Merantau.
jauh dari keluarga. Hal itu tak terbayangkan olehku sebelumnya. Tapi yang tak
terbayangkan itu yang kulakukan saat ini. Tinggal di sebuah rumah kecil pinjaman
dari perusahaan tempat kubekerja. Tampak sederhana dan semakin sepi, tak lagi
terdengar suara ibu yang menyuruh makan, suara ayah yang melantukan bacaan
shalat. Hal ini tak kusesali, semuanya terbayar dengan keadaan mereka yang
masih berkecukupan dengan hasilku. Walau tak seberapa dengan ruwetnya hidup
sendiri di Ibu Kota.
***
Berangkat
dari kompetisi DAI Muda, perusahaan dakwah menerimaku untuk bergabung dengan
umat muslim lainnya. Mengurusi kasus-kasus pencemaran agama Islam, demonstrasi
dan masalah lainnya sudah menjadi pekerjaanku. Hasil yang diterima tak banyak,
namun Alhamdulillah Allah telah mencukupi segalanya.
Lebaran tinggal dua bulan lagi,
aku harus jauh-jauh hari memesan tiket ke kampung halaman. Pekerjaan yang
diselesaikan itu tak bisa tertinggal. Untungnya saja, Sarah memiliki kenalan.
Katanya, jasa pembelian tiket.
"Alhamdulillah... Syukron ya
Sarah, sebentar lagi ana segera ke sana," aku menutup telfon, senja mulai
menghilang.
Pekerjaan usai, Sarah menelfonku. Ya,
sore ini memang waktunya untuk menepati janji. Aku sudah berjanji kepadanya,
untuk menghantarkan uang tiket.
"Ratna, ini Rahmi temanku yang ingin
memesan tiket ke Medan untuk satu Minggu sebelum lebaran," Sarah
memperkenalkan gadis bernama Rani itu kepadaku.
"Oh iya.. untuk ke Medan. Pulang
baliknya dua juta mbak," Ratna menawarkan harga.
Aku tersenyum saja, sambil memberikan
uangnya tanpa curiga. Kami berbincang ringan, sampai akhirnya Ratna harus pamit
untuk mengurus tiket.
Dua minggu
berlalu, suasana ramadhan mulai mendekat. Lebaran juga tak terasa akan datang
lagi. Di meja kerja, ditemani tumpukan berbagai kasus yang harus ditangani.
Mata yang lelah melihat deretan huruf, mendadak lirih saat memandang foto ibu
dan ayah. Rasa rindu, tak bisa kutampikan, berpisah satu tahun membuatku rindu
suasana rumah, rindu cerewet ibu dan rindu ajakan berjamaah bersama ayah.
Aku tersenyum,
rasa bahagia menyesak di dada. Sebentar lagi, ayah ibu anakmu ini sebentar lagi
akan pulang. Sudah terbayang rasa pelukan ibu, kecupan ayah di sana.
Kuraih ponsel yang tergeletak di samping foto mereka. Niat hati untuk menelfon
kedua orang yang sangat kukasihi. Ingin mendengar suara merdu mereka saat
menanyakan kabarku. Namun, panggilan masuk terlebih dahulu. Telfon dari Sarah,
mungkin Sarah ingin menyampaikan masalah tiket, fikirku menduga.
"Assalamualaikum,
Rahmi," Sarah memberi salam dengan nada suara yang serak.
"Waalaikumsalam..
Sarah apakabar?"
"Rahmi.. Afwan ya maaf," nada
menyesal terdengar dari telfonku.
"Maaf untuk apa, Sar?"
"Ratna menipu kita Mi, ia membawa kabur
uang-uang tiket pesanan. Termasuk uang tiketmu, saat ini aku harus bertanggung
jawab atas uang itu. Maaf ya Mi, secepatnya akan aku ganti dan akan aku cari
Ratna," Sarah sedikit terisak.
Tulang-tulang
jemariku mulai melemah, binar mata yang berkaca-kaca karena rasa rindu berubah
menjadi binar mata yang patah. Dua juta melayang begitu saja, hasil dua bulan
menatap deretan huruf dan berkas penuh dengan kasus hilang begitu saja. Ingin
rasanya, aku menangis dan menjerit. Tapi, tidak mungkin. Seisi kantor akan
khawatir. Aku menarik nafas, menyebut nama Allah, mengadu padanya.
"Ya sudah Sar, pelan-pelan saja kamu
kembalikannya, assalamualaikum." Aku menutup telfon dari Sarah dengan
mencoba tersenyum.
Sekuat apapun aku, jiwa wanita tak
bisa terelakan dalam diri yang lemah. Fisik yang tangguh tak akan tertutupi
dengan hati yang rapuh. Air bening yang tak kuharapkan membasahi pipi, akhirnya
mengalir. Semakin deras kurasa, saat memandang senyum ayah dan ibu di foto.
Aku tenggelam dalam lamun, terbayang wajah
lelah ayah dan ibu saat aku masih sekolah. Terbayang, ketika ada masalah aku
selalu bercerita padanya, duduk di pangkuannya dan aku mulai mengeluh. Ibu
selalu mengelus kepalaku dengan kelembutan tangannya, ia selalu menasehati
untuk selalu mengadu kepada yang mencipta.
Lamunanku tersudahi, telfon berdering. Kulihat nama
ayah tertera di layar hp. Tangisku semakin menjadi, cukup lama kubiarkan telfon
itu berdering. Aku berusaha menyeka air mata dan mencoba tersenyum.
