Malam ini udara terasa sangat lembab. Mayang kembali duduk termenung dibangku tua kesayangannya ditemani jangkrik dan bancet yang tengah menari-nari dikubangan bekas air hujan sore tadi. Suara takbir menggema ditelinganya. Pikirannya kembali menelisik jauh kedalam kenangan semasa anak-anaknya masih kecil dahulu.
Saat itu suasana begitu riuh jika malam lebaran begini. Anak-anak itu dengan
suara melengkingnya selalu saja berebut mukenah dan sandal ketika hendak berangkat
takbiran. Pikirannya semakin bersemangat merajut satu demi satu benang-benang
kerinduan itu, ia menyunggingkan bibirnya, tersadar bahwa kenangan itu telah
lama pergi dari hidupnya. Kini anak-anak itu telah tumbuh dewasa. Tak lagi
mungkin mengulang kenangan itu.
Sudah dua tahun mereka tak pernah mengunjungi Mayang. Kesibukan yang harus dijalani memaksa mereka tak bisa pulang ke kampung halaman. Seharusnya lebaran tahun ini mereka datang mengunjunginya tapi rencana itu terpaksa dibatalkan. Mayang sangat senang ketika mendengar anak-anaknya akan berkunjung ke kampung halaman, ia selalu membayangkan anak-anak beserta cucu-cucunya berlarian digubuk tuanya.
Sekarang bayangan-bayangan
itu terpaksa dihapusnya dalam-dalam sebab pembatalan keberangkatan anak-anaknya.
Kabarnya, ada sebuah penyakit baru yang menghalangi anak-anaknya untuk pulang.
Penyakit mengerikan yang mengancam keselamatan anak-anaknya jika pulang ke
kampung. Semenjak kabar itu tersebar luas, ketidakmungkinan merajut kembali
kenangan yang pernah ada semakin kuat saja. Malam semakin dingin, Mayang
memutuskan masuk kedalam gubuk
tuanya.
“Selamat malam pemirsa, hari ini
secara resmi presiden mengumumkan bahwa tahun ini masyarakat dilarang mudik ke
kampung halaman, pelarangan ini bertujuan untuk memutus rantai persebaran
covid-19 di Indonesia, berdasarkan..”
Belakangan ini siaran televisi selalu dipenuhi dengan berita persebaran penyakit itu di tanah air, katanya penyakit itu berasal dari sebuah virus yang bernama korona. Semua orang mendadak panik, dari berita-berita itu terlihat bahwa penyakit yang belum ditemukan obatnya itu sangat menakutkan, dalam sekejap ribuan orang terjangkit secara tiba-tiba hanya karena berinteraksi dengan tetangga atau kerabatnya. Interaksi secara langsung mendadak diputus karena penyakit baru itu.
Segalanya dilakukan dengan online. Siaran di televisi juga dipenuhi dengan acara-acara yang dilakukan secara jarak jauh. Sanak saudara yang saling merindukan berbicara lewat videocall. Hampir semua orang berkomunikasi lewat videocall dengan orang-orang tercinta yang tak bisa ditemui. Tapi berbeda dengan Mayang yang merindukan anak-anaknya, ia tak pernah melakukan videocall, bahkan ia tak tahu apa arti istilah videocall. Yang ia tahu orang-orang saling berbicara lewat gawai modern yang mereka miliki.
Mayang tak pandai menggunakan gawai seperti milik
orang-orang, hanya gawai keluaran tahun 2005 yang bisa ia gunakan untuk
menelepon anak-anaknya. Itupun hanya sekadar menelepon yang ia tahu, ketika ada
pesan masuk, mayang akan mengabaikannya karena ia tak tahu cara membalas pesan.
“Halo mak, mamak sehat?” sebuah
suara terdengar dari balik gawai yang dipegang Mayang, salah satu anaknya
berbicara melalui sambungan telepon secara paralel.
“Iya nak mamak sehat,” Mayang
menjawab dengan suara bergetar matanya berlinang menahan kerinduan kepada
anak-anaknya itu.
“Maaf ya mak kami belum bisa
pulang, masih musim korona mudik juga dilarang, nanti kalo keadaan udah membaik
kami sama anak-anak dikampung lama-lama mak,” sambung salah satu anaknya.
Mayang selalu menjalani aktivitasnya sendiri digubuk tuanya setelah ketiga anaknya dipinang oleh lelaki di kota. Suaminya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil. Sejak dulu, ia sudah terbiasa mencari makan sendiri, juga membiayai ketiga anaknya sekolah hingga kuliah dikota rantau. Kini mereka telah dipinang oleh lelaki pujaan mereka.
Mayang sempat diajak untuk tinggal bersama mereka,
tapi ia tak mau meninggalkan gubuk
tuanya. Katanya, gubuk itu penuh
dengan kenangan. Ia takkan meninggalkan rumah itu dengan alasan apapun.
Anak-anaknya menyerah dan memilih untuk mengikuti keinginan Mayang. Mereka
berjanji akan mengunjungi Mayang tiap kali lebaran.
Tak
ada yang berubah dari aktivitasnya, setiap pagi ia selalu menyangrai melinjo di
halaman depan rumahnya, melinjo itu akan dijadikan emping dan dijualnya ke
pasar atau ke tetangga jika ada yang mau beli.
“Assalamualaikum
mak Mayang,” seorang tetangga mendatangi Mayang, dia adalah Nande pelanggan
setia mayang sejak dulu.
“Wa’alaikumsalam
mau beli emping ya nde?” Mayang melebarkan senyumnya membuat gurat diwajahnya
semakin terlihat.
“Iya
mak, pesan dua kilo aja ya mak.”
