanyanya sinis. Aku hanya mengangguk, kemudian
lanjut bertanya.
“Kakak tau
dimana kantor tempat kerjanya kak Maya?”
“Kantor? jadi
kamu enggak tau Maya kerjanya apa?” balasnya dengan pertanyaan yang diselingi
tawa. “Maya itu udah kelas atas, tarifnya mahal, perjamnya jutaan rupiah.”
“Maksud kakak ?”
“Iya. Sebenarnya
dia udah lama pingin berhenti. Tapi ia ingin melihat kamu jadi dokter. Masih
banyak mulut orang-orang di kampung yang perlu dibungkam, masih banyak dendam
akibat kesulitan ekonomi yang perlu dibalaskan katanya.”
“Happy birthday
my sister,” sapa kak Maya. Aku baru saja membuka mata.
“Enggak usah
terkejut gitu. Kakak kan punya duplikat kunci kamar kamu. Ayo panjatkan doa
sebelum tiup lilinnya,” kata kak Maya.
“Terima kasih surprisenya
kak. Nita juga punya surprise untuk kakak,” ucapku dengan nada getir.
“Oya? ulang
tahun kakak kan masih dua bulan lagi sayang,” jawabnya riang.
“Nita mau
pulangkan semua fasilitas yang kakak kasih. Nita mau hidup normal, mandiri
dengan uang halal,” lanjutku. Kulihat raut muka kak Maya berubah.
“Kak, bagi Nita
kakak seperti malaikat. Tapi sekarang Nita bukan anak kecil lagi. Nita sudah
bisa melihat mana malaikat dan mana orang yang hanya menyebabkan aib,” ucapku
lagi.
“Kamu bicara apa
sih, Nita?”
“Nita malu,
selama tujuh tahun sudah menganggap perempuan yang menjajakan tubuhnya dari
ujung kaki sampai ujung rambut sebagai malaikat.”
Tentang Penulis Ana Nasir adalah nama pena dari Nurhasanah. Lahir sehari sebelum peringatan proklamasi RI ke-46, maka sangat terlambat menyadari bakatnya mengolah kata. Baginya, Menulis tak hanya tentang meluahkan yang menyesakkan pikiran dan dada. Tapi memungkinkan keinginan berada dalam banyak tempat dalam satu waktu. Jangan sungkan menyapanya di @ananasir4, ketikkan salam memalui DM, tapi jangan lupa untuk terlebih dahulu follow. Jangan takut, dia ramah tapi paling susah jika disuruh menabung.
0 comments