Pada
wajah-wajah bersemiotika
di
antara mimik dan guratan wajah,
melebur
menjelma satu bahasa ambigu
antara
bermakna sandiwara atau realita
terlukis
absurd pada senyuman pagi mereka
Di
antara klausa dan frasa
mengepung
pertanyaan-pertanyaan bungkam berlapis kebusukan
dari
kematangan jiwa-jiwa menatap langit yang sama
Entah
siang yang keberapa kalinya,
panas
telah berulang mendidih di hati
meluap
hingga berbusa di mulut mereka
menuntut
hak-hak yang tak mampu terpenuhi
Sebab
mata enggan terpejam
telinga
tak lagi tertutup rapat
hingga
umpatan demi umpatan seakan sarkasme tajam
menyengat
pada tembok-tembok yang kan roboh
Kali
ini aku bertanya
di
antara suara-suara senantiasa memekik tak berujung
akankah
langit cerah
setelah
mendung berkepanjangan di atas kota ini?
sementara
wajah-wajah masih saja gelisah
menata
topeng dari balik wajah polos
yang tak mampu berkata
Deli Serdang, Juni 2020
Di negeriku,
wajah
pendidikan seakan garis pemisah
antara
yang kaya dan miskin
Di
negeriku,
sekolah-sekolah
tidak bedanya dengan mal-mal di kota besar
menjual
barang-barang dengan harga tinggi selangit
yang
mana orang miskin begitu sungkan untuk masuk
dan
pengemis pun dilarang masuk
Wajah
pendidikan dari masa ke masa
semakin
dicemari oleh mahalnya biaya,
lagi-lagi
orang miskin menjadi korban
akan
mimpi-mimpinya yang tak mampu terjamah
Mana
ada orang yang berharap lahir
menjadi
miskin, kere, dan tak punya apa-apa?
namun
bersebab itu semua
mereka
seakan dipangkas haknya
untuk
menjadi generasi yang pintar, cerdas, kreatif, dan inovatif
Kini
kepercayaan mereka atas pendidikan pun kian luntur,
apalagi
jaminan masa depannya kian kabur
Di
negeriku,
bila
pendidikan itu mahal
artinya
sekolah di negeri ini
hanya
untuk orang kaya (orang yang berduit)
seakan
orang miskin dilarang sekolah
orang
miskin dilarang bermimpi tinggi
dan
di negeriku,
masih
menganut mengkotak-kotakkan
ada
uang, ia yang kuat
ada
uang, ia yang berkuasa
ada
uang, ia yang berhak atas mimpi-mimpinya
Maka
di sinilah negeriku,
di
mana orang kuat dan kaya
semakin
kuat dan kaya,
di
mana orang lemah dan miskin
semakin
lemah dan miskin
sudah
miskin harta, miskin ilmu lagi
inilah
potret negeriku!
Tanjung
Morawa, 28 Juli 2016
DAMAI DALAM SATU HATI
darah
kami telah menetes dari kata-kata
pada
bumi yang telah terbakar
mereka
berkhianat,
menyeru-nyeru
meminta nama
sedangkan
kami menggelepar
di
tengah rezim yang berkeliaran dalam sejarah
apakah
kami harus percaya
pada
janji dan sumpah?
sedangkan
kami telah remuk
di
antara basa-basi hidup
yang
membusuk laksana bangkai
menyengat
tajam tiada henti
di
hidung kami
airmata
mengiris waktu
yang
kami tak tahu
kapankah
kemarau ini usai?
suara
kami hampir letih
menunggu
kepastian
yang
kami sebut,
“damai
dalam satu hati”
SUARA KAMI
kami
telah tergolek lusuh di sudut labirin
seperti
mendengar lagu sepi dan duka meraung
meratap
di langit kami
bahwa
mereka telah melepas tikaman
lalu
dunia kami berputus asa
ribuan
nyawa berenang telanjang
menuju
ke muara dalam tangis mengiris malam
apakah
air mata darah terus mendanau di mata kami?
kami
laksana kunang-kunang
mengoyak
nadi yang buntu
berterbangan
di rumah ajal
yang
mereka sebut : “gerbang menuju dunia”
kami
telah menenun waktu
apakah
jasad kami harus membusuk
bila
kematian menyergap?