"Waalaikumsalam Ayah,"
"Apakabar nak? Ini ibumu kangen
samamu," suara ayah yang tegas namun lembut semakin membuatku terisak.
"Rahmi, nak. ibu kangen nak.. lebaran
ini, kamu pulangkan nak?" Suara ibu begitu sendu, terasa harapan besar
dari suaranya.
Harapan ibu membuat binar mata tak
lagi berkaca-kaca, semua air mata yang sengaja kutahan agar tak membuat
khawatir mereka akhirnya tumpah. Aku menangis terisak. Menahan rasa rindu dan
juga kehilangan.
"Rahmi ingin sekali
kembali Bu, yah.. tapi Allah berkata lain. Alhamdulillah, ibu.. Allah
masih mau menguji Rahmi. Dua minggu yang lalu, Rahmi sudah memasan tiket untuk
balik ke Medan. Uangnya sudah Rahmi bayar. Tapi.. ternyata Rahmi kena tipu,
yang mengaku menjual tiket itu kabur membawa uang Rahmi." Aku terisak
menjelaskan apa yang terjadi, bukannya ingin mengeluh tapi rasanya tak sanggup
mendengar harapan ibu yang begitu menginginkan aku pulang.
Terdengar suara Ibu juga terisak, ia merasakan kesedihan
anaknya yang berjuang di Ibu Kota. Namun, hebatnya ibu. Ia tak memarahiku,
tetapi memberikanku nasehat dan motivasi yang kuat. Ibu selalu berpesan apapun
masalahku mengadulah kepada Allah, karena Allah yang memberi masalah maka Allah
jugalah yang akan menyelesaikannya.
Aku menutup telfon dengan tangan gemetar,
masih tak percaya dengan ujian yang saat ini diterima. Yuni, teman kerja yang
posisinya ada di sebelahku ikut menanyakan keadaan ku yang lemah saat ini. Ia
mengaku memerhatikan dan mendengar pembicaraan dengan ibu tadi.
Yuni ikut perihatin. Ia sangat baik, teman sebelahku
itu menawarkanku untuk meminjam uangnya agar bisa balik ke kampung halaman.
Walau aku tak tau uang dari mana yang harus kucari untuk bisa membeli kembali
tiket ke Medan. Tapi, aku tak mau menerima tawaran Yuni. Bukan munafik, tapi
itu yang diajarkan ibu.
"Syukron ukh Yuni atas tawarannya. Afwan ana
ndak bisa menerimanya, karena masih ada Allah tempat ana mengadu, ana belum
berusaha meminta pada-Nya," tolakku secara halus. Yuni mengerti ia tetap
menyemangati ku.
****
Tidak terasa, sudah setengah ramadhan terlewati. Namun,
uang untuk membeli tiket dan bekal mudik ke Medan belum juga ada. Tabungan yang
kumiliki juga tak seberapa. Rasanya, aku tidak akan merasakan suasana lebaran
bersama kedua orang tua. Harus menetap di Jakarta yang mulai lengang.
Di sepertiga malam, aku merasa gelisah. Shalat dan berdoa kepada
sang Pencipta. Aku nangis sejadi-jadinya. Memohon petunjuk kepada yang Maha
Kuasa. Aku pasrahkan segalanya pada Allah.
"Ya Allah.. engkau lah pencipta
seisinya. Engkau lah yang maha mengetahui dan maha memberi. Kuserahkan rasa
resah ini pada-Mu. Aku yakin, masalah ini engkau yang akan menanganinya."
Air mata yang mengalir tak henti. Diri yang kotor terus mengemis, memohon dan
meminta.
Belakangan ini, memang aku tampak tidak bersemangat. Yuni,
mencoba menawarkan lagi bantuannya. Aku tetap tak tergoda. Karena menerima bantuannya
akan membuatku terjerat pada hutang.
"Afwan ukh. Ana masih mengharap
pertolongan Allah. Ana tidak ingin terlilit hutang," jawabku singkat.
Tidak berapa lama, telfonku berdering. Panggilan masuk,
namun tidak tertera namanya. Setelah memberi salam, ternyata aku sedang
berbincang dengan kru stasiun televisi. Mereka menawarkanku pekerjaan. Tiga
episode untuk shooting kajian ramadhan. Bayaran yang ditawarkan mereka delapan
kali lipat dari uangku yang hilang. Rezeki yang tak kusangka, aku menerima
tawaran itu. Hasilnya segera kupesankan tiket balik ke Medan.
Keajaiban Allah tidak ada yang sangka, keyakinan kita
padanya akan membawa berkah pada hidup kita. Tidak berapa lama, Sarah
menghubungiku untuk mengembalikan uang yang di bawa kabur. Bonus tak diduga
dari sang Khalik. Uang yang hilang kembali dengan utuh dan ditambahkan rezekiku
olehnya.
Maka apapun masalah, janganlah kita mengharapkan bantuan
orang lain. Mengadulah kepada Allah. Niscaya ia akan membantumu. Terlebih masalah
uang. Jangan sampai kita terlilit hutang.
Karena, "Orang yang mati
syahid akan diampuni seluruh dosanya, kecuali hutang," (HR. Muslim).
Tentang Penulis Venny Eriska adalah Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Menulis merupakan wadahnya untuk berbagi ekspresi dan menyampaikan pesan kehidupan pada banyak orang. IG: @ItsVennyy
0 comments