BLANTERWISDOM101

Cerpen: Jejak Ibu

Sabtu, 04 Juli 2020
Ilustrasi


Tak jarang kalau langit gelap menandakan peristiwa duka. Bahkan sering kali kita melihat matahari juga enggan untuk menampakkan wajahnya. Sepertinya dunia sedang tak baik-baik saja. Hari itu masih menjadi nestapa yang dibalut dengan segala kerinduan. Diantara hujan yang jatuh terdengar suara tangisan bayi dari rumah-rumah warga. Sementara di sudut rumah yang sedang berduka, Rahma masih menatap penuh harap tentang kepulangan ibunya. Sudah tiga hari lebih ibunya pergi meninggalkan rumah. Pencarian terus dilakukan oleh masyarakat sekitar. . 

  Pencarian dilakukan ke sawah dan hutan, tak ada tanda dan jejak ibunya pergi kesana. Rahma hanya bisa menyimpan kesedihannya. Sering kali ia bermimpi tentang ibunya kalau malam tiba. Di jantung yang masih berdetak tersimpan luka. Malam itu hujan turun disertai suara petir yang menggelegar. Sesekali terdengar teriakan dari kejauhan. Rahma beralih membuka pintu rumah. Dari kejauhan beberapa orang warga sedang menuju ke arah rumahnya. . 

  "Rahma! Rahma! Ibumu sudah kami temukan." Ucap lelaki berkopiah yang tidak lain adalah pamannya. Rahma berlari ke arah pamannya. Matanya bersinar mendengar kabar itu. Dia kira yang akan datang adalah cahaya, namun malah sebaliknya. Dilihatnya wajah ibunya yang sudah kumal, penuh lumpur. Dan kaku di atas tandu. Rahma memandang tubuh ibunya. Wajahnya datar. Tak sanggup menahan kesedihan. Airmatanya perlahan membasahi pipi. Menetes seperti sungai yang mengalir. . 

  Jasad ibu dibawa kedalam rumah. Rumah itu sunyi, hanya ada airmata. Rahma memandangi dan terus melapalkan ayat-ayat. Bayangnya jatuh pada kerinduan. Perlahan ia jatuh dalam bayang-bayang sunyi. Ibunya hadir dihadapannya. . 

  "Bu, siapalah kini yang akan mendampingi hidupku. Bukankah ibu berjanji akan ada untukku," ucapnya pada ibu. "Semua akan baik-baik saja, nak!" Balas ibu datar. Matanya melotot kearah anaknya.  

  "Tidak bu, semua tak akan seperti dulu, bagaimana mungkin aku akan hidup tanpa ibu," ucap Rahma menggoyang tubuh ibunya. "Apa yang kau lakukan, jangan banyak bicara. Ibumu sudah tak benapas," ucap lelaki itu. Melirik ke arah Rahma dengan wajah keheranan. "Aku hanya berbicara kepada ibuku saja, tak lebih. Ada yang salah?" . 

  "Sudahlah jangan sampai orang-orang meninggalkanmu karena tingkah aneh ini, ibumu sudah kaku!" Balas pamannya. Ruangan itu seperti ajang debat untuk pamannya dan Rahma. Yang anehnya beberapa photo ibu di ruangan itu bergerak, Photo-photo yang dibingkai itu seperti berbicara perihal kehadiran ibunya. Rahma merasa ibunya marah karena ulah pamannya. Mata Rahma merah. Dipandanginya lelaki itu. Panas kian menerka. Rahma tak tahan dengan ucapan lelaki itu, hingga kata-kata yang tak seyogianya keluar. . 

  "Kalian tak tahu kalau ibu hanya tidur, dia tak mati." Ucap Rahma menggoda. Ibunya kembali hadir di tengah pertengkaran Rahma dan pamannya. Rahma mendekat ke arah ibunya. Masih ada kebimbangan perihal kehadiran ibu hari itu di benaknya. . 

  "Apakah kau ibu? Kalau Ya, lalu itu siapa?" Tanya Rahma. Sementara disekelilingnya orang-orang sudah membacakan yasin. Rahma masih berbincang dengan ibunya. Ibunya keluar. Rahma mengejar. Orang-orang heran melihat tingkahnya. .  

  "Ibu! Ibu!" Teriak Rahma. . 

  Bayangan itu berhenti. Melebarkan tangan seolah memanggil Rahma untuk memeluknya. . 

  "Rahma, hapus airmatamu. Ibu akan ada untukmu. Tak akan pergi jauh. Jangan risau." Kenapa ibu pergi? Siapakah yang membuat ibu demikian. Bukankah dulu semuanya baik-baik saja,” ucap Rahma. 

  Rahma menelan air ludah. Dihembuskannya nafasnya secara perlahan. Bayangan itu masih ada di depan. Dia menatapnya. Airmata jatuh. Suasana hening. Tangan Rahma menadah ke atas. Kepalanya juga menghadap ke atas. Ubun-ubunnya seperti dimasuki sesuatu. Rahma tetap berdiri di tempat semula. Ibunya pergi ke arah kamar secepat kilat. 