maut
bukanlah kecemasan
menggelepar
bersama kebimbangan
kami
tak ingin segera memahat nisan
lalu
tertulis sebagai korban yang tersungkur lumpuh
di
atas epitaf kami
biarlah
kami berlari
menggulung
kegelisahan
bahwa,
“mereka tak berhak mengiris impian kami”
MARGINAL
1.
potret Indonesia seperti jutaan laba-laba menyulam kecemasan yang menjadikan kaki-kaki mereka bergelinjangan. mengerat erat pada jaring-jaring benang sutra. ada selembar prosa realitas bertema ribuan kunang-kunang yang bergemetaran di langit malam. “itulah kami : di balik wajah Indonesia yang berpoles, ada kami (kaum marginal) mengukir pagi hingga malam dengan cara tersendiri”. apakah malam mendengar senandung lawas kami? padahal nyanyian kelaparan sering terdendangkan dari ribuan mulut berorkestra.
2.
wajah Indonesia seakan lusuh dengan seloka-seloka tua mereka yang tak selesai terbaca satu persatu. jeritan hati anak-anak telah mengais naskah kehidupan abu-abu yang tak pernah mereka harapkan. “masihkah kita tergelak di tengah malam?” padahal alunan lagu pilu telah mengeringkan lambung-lambung mereka. ‘mereka adalah jantung Indonesia’, bukan klise yang selalu terabaikan oleh pagi. mereka berhak menari bebas di bawah matahari, merasakan embun pagi, dan menatap senja dengan senyum simpul dari bibir-bibir mereka.
3.
“kita
adalah kaum yang difrasakan menjadi marginal”. kami ada di segenap pelosok
negeri ini. kami yang dihina, direndahkan, dan dipinggirkan. “bukankah kami
adalah ciptaan Tuhan yang sempurna?” lantas mengapa tidak ada prakarsa-prakarsa
manusiawi yang memberikan hak kami untuk bekerja, berpendidikan, dan
menyejahterakan kehidupan ini? kami telah berdinamika dengan cara kami sendiri,
namun rezim-rezim kekuasaan selalu mengabaikan kami. inilah kami, generasi
Indonesia yang begitu mudah kau deteksi di bantaran rel kereta api, sungai, dan
kolong jembatan. Inilah kami, “potret dari generasi yang hilang”, lantaran
hak-hak kami terabaikan.
PARADOKS INDONESIA
Inilah
realitas di negeri kami
negeri
yang kaya raya, subur, dan permai
negeri
yang penuh rahasia dan teka-teki
bagi
rakyat yang bersimbah luka,
padahal
begitu banyak air mata dan darah disumbangkan
tapi
mengapa kidung lara masih terus terdendangkan
bagi
mereka yang lapar, tergusur
dan
dirampas haknya
apakah
negeri kami belum merdeka?
mata
kami seakan buta
gelap
tak mampu membedakan hitam dan putih,
mulut
kami seakan bisu
tersekat
rapat-rapat tak mampu berbicara,
serta
telinga kami seakan tuli
yang
tak mampu mendengar suara kebenaran,
apakah
kami harus selalu menjadi warna luka
di
negeri sendiri?
negeri
kami seperti terjebak di atas panggung sandiwara
beragam
pemeran dan lakon, berparas topeng
beradegan
bebas di atas panggung dengan
jutaan
penonton yang tertipu dan apatis
inilah
realitas di negeri kami,
kemiskinan
telah menjadi kronis
menggrogoti
di tubuh kami, menjadi senjang
yang
begitu jauh seeperti langit dan bumi
“mengapa
jalan ke atas selalu dirintangi
sedangkan
jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui?”
seperti
bercermin di kaca buram
wajah
Indonesia lusuh
terkalahkah
kejahatan, penipuan, kemunafikan
dan
berbagai ideologi yang mendikriminasikan
ekonomi,
kedudukan dan golongan
beginikah
potret di negeri kami?
yang
miskin tertindas
yang
lemah dirampas
yang
rendah dihempas
kami
terlahir di negeri ini,
kami
tak ingin negeri yang bersandiwara
negeri
terjebak dalam kesuraman
sebab,
Indonesia adalah rumah kita
sepantasnya kita jaga bersama
Keren kaka... 👍
BalasHapus