Ditulis oleh: Dewi Chairani
Menulis,
adalah hal utama yang menunjukkan seseorang memang layak dianggap sebagai
penulis. Bisa menulis buku, media masa, blog atau berbagai wadah online yang
kini banyak diminati. Bagi ibu dari seorang putri ini, menulis buku adalah hal
yang paling hakiki dilakukan seorang penulis, selain juga untuk menebar manfaat
dan sebagai bentuk rekam jejak kreativitas yang tidak akan lekang oleh zaman.
Dosen
muda ini bernama Winarti. Ia yang kini tercatat sebagai dosen Bahasa Indonesia
di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, telah melahirkan lebih dari 20
buku, diantaranya 8 buku novel yang diterbitkan secara indie. Wanita yang biasa
dipanggil Mbak Win ini, terbilang cukup berani menerbitkan buku karena tidak
perlu menunggu lama jawaban dari penerbit mayor (penerbit besar). “Sekarang
kalau mau nerbitkan buku, dengan modal kecil bisa kok. Gak nunggu lama-lama, dapat ISBN dan buku, banyak paket dari penerbit Indi, karena
mereka berlomba-lomba mencari pasar. Jadi gak perlu khawatir,” papar ibu dari
Ainaya Puisi Lingga ini.
Bisa
menjadi penulis yang dikenal dan terbukti produktif seperti sekarang, tentu
bukan hal yang instan. Asam garam telah dilalui
wanita kelahiran Tanah Tinggi, Batu Bara ini. Awal menulis novel perdana
yaitu Bintang bahkan Mbak Win belum memiliki komputer atau laptop. “Dari Medan
nyewa angkot untuk jemput dan pinjam komputer adek di kampung,” kisah penulis
penggemar Buya Hamka ini. Ia pun berguru pada seorang penulis senior di Medan,
dan hanya diberi waktu sebulan. Setelah melewati revisi, tidak menunggu lama,
terbitlah novel perdana penggemar novel Ketika Mas Gagah Pergi ini. Lahirnya novel perdana juga tak selamanya membuahkan
pujian. “Dipuji, dikritik, dicaci itu semua adalah asupan gizi,” ujar dosen
yang senang memakai jilbab putih ini. “Nikmati kritikan lalu membesar, sampai
guru besar bahkan profesor memberi masukan. Itu semua yang membesarkan hati
kita. Sekarang malah aneh rasanya jika dipuji tanpa dikritisi,” lanjut dosen
lulusan Magister Pascasarjana UMN Al-Washliyah.
Telah
mampu menulis banyak buku, terbukti menempah wanita penyuka air putih menjadi
penulis besar. Diantara kesibukannya mengajar di kampus, mengurus anak, ia
tetap berusaha produktif menulis novel. Ia kini tengah menulis seri kedua dari
novel Putri Arimbi. Bagi wanita kelahiran September ini, menulis tidak hanya
sekedar mencari nama dan terkenal. Hal yang masih disyukurinya hingga kini
lewat menulis ia bisa berdakwah. “Masih diberi kesempatan sama Allah buat
nulis, berkarya, berdakwah, buat nabung jadi jalan pahala menuju surga lewat
novel,” ujar penulis yang menyumbangkan
beberapa hasil penjualannya untuk gerakan sosial ini.
Kini,
selain menulis novel Winarti juga produktif menulis cerita anak (cernak) dan
terbit hampir setiap tahun. Ia pernah memenangkan lomba menulis cernak tingkat
nasional Kemendikbud di tahun 2018. Nah, keberhasilannya itu tidak ia rasakan
sendiri, ia juga mengikutsertakan mahasiswanya didalam penulisan cernak
tersebut.” Ini sekaligus jadi bentuk aplikasi ilmu untuk mereka dan langsung
diapresiasi dalam bentuk buku. Jadi kita gak pintar sendiri, tema yang diangkat
juga lebih sering pendidikan moral,” papar Dosen Bahasa bertubuh ramping ini.
Makin
digemarinya media digital seperti e-book dan beberapa aplikasi yang menampung
tulisan melalui media online Winarti tetap tidak surut semangat untuk
menerbitkan buku secara indi. Ia memiliki pesan untuk penulis pemula, “buat
penulis pemula, jangan patah semangat ditolak penerbit mayor. Indie barangkali
bisa menjadi jalan terbaik. Terus nulis, terus nerbitin buku dan terus
bernama,” pesan penulis yang dikenal dengan nama pena Win RG ini.
Jadi mau jadi penulis modal pertamanya bukan laptop ya, Kak. Melainkan kemauan itu sendiri. Menginspirasi ya perjalanan mbak win.
BalasHapusOia, masih penasaran nama R.G itu, dulu kayaknya mbak win pernah janji mau kasih tahu ya. (Kayaknya) 😁
pernah mmg ci, tp nunggu mbak win go internasional kayaknya
BalasHapus