Rahma kembali mengejarnya. Orang-orang yang berada di dalam rumah terdiam dengan segala kejanggalan. Sesampainya di depan kamar ibu, Rahma hanya berdiri dan memandangi ibunya. Disisi lain pamannya mulai ketakutan dengan tingkah Rahma yang bergerak ke arah kamar Ibu menatapnya datar. Matanya kosong. Sesekali ibu melambaikan tangan. Rahma kembali mendekat. Rahma ingin berada di pelukannya. Ibu meneteskan airmata, pipinya merah dan basah. Rahma semakin bingung perihal ibunya. . 

 Rahma, di kamar ini semua bermula, inilah petaka kenapa ibu harus pergi,” ucap Ibu. Suaranya parau. 

Maksud ibu,

Masuklah nak, lihat di laci meja ibu.

Rahma pun mengajak ibunya untuk masuk, tetapi ibu tak biasa, karena ada tangkal yang diberikan di pintu kamar. Pamannya melihat Rahma akan masuk ke dalam kamar segera lari ke arah Rahma. 

  "Rahma, ayok kesana, semua sudah menunggu. Supaya kita bisa bicarakan perihal ibumu." Ajak pamanya. “Tunggu paman, aku ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar ini,” balasnya. . 

  “Kau tak boleh masuk kesitu. Ibumu yang memberi wasiat kepada paman supaya kamar ini dijaga,” ucapnya. . 

  Rahma tak menghiraukan perkataan pamannya, ia malah semakin curiga dengan pamannya sendiri. Sementara itu tubuh pamannya gemetar, ketika Rahma menolak ajakan pamannya. Di rumah itu orang-orang pergi dan kembali seperti hilir mudik di hari raya. Tapi Rahma tak merasakan kehadiran itu. Yang ia rasakan tetap sunyi. Hanya ada ibu didepan matanya. Dan hasrat ingin masuk ke kamar semakin menjadi. . 

  Perlahan Rahma masuk ke dalam kamar. Dia membuka pintu dengan perlahan. Sontak, ia terkejut dengan keadaan kamar ibunya yang seperti pengantin. Di atas tempat tidur sobekan pakaian ibu dan darah yang sudah kering terlhat jelas. Rahma menjerit. Ia pergi ke arah meja di dalam kamar dan mencari kertas yang ditinggalkan ibunya. Tak lama kemudia ia mendapatkan kertas itu. Kertas penderitaan yang ditulis oleh ibu sebelum kejadian naas itu terjadi. . 

  Rahma hanya mampu menangisinya, di kertas itu jelas tertulis kepergiaan ibu sebab ulah dari pamannya. Rahma melangkah keluar dari kamar dengan wajah yang menyeramkan. Di tatapnya wajah pamannya yang berubah merah ketika Rahma membawa kertas itu. Rahma mendekat ke arah pamannya. "Apa yang akan kau lakukan kepada ibu?" Tanya Rahma.. 

  Ayok paman, jawab! Apa yang kau lakukan pada ibu. Sambungnya. 

  "Aku tak melakukan apa-apa terhadap ibumu, semuanya ya karena takdir," ucapnya dengan nada mengelak. Orang-orang yang berkumpul di tempat itu memandang Rahma dengan tatapan sinis. Mereka menganggap Rahma perempuan yang tak tahu diuntung. Rahma mengeluarkan kertas yang ia temui di kamar. Dan menunjukkannya kepada semua orang. . 

Kalian masih tak percaya, ibuku sengsara karena ulah dia. Dia yang menanam benih dan menghancurkan benih itu kepada ibu. Ucap Rahma tegas, menunjuk ke arah pamannya. . 

Lelaki berkopiah itu menghela napas panjang. Dipanggilnya dua orang perempuan untuk memegang Rahma. Kedua tangannya dipegang erat. Sementara lelaki itu membacakan mantra ke dalam air putih. Dan di minumkan kepada Rahma. Rahma menggertak dan berusaha mengelak, tapi tangan itu begitu kuat, dan mantra yang dibacakan pamannya seaakan membuatnya tak berdaya. . 

Wajah perempuan itu mulai lemah. Tubuhnya lunglai. Tangannya kembali melambai. Seperti mengucapkan selamat tinggal. Matanya merah. Dilihatnya jasad ibunya. Airmatanya jatuh. Rahma terkapar. Sementara lelaki berkopiah masih berusaha mengusir bayangan sunyi dan mengambil kertas untuk menghilangkan tingkahnya. 
Tentang penulis Mhd Ikhsan Ritonga lahir dan besar di Roncitan, 30 Juli 1998. Beberapa karyanya pernah di muat di media cetak dan media elektronik. Buku antologi puisi tunggalnya berjudul Setapak Jalan (guepedia, 2019). Bergiat di Forum Lingkar Pena Medan.
Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments