BLANTERWISDOM101

Karya Pilihan: Dari Catatan Harian hingga Budaya Arsip: Sebuah Rekam Memori Sejarah

Sabtu, 27 Juni 2020

Ilustrasi 


Tidak pernah terpikirkan oleh Ahmad al-Budayri bahwa keluhan dan gagasan yang setiap hari ia tulis di buku hariannya akan menjadi salah satu sumber rujukan sejarah bangsa Arab modern ratusan tahun kemudian. Budayri adalah seorang tukang cukur unik dari Damaskus yang hidup di masa Utsmaniyah. Pada abad ke-18, pedagang yang bisa menulis adalah potret langka dan tidak lazim bagi kebanyakan orang. Dia menulis banyak hal di buku hariannya, termasuk coretan tentang biaya hidup yang tinggi, isu-isu politik yang berkembang, cuaca, juga keluhan-keluhan tentang hidup yang tidak lagi menyenangkan seperti sebelumnya. 

Ia tak hanya mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama periode pemerintahan Utsmaniyah, tetapi juga pujian dan kritikan terhadap pemimpin yang sedang berkuasa, atau sekadar hal-hal remeh yang tidak dianggap penting. Rentang waktu catatannya berada diantara tahun 1741 hingga 1762, sekitar dua puluh satu tahun. Ini adalah bilangan yang cukup panjang bagi seseorang untuk tekun mencatat di buku harian. 

Catatan harian si tukang cukur tersebut tidaklah sia-sia. Dalam karya fenomenalnya yang berjudul "Dari Puncak Khilafah" , Eugene Rogan, seorang profesor sejarah kajian Timur Tengah modern, menggunakan buku harian tersebut sebagai informasi dasar untuk menggali data lebih banyak tentang perjalanan bangsa Arab selama periode Utsmaniyah. Menurut Rogan, menuliskan sejarah sebuah bangsa akan lebih utama jika menggunakan saksi mata dan sumber langsung dari bangsa itu sendiri karena informasi yang didapat akan lebih bisa dipercaya. Masuk akal memang. Dan karena alasan inilah, maka catatan Budayri mendapatkan tempatnya. Karya Rogan menjadi pembanding paling otoritatif di kalangan penulis sejarah Arab lainnya dari dunia Barat. 

Rupanya kisah hebat tentang catatan harian ini tidak hanya dialami oleh Budayri. Dari wilayah Zamrud Khatulistiwa di abad ke-20, catatan harian seorang Sultan Melayu berhasil memberikan pengaruh yang sangat besar pada perkembangan penulisan sejarah Melayu di Indonesia. 

Tengku Luckman Sinar adalah, sultan kedelapan dari Kesultanan Serdang, Sumatera Utara, yang cukup fenomenal. Ia dikenal luas keilmuannya dan memiliki kebiasaan menulis buku harian sejak muda. Tercatat sejak tahun 1948 hingga menjelang tahun 2011, Sultan yang menghabiskan hampir dua pertiga usianya untuk penelitian ini telah menulis catatan harian mengenai berbagai hal yang dilalui dalam kesehariannya. Buku-buku diary tersebut kini berbaris rapi di salah satu rak perpustakaan pribadi Sang Sultan dan bisa dibaca oleh siapa saja. Dari catatan harian ini telah lahir banyak buku tentang sejarah Melayu maupun tokoh-tokoh terkait. 

Selain konsisten menulis catatan harian dan menerbitkan buku maupun karya-karyai lmiah lainnya, ternyata Tengku Luckman Sinar juga gemar mengumpulkan arsip seputar sejarah Melayu. Ribuan buku, jurnal, peta, naskah, foto, klipping, artikel, juga CD audio dan visual hasil penelusuran yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun telah banyak mewarnai perkembangan sejarah Melayu. Kini, buku dan gagasan Sang Sultan menjadi rujukan utama setiap kali orang mencari sumber sejarah Melayu. Usaha akhirnya memang tidak mengkhianati hasil. 

Kalau ditelusuri, pada dasarnya akan banyak kita temukan sumber-sumber informasi sejarah dunia berasal dari catatan atau jurnal harian seseorang, entah itu pakar, orang awam, maupun pelaku sejarah itu sendiri. Catatan harian ini umumnya cenderung subyektif sesuai cara berpikir pemiliknya, tetapi keberadaannya tentu saja memiliki peran besar dalam membentuk rekaman sejarah. Bukankah sejarah itu sendiri adalah diary umat manusia yang merekam berbagai peristiwa kehidupan? Tanpanya, kita mungkin saat ini akan buta informasi tentang banyak hal. 