Dalam satu hari Mayang hanya mampu membuat satu kilo emping melinjo, tak seperti dulu ia bisa membuat sampai empat kilo emping dalam sehari, usia renta membuat badannya semakin rapuh. Tapi dimusim penyakit seperti saat ini, tak masalah jika ia membuat sedikit emping, lagi pula permintaan emping tidak terlalu banyak dan emping yang dibawanya kepasar sering tak laku.
Meski begitu ia
bersyukur masih mempunyai sedikit penghasilan dan bisa makan. Tak banyak yang
Mayang inginkan di usia rentanya. Tak ada lagi yang diinginkannya selain bisa
bertemu dengan anak-anak dan cucu-cucunya.
“Mak,
anak-anak nggak pulang lagi ya tahun ini?”
“Enggak
nde, korona,” Mayang tersenyum miris sambil mengusap keringat didahinya.
“Ih
iya kan mak, aku pun juga gak kedatangan tamu lebaran tahun ini kok karena
korona, semenjak korona pun cari makan juga agak susah kan mak, pendapatan gak
kayak dulu,”
“Iya
nde, tapi disyukuri ajalah, sedikit-sedikit pun Allah masih kasih kita rezeki,”
Mayang tersenyum sambil terus mengaduk-aduk melinjonya.
“Iya
ya mak, oh iya mak semalam dengar-dengar presiden kita bilang mau berdamai sama
korona gitu mak, kayaknya bentar lagi mau dibuat normal lagi mak. Mana tau
anak-anak mak Mayang bisa pulang nanti walaupun lebaran udah lewat. Cobaklah
mak tengok di tv beritanya nanti.”
Mayang menekan-nekan remote tv, mencoba mencari siaran yang bisa ditonton. Isi berita di tv masih sama, pertambahan jumlah pasien korona yang semakin pesat. Tapi seperti kata tetangganya, akan ada aturan baru dari pemerintah yang disebut dengan new normal.
Di tv disebutkan bahwa kegiatan masyarakat akan kembali
dilakukan secara normal tanpa ada pembatasan sosial berskala besar seperti
sebelumnya, tetapi masyarakat tetap diminta untuk melanjutkan pola hidup bersih
dan sehat. Semua orang bisa bertemu secara langsung dengan kerabatnya setelah
aturan itu diberlakukan. Mendengar hal itu, tentunya Mayang merasa bahagia,
mimpinya untuk bertemu dengan ketiga anaknya tak akan terhalangi lagi oleh
korona.
Bangku
yang telah rapuh itu masih saja diduduki Mayang, ia banyak termenung semenjak
menelepon anak tertuanya dan berbicara tentang aturan new normal, bahkan tanpa
korona pun dadanya tetap terasa sakit menahan kerinduan kepada anak-anaknya.
Terbesit dibenaknya apakah anak-anaknya sudah tidak peduli dan hanya menjadikan
korona sebagai alasan saja untuk tidak pulang kampung. Kalimat penolakan
anaknya malam itu cukup membuatnya sakit. Rindunya yang sudah meradang membuat
Mayang sensitif belakangan ini.
“Assalamualaikum nak”
“Wa’alaikumsalam mak, ada apa mak?”
“Itu, tadi mamak tengok di tv
bentar lagi mau dibuat aturan normal baru gitu, nanti kalo udah sah aturannya
kalian pulang ya nak kekampung”
“Oh aturan itu mak, nggak bisa mak,
justru kalo aturan itu diberlakukan kami harus makin waspada mak, semua orang
bisa bergerak bebas kalo aturan itu udah diberlakukan mak,”
“Nak, kau nggak kangen sama mamak?”
“Bukan gitu mak, keadaannya serba
salah mak, memang masyarakat disuruh ikut pola hidup bersih dan sehat tapi
pasti nggak semua masyarakat ikut aturan mak, makin besarlah mak kemungkinan
kami tertular, ditambah lagi pulang kekampung harus dua kali ganti kendaraan,
nanti ya mak, kalo korona udah mulai mereda kami pasti pulang.”
Tut.. tut..
Pikirannya selalu kembali pada percakapan itu. Mayang terus bertanya-tanya kapan penyakit ini akan mereda. Di tv terlihat semakin hari orang yang terjangkit semakin banyak saja. Kalau saja anak-anaknya tak pulang tahun ini, entah mau sampai tahun kapan lagi mereka akan pulang.
Mayang menceritakan perihal penolakan
anaknya pada Nande saat Nande mengambil pesanan empingnya. Kata-kata Nande
membuatnya berpikir kembali. Mayang membuang jauh-jauh pikiran buruknya.
Selepas Nande pergi Mayang masuk kedalam gubuk tuanya. Mengambil gawai dan
menelepon anaknya. Kali ini ekspresi wajahnya berbeda, ia menelepon anaknya
dengan wajah tersenyum.
***
“Gitulah
nde, pusing kalo dipikirkan” Mayang menghela napasnya.
“Iyalah mak mayang, udah betul anakmu itu. Aku juga semalam baru dikasih pencerahan sama saudaraku. Udah jangan dipaksa anakmu pulang, tengoklah masyarakat kita ini, pasti banyak yang gak taat aturan. Contohnya aja kita mak, kita aja kemana-mana nggak pake masker kan, nggak sering cuci tangan kayak yang disuruh di tv itu. Mereka itu sayang samamu mak makanya nggak pulang kampung. Kalo di perjalanan mereka tertular, terus pulang ke kampung mak Mayang malah ikut tertular, nanti kan jadi repot mak.”
Tentang Penulis
Sri
Rizki Hardianti merupakan wanita yang menyukai dunia kepenulisan. Bergiat di FLP Medan.
Maaf min namanya bisa diubah nggak? Rizky nya jadi rizki 🙏
BalasHapus