BLANTERWISDOM101

Karya Pilihan: Puisi-Puisi Keadilan oleh Rizky Endang Sugiharti

Sabtu, 20 Juni 2020
Ilustrasi



DI BALIK TOPENG

Pada wajah-wajah bersemiotika

di antara mimik dan guratan wajah,

melebur menjelma satu bahasa ambigu

antara bermakna sandiwara atau realita

terlukis absurd pada senyuman pagi mereka

 

Di antara klausa dan frasa

mengepung pertanyaan-pertanyaan bungkam berlapis kebusukan

dari kematangan jiwa-jiwa menatap langit yang sama

 

Entah siang yang keberapa kalinya,

panas telah berulang mendidih di hati

meluap hingga berbusa di mulut mereka  

menuntut hak-hak yang tak mampu terpenuhi

 

Sebab mata enggan terpejam

telinga tak lagi tertutup rapat

hingga umpatan demi umpatan seakan sarkasme tajam

menyengat pada tembok-tembok yang kan roboh

 

Kali ini aku bertanya

di antara suara-suara senantiasa memekik tak berujung

akankah langit cerah

setelah mendung berkepanjangan di atas kota ini?

sementara wajah-wajah masih saja gelisah

menata topeng dari balik wajah polos

yang tak mampu berkata

Deli Serdang, Juni 2020

 

 POTRET PENDIDIKAN INDONESIA

Di negeriku,

wajah pendidikan seakan garis pemisah

antara yang kaya dan miskin

 

Di negeriku,

sekolah-sekolah tidak bedanya dengan mal-mal di kota besar

menjual barang-barang dengan harga tinggi selangit

yang mana orang miskin begitu sungkan untuk masuk

dan pengemis pun dilarang masuk

 

Wajah pendidikan dari masa ke masa

semakin dicemari oleh mahalnya biaya,

lagi-lagi orang miskin menjadi korban

akan mimpi-mimpinya yang tak mampu terjamah

 

Mana ada orang yang berharap lahir

menjadi miskin, kere, dan tak punya apa-apa?

namun bersebab itu semua

mereka seakan dipangkas haknya

untuk menjadi generasi yang pintar, cerdas, kreatif, dan inovatif

 

Kini kepercayaan mereka atas pendidikan pun kian luntur,

apalagi jaminan masa depannya kian kabur

 

Di negeriku,

bila pendidikan itu mahal

artinya sekolah di negeri ini

hanya untuk orang kaya (orang yang berduit)

seakan orang miskin dilarang sekolah

orang miskin dilarang bermimpi tinggi

dan di negeriku,

masih menganut mengkotak-kotakkan

ada uang, ia yang kuat

ada uang, ia yang berkuasa

ada uang, ia yang berhak atas mimpi-mimpinya

 

Maka di sinilah negeriku,

di mana orang kuat dan kaya

semakin kuat dan kaya,

di mana orang lemah dan miskin

semakin lemah dan miskin

sudah miskin harta, miskin ilmu lagi

inilah potret negeriku!

 

Tanjung Morawa, 28 Juli 2016

 

DAMAI DALAM SATU HATI

darah kami telah menetes dari kata-kata

pada bumi yang telah terbakar

mereka berkhianat,

menyeru-nyeru meminta nama

sedangkan kami menggelepar

di tengah rezim yang berkeliaran dalam sejarah

 

apakah kami harus percaya

pada janji dan sumpah?

sedangkan kami telah remuk

di antara basa-basi hidup

yang membusuk laksana bangkai

menyengat tajam tiada henti

di hidung kami

 

airmata mengiris waktu

yang kami tak tahu

kapankah kemarau ini usai?

suara kami hampir letih

menunggu kepastian

yang kami sebut,

“damai dalam satu hati”

 

SUARA KAMI

kami telah tergolek lusuh di sudut labirin

seperti mendengar lagu sepi dan duka meraung

meratap di langit kami

bahwa mereka telah melepas tikaman

lalu dunia kami berputus asa

 

ribuan nyawa berenang telanjang

menuju ke muara dalam tangis mengiris malam

apakah air mata darah terus mendanau di mata kami?

kami laksana kunang-kunang

mengoyak nadi yang buntu

berterbangan di rumah ajal

yang mereka sebut : “gerbang menuju dunia”

