Ilustrasi
Oleh: Putri Rizky Ardhina
Di negeriku, langit pagi tidak mampu menawarkan pemandangan menyejukkan. Apa yang disediakan oleh pagi bukanlah lantunan alam yang menenangkan. Langit tidak berwarna biru melainkan abu-abu. Asap kelabu, debu abu-abu, langit gelap disertai deru, begitu kami mengartikan pagi.
Bagaimana pagi di negerimu? Beritahu aku.
Tidak ada segelas susu untuk sarapan. Hanya ada roti dari sisa-sisa makanan yang kukumpulkan dari gunungan sampah untuk dimakan hari ini. Tidak cukup untuk mengeyangkan perut tetapi untuk pergi sekolah kami butuh tenaga. Ya, tenaga untuk berhadapan dengan tentara zionis Israel yang suka menangkap anak-anak sepertiku hanya karena perkara remeh.
Aku tidak suka pergi ke sekolah. Di kelasku, bangku-bangku kosong memenuhi ruang belajar. Hampir setiap hari ada saja yang tidak hadir. Mereka bukan malas. Kadang mereka hilang tanpa kabar. Ada juga yang memberi kabar, katanya ia sudah syahid.
Begitu teman-temanku, pergi sekolah, pulang ke Jannatullah. Sekali waktu kami tertahan di dalam kelas. Di luar gencatan senjata tengah berkobar. Mereka menembaki gedung-gedung sekolah kami, di bawah meja kami menutupi kepala dengan tangan, suatu waktu bisa terkena reruntuhan.
Jadi apa itu sekolah? Beritahu aku.
Katanya setiap manusia lahir dalam keadaan merdeka, tetapi kami lahir dari rahim penjajahan. Zionis laknat menurunkan serdadunya, pesawat tempurnya, tank-tank penghancurnya untuk melawan seorang bocah lelaki kecil dengan batu di tangannya, berdiri di tengah kepulan asap. Di sana ia sendirian.
Jadi aku bertanya-tanya siapa yang sebenarnya lemah dan siapa yang sesungguhnya kuat?
Aku ingin bermain tanpa mendengar suara letusan di luar sana. Ibu melarang kami keluar dari rumah, di sana bahaya, tak ada tempat yang layak bagi anak-anak di tanah ini. Sepeda yang terbelah dua, kuda-kudaan kayu hangus terbakar, boneka-boneka anak perempuan bersimbah darah dari tuannya yang tidak pernah kembali ke rumah.
Beritahu aku, bagaimanakah bermain itu?
Ribuan nyawa telah kembali kepada RabbNya, kisah kepahlawanan mereka terus diceritakan, tetapi sekotak layar kaca di hadapan mata kalian menutupi kebenarannya.
Mereka memproduksi dusta, anehnya masih ada yang percaya. Lidah kami bagai terpotong, teriakan kami saru mengasap. Dibungkam. Walau seluruh dunia melihat luka dan airmata ini tetapi tak seorang pun menyekanya kecuali tangan-tangan mungil kami sendiri.
Terkadang aku sudah tidak menangis, rasanya sudah kebal. Airmataku ditelan lautan, lautan yang sama di mana ayah tak bisa menjaring ikan ke tengah lautan. Ada batas yang dipasang Israel, ayah bisa ditembak mati jika melewatinya.
Ayah. Entah di mana ia sekarang. Suatu hari ia membawa batu-batu di saku celananya. Sementara tangan kanannya menyangga pada tongkat sebagai pengganti kakinya yang hilang. Ayah pergi, katanya untuk membebaskan negeri. Setelah itu ayah tidak pernah kembali. Sepertinya ayah pun tak kuasa membebaskan diri.
Aku ingin tidur saja malam ini. Malam dan pagi tak ada bedanya bagi kami. Listrik hanya menyala empat jam dalam sehari, itupun ibu harus setengah mati membayarnya dengan harga yang tinggi. Aku ingin tidur saja malam ini, berharap bisa bermimpi.
Bermimpi negeri ini bebas merdeka tanpa penjajah lagi, di mana aku dan teman-temanku bisa sekolah, bermain bersama, makan sehat dan punya baju baru di hari raya. Bermimpi berkumpul lagi dengan tenang bersama keluarga.
Aku berharap tak perlu bangun kembali esok pagi.
Wahai Allah yang menguasai penjuru langit dan bumi, bagaimanakah bisa tetap bahagia di antara deru desing peluru ini? Beritahu aku.
Share This :
Min...ini bukannya fiksi ya min? 😁
BalasHapus