Ilustrasi
Penulis: Anugrah Roby Syahputra
Siapa yang tak pusing akibat pandemi korona? Tidak ada. Semua orang terkena imbasnya. Tanpa terkecuali. Selain problem kesehatan, ekonomi pun terombang-ambing. Khususnya para pekerja informal. Mereka yang bekerja sehari untuk makan sehari, yang tidak menerima gaji bulanan biasanya paling gusar dengan imbauan agar di rumah saja. Sebab pekerjaan mereka memang tak bisa hanya dengan duduk santai di depan komputer jinjing saja.
Apapun ceritanya kita dihadapkan oleh fakta bahwa penyakit covid19 ini memang mengerikan. Per tanggal 4 Juni 2020 saja, tercatat 6,58 juta manusia sudah terinfeksi. Dari jumlah itu, 388.328 pasien meninggal dunia. Tentu kita bukan penganut kutipan yang sering dinisbatkan pada Joseph Stalin, “Kematian satu orang adalah tragedi, sedangkan kematian jutaan orang adalah statistik kan?"
Untuk mengatasi kondisi keuangan yang porak-poranda, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut new normal. Ivan Lanin menerjemahkannya menjadi kewajaran baru. Bambang Trim menawarkan istilah kelaziman baru. Sedangkan Badan Bahasa belakangan menggunakan kenormalan baru sebagai padanan katanya. Tapi definisinya di publik sangat bias.
Banyak yang berpikir bahwa kebijakan ini adalah nama lain dari strategi herd immunity (kekebalan kelompok) alami yang konsepnya ditolak oleh para ilmuwan. Sebabnya apa? Ini tak lain merupakan seleksi alam. Yang kuat akan bertahan dan selamat, sedangkan yang imunitasnya lemah akan lenyap. Lagi pula WHO memberikan syarat ketat bagi Negara yang hendak melaksanakan kenormalan baru.
Di antaranya adalah penularan sudah dikendalikan. Bila mengacu pada angka reproduksi (R0), situasi bisa dikatakan terkendali bila angka R0 di bawah 1. Selain itu, sistem kesehatan yang ada harus sudah mampu melakukan identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, hingga melakukan karantina orang yang terinfeksi.
Nah, hingga saat ini grafik tren penularan kita masih terus menanjak. Bila kenormalan baru diterapkan tanpa pemenuhan syarat ini, menurut Mila Anasanti, Ph.D, untuk memenuhi kekebalan kelompok perlu sedikitnya 60% warga terinfeksi atau sekitar 162 juta. Jika 20%-nya saja butuh perawatan intensif di rumah sakit, artinya kita butuh fasilitas kesehatan untuk 32,4 juta orang. Anggaplah biaya rata-rata 10 juta per hari, maka negara butuh biaya 320 triliun untuk satu hari. Malah buntung, kan? Itulah sebabnya PSBB dan physical distancing tetap diperlukan.
Oleh karenanya, belakangan pemerintah memutuskan bahwa kenormalan baru hanya di zona hijau. Cuma di daerah yang betul-betul nol kasus. Walaupun sebenarnya ini ngeri-ngeri sedap karena tidak adanya pembatasan mobilitas orang sama sekali. Lalu bagaimana dengan Sumatera Utara? Siapkah kita?
Jawaban saya: kita sangat siap. Sejak awal kita memang sudah normal-normal saja. Provinsi kita beserta seluruh kabupaten dan kota di bawahnya tidak ada yang menerapkan PSBB. Barangkali alasannya adalah ketiadaan anggaran. Sama seperti pemerintah pusat yang enggan melaksanakan lock down (karantina wilayah). Mal ramai, pasar sesak, kafe dan warkop penuh. Rumah ibadah pun dahsyat bergelora dengan iman jamaah yang kukuh. Hanya, sekolah saja yang tutup fisiknya sebab pembelajaran dialihkan metodenya menjadi daring.
Eh, benarkah kita siap? Nggak juga, ding. Yang kita lakukan kemarin-kemarin bukanlah siap, tapi nekat. Akarnya adalah ketidakpahaman. Seperti yang awal-awal diumbar oleh dokter hewan Moh. Indro Cahyono serta dr. Agni BS. Dikipasi pula dengan hoaks. Dibumbui cerita konspirasi murahan yang tidak ada dasarnya. Mulai dari Atta Halilintar, Jerynx, hingga Siti Fadilah Supari dan Mardigu Wowiek. Di luar negeri ada penyesatan informasi versi Andrew Kaufman dan Judy Mikovit yang direproduksi oleh kaum antivaksin yang berkoalisi dengan pendukung teori bumi datar.