 

kami telah menenun waktu

apakah jasad kami harus membusuk

bila kematian menyergap?

maut bukanlah kecemasan

menggelepar bersama kebimbangan

 

kami tak ingin segera memahat nisan

lalu tertulis sebagai korban yang tersungkur lumpuh

di atas epitaf kami

biarlah kami berlari

menggulung kegelisahan

bahwa, “mereka tak berhak mengiris impian kami”

 

MARGINAL

1.

potret Indonesia seperti jutaan laba-laba menyulam kecemasan yang menjadikan kaki-kaki mereka bergelinjangan. mengerat erat pada jaring-jaring benang sutra. ada selembar prosa realitas bertema ribuan kunang-kunang yang bergemetaran di langit malam. “itulah kami : di balik wajah Indonesia yang berpoles, ada kami (kaum marginal) mengukir pagi hingga malam dengan cara tersendiri”. apakah malam mendengar senandung lawas kami? padahal nyanyian kelaparan sering terdendangkan dari ribuan mulut berorkestra.

2.

wajah Indonesia seakan lusuh dengan seloka-seloka tua mereka yang tak selesai terbaca satu persatu. jeritan hati anak-anak telah mengais naskah kehidupan abu-abu yang tak pernah mereka harapkan. “masihkah kita tergelak di tengah malam?” padahal alunan lagu pilu telah mengeringkan lambung-lambung mereka. ‘mereka adalah jantung Indonesia’, bukan klise yang selalu terabaikan oleh pagi. mereka berhak menari bebas di bawah matahari, merasakan embun pagi, dan menatap senja dengan senyum simpul dari bibir-bibir mereka.

3.

“kita adalah kaum yang difrasakan menjadi marginal”. kami ada di segenap pelosok negeri ini. kami yang dihina, direndahkan, dan dipinggirkan. “bukankah kami adalah ciptaan Tuhan yang sempurna?” lantas mengapa tidak ada prakarsa-prakarsa manusiawi yang memberikan hak kami untuk bekerja, berpendidikan, dan menyejahterakan kehidupan ini? kami telah berdinamika dengan cara kami sendiri, namun rezim-rezim kekuasaan selalu mengabaikan kami. inilah kami, generasi Indonesia yang begitu mudah kau deteksi di bantaran rel kereta api, sungai, dan kolong jembatan. Inilah kami, “potret dari generasi yang hilang”, lantaran hak-hak kami terabaikan.

 

PARADOKS INDONESIA 

Inilah realitas di negeri kami

negeri yang kaya raya, subur, dan permai

negeri yang penuh rahasia dan teka-teki

bagi rakyat yang bersimbah luka,

padahal begitu banyak air mata dan darah disumbangkan

tapi mengapa kidung lara masih terus terdendangkan

bagi mereka yang lapar, tergusur

dan dirampas haknya

 

apakah negeri kami belum merdeka?

mata kami seakan buta

gelap tak mampu membedakan hitam dan putih,

mulut kami seakan bisu

tersekat rapat-rapat tak mampu berbicara,

serta telinga kami seakan tuli

yang tak mampu mendengar suara kebenaran,

apakah kami harus selalu menjadi warna luka

di negeri sendiri?

 

negeri kami seperti terjebak di atas panggung sandiwara

beragam pemeran dan lakon, berparas topeng

beradegan bebas di atas panggung dengan

jutaan penonton yang tertipu dan apatis

inilah realitas di negeri kami,

kemiskinan telah menjadi kronis

menggrogoti di tubuh kami, menjadi senjang

yang begitu jauh seeperti langit dan bumi

“mengapa jalan ke atas selalu dirintangi

sedangkan jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui?” 

 

seperti bercermin di kaca buram

wajah Indonesia lusuh

terkalahkah kejahatan, penipuan, kemunafikan

dan berbagai ideologi yang mendikriminasikan

ekonomi, kedudukan dan golongan

beginikah potret di negeri kami?

yang miskin tertindas

yang lemah dirampas

yang rendah dihempas

 

kami terlahir di negeri ini,

kami tak ingin negeri yang bersandiwara

negeri terjebak dalam kesuraman

sebab, Indonesia adalah rumah kita

sepantasnya kita jaga bersama

 

 

Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

1 comments