Tingkat budaya mencatat dan mengumpulkan arsip suatu bangsa sebenarnya akan berpengaruh pada banyak hal terkait kevalidan sejarah. Siapapun tidak bisa membantah fakta dan data yang otentik. Semakin bertambah usia dunia ini, maka kemungkinan bertambahnya fakta-fakta baru yang ditemukan akan semakin besar. Jika data-data tersebut tidak diikuti dengan budaya mengarsipkan, maka fakta tidak akan terjaga dan bisa saja menghilang tanpa bekas. Musnah. Jika sudah begini, berbagai macam asumsi maupun data semu akan terselip dalam rentetan sejarah kita. 

Barangkali tidak perlu jauh-jauh untuk membangun budaya arsip dan merasakan bagaimana manfaatnya dalam kehidupan. Kita bisa memahami dan menerapkannya langsung dalam lingkup paling kecil, yakni individu dan keluarga. 

Sebagai contoh beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan ramainya keluhan masyarakat Indonesia tentang lonjakan tagihan listrik pada sebagian warga.Tak tanggung-tanggung, kenaikan tersebut mencapai dua hingga tiga kali lipat dari tagihan bulanan yang biasa dibayarkan. Sebagian besar warga merasa tagihan tersebut tidak sesuai dengan pemakaian mereka di rumah. Namun, untuk melakukan klaim kepada pihak yang berwenang, kita ternyata tidak memiliki cukup data yang otentik atas ketidak sesuaian tersebut. Akhirnya,kita hanya bisa pasrah terhadap pencatatan rekaman meteran listrik yang dilakukan oleh petugas sebagai satu-satunya sumber rujukan. Bagi mereka yang mengajukan keberatan dan beruntung, tagihan mereka akan berkurang. Bagi yang kurang beruntung, mereka terpaksa harus membayar penuh tagihan dengan hati yang dongkol. 

Andai saja kita memiliki catatan tersendiri dari pergerakan meteran listrik kita, mungkin ceritanya bisa sedikit berbeda. Jika memungkinkan, kita bisa mencatat dan merekam penggunaan listrik kita dalam 24 jam. Data yang terkumpul selama satu bulan dapat kita gunakan untuk banyak hal. Misalnya, menganalisa pemakaian listrik bulanan kita, menghindarkan ketidaksesuaian data pemakaian dan tagihan, merancang program penghematan listrik rumah tangga kita, atau hal-hal lainnya yang bisa kita manfaatkan dari catatan tersebut. 

Contoh lain yang bisa memungkinkan kita membangun budaya arsip dalam lingkup keluarga adalah pencatatan kebutuhan dapur rumah tangga. Setiap hari dan setiap bulan, kita pasti membeli barang-barang kebutuhan pokok. Mencatat berapa harga-harga kebutuhan pokok minggu ini, minggu depan, dan seterusnya selama sebulan yang kita belanjakan disertai dengan catatan peristiwa yang sedang terjadi akan memungkinkan kita untuk melihat roda pergerakan harga yang fluktuatif. Kita bisa membuat perkiraan, misalnya, ketika hari raya, harga-harga cenderung naik. Atau ketika ketersediaan bahan pangan membanjiri pasar, harga-harga cenderung turun. Ketika para petani gagal panen, ketika bahan tertentu langka, bahkan ketika situasi negara dalam keadaan kurang baik, harga-harga cenderung berubah-ubah. Dengan kita mencatat hal-hal kecil seperti ini, kita bisa mengatur strategi pengeluaran belanja kita. 

Membuat catatan harian tentang apapun dalam kehidupan kita juga termasuk proses mengarsipkan. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membangun budaya arsip keluarga kita sendiri. Tidak ada yang bisa menyangka, kelak di masa depan, catatan arsip belanja kita akan berakhir sebagai data utama seorang pakar ekonomi dalam merumuskan kebijakan. Tidak ada yang bisa mengetahui jika, suatu saat, catatan ketika kita merawat anggota keluarga yang sakit bertahun-tahun bisa menjadi bahan rujukan bagi seorang tenaga medis dalam menyusun buku panduan perawatan bagi keluarga. 

Mungkin saja kita tidak seberuntung Budayri, yang catatan hariannya dinukil oleh sebuah buku paling laris dunia. Namun, catatan tertulis kita nantinya akan sangat berguna apabila bisa diwariskan keanakcucu dan generasi selanjutnya. Mereka akan belajar tentang masa kita dan menetapkan rencana untuk masa depan mereka. 

Maka, menulislah. Catatlah kehidupan kita. Catatlah sejarah kita sendiri. Kelak di masa depan, ketika nama kita hanya menjadi sebuah coretan tanpa jasad, ilmu yang kita tinggalkan akan menjadi modal bagi generasi berikutnya menjalani kehidupan. 

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) 

*Tentang Penulis 
 Evyta Ar adalah seorang blogger, pecinta buku, dan penikmat hijau.
Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

1 comments