Ditambah lagi maraknya video klaim dan testimoni tentang bisnis anggaran korona hingga muncul angka 321 juta per pasien yang entah dari mana sumbernya. Isak tangis seorang anak yang mengaku ibunya negatif covid, tapi ditipu dan dipaksa untuk dimakamkan dengan protap covid sukses menguras emosi warganet yang semakin yakin bahwa pandemi ini hanyalah konspirasi belaka. Viral pula berita yang diklaim bahwa pasien disogok agar mengakui keluarganya dicatat positif korona. Cerita-cerita semacam ini ramai beredar di masyarakat. Padahal isinya menyesatkan nalar masyarakat.
Akibatnya yang terjadi adalah penyangkalan. Masyarakat abai. Korona ini tidak berbahaya. Ia hanya seperti flu biasa. Atau dalam bahasa Menkes Terawan, “nanti juga sembuh sendiri.” Pernyataan yang tak sepenuhnya salah tapi seringnya menjadi awal dari misinformasi. Tidak heran jika di jalanan orang tak pakai masker. Ke masjid tak bawa sajadah sendiri. Bahkan ada yang menganggap rajin wudhu saja sudah cukup, padahal seharusnya cuci tangan dengan sabun dan air mengalir minimal 20 detik.
Tapi, the show must go on. Suka tidak suka, langkah sudah diambil. Butuh waktu lama untuk penemuan vaksin. Paling cepat satu tahun lagi. Negara pun tidak sanggup memenuhi kebutuhan warga. Sedangkan orang tetap perlu makan. Maka langkah adaptasi wajib kita lakukan. Inilah yang tepat disebut kenormalan baru. Apa yang dulu tidak biasa, kita buat menjadi lazim. Ke masjid bawa sajadah sendiri, cuci tangan dengan sabun dahulu, pakai masker dan tidak salaman apalagi cipika-cipiki. Begitu pula ke kantor, ke pasar dan tempat keramaian lainnya. Setiap pulang ke rumah wajib menanggalkan pakaian untuk dicuci serta langsung mandi hingga bersih sebagai tanda cinta pada keluarga.
Siapkah kita disiplin dengan gaya hidup seperti ini? Jika memakai masker saja masih terasa megap, berarti perlu banyak latihan lagi. Bagaimana jika anggota keluarga kita menganggap ini penyakit biasa atau konspirasi Zionis, Komunis atau Kapitalis? Bersabarlah. Berdialog dengan hikmah dan mauidzhah hasanah. Ubah perlahan mindset mereka dengan kasih sayang. Anjurkan untuk memperbanyak baca dari sumber kredibel yang otoritatif di bidangnya dan kurangi membaca broadcast WhatsApp yang diawali dengan “copast dari grup sebelah”.
Bila tetap ngeyel bin bandel yang bikin sebel? Doakan sajalah. Semoga orang yang kita sayangi tak berjodoh dengan virusnya. Tidak mau kan berjodoh dengan korona? Mendingan berjodoh dengan si dia. Oya, kalau mau nikah tetap bisa ya. Cukup akad saja dengan hadirin maksimal tiga puluh saja. Jangan biarkan perkara asmara menanggung siksa gegara korona.
Allahumma inni audzubika minal baroshi wal jununi wal juzami wa min sayyi’il asqami…
Binjai, 5 Juni 2020
Share This :
Masya Allah, Tabarakallah bg Roby, semoga makin bertambah ilmu kita dengan tulisan tsb, dapat bersikap lebih tepat menghadapi pandemi ini.
BalasHapusSemoga bumi cepat membaik 🙏
BalasHapusNah tulisan-tulisan abang sebagai penyeimbangan. Jadi pemikiran nggak digiring begitu saja seolah hanyut dalam tulisan-tulisan yang berdasarkan asumsi tanpa data, tanpa sumber yang jelas. Sekadar cocokologi.
BalasHapusSehat-sehat Bang Roby, tetap semangat bagi informasi.