BLANTERWISDOM101

Cerpen: Luntang Lantung

Sabtu, 13 Juni 2020
Ilustrasi

Oleh: Meysy Deviani Putri

Sejak saat itu langit lembayung berubah nestapa. Bergerak menjauh, lalu hilang arah. Aku dibiarkan sendiri menyepi dikala hujan menemani. Dunia tidak adil, bahkan orang lemah sepertiku, tidak ada yang mampu menopang badan. Datang menghampiri, lalu mengucapkan petuah lama, bersandarkan api semangat lalu ia hilang ke negeri antah berantah. 

Lalu, rombongan memelukku, mengucapkan kata tabah, yang mungkin saat itu aku tidak mau mengerti apa yang mereka ucapkan. Tahuku, ada yang terbaring dan terbujur kaku dan tak bersuara. Pandai sekali mereka berkata, senyum-manis lalu tak berbekas. Datang sebentar, lalu bercerita sana-sini. Entah aib siapa lagi yang akan bertebaran di tempat duka ini. 

Tidakkah mereka lihat, ada buku bertulisan Yasin di atas beras yang sedang dipenuhi uang. Aneh rasanya menjadi orang dewasa, kecil dahulu tahu beradab, sudah besar memerintahkan adab sama-tapi dia sendiri melanggar adab yang telah ditanam dalam sanubari. 

Sekeping hatiku hilang dibawah nur malam. Pukul 19.00 WIB detak itu berhenti atas jatah yang telah diberikan. Jendela hati telah terkunci, hanya saja nanti ada pertanggung jawaban atas masa yang telah berakhir. Aku melihat dunia tak sedamai dahulu, tak seharum kasturi dan tak seindah pelangi senja sejak hari itu berakhir tragis penuh tangis.

Tempat ini mulai sunyi, sejak pukul 12.35 orang yang menjadikan aku bulan dan bintangnya pergi bak ratu yang sedang dikawal Pengawal kerajaan. Mereka tidak memberikan aku izin untuk mengiringi, katanya aku anak kecil. Biarlah di rumah saja. Satu jam lebih, mereka kembali, tapi kenapa para pengawal itu pulang dengan tangan kosong. 

Kemana ratu yang mereka jinjing di kepala mereka masing-masing. Ah, mereka menghancurkan hatiku, mereka biarkan ratuku hilang dan tak kembali lagi. Aku terisak tangis, aku meratap pedih. Seseorang menghampiri ku lalu bersabar katanya. Jangan meratap, kasihan yang disana. Aku mulai menenangkan diri, disudut sana sanak-famili berkumpul sedang aku berkabung. 

Tak sanggupkah mereka memelukku dikala aku hilang arah disini. Perbincangan mereka terlihat serius, mungkinkah aku yang dibicarakan. Terdengar samar-samar, ada yang menyarankan aku ke panti asuhan saja, adapula yang menyarankan aku tinggal di rumah kakak tertua yang katanya hidupnya pas-pasan. 

Adapula yang menyarankan aku menjadi anak angkat janda tua yang tidak punya anak dan suami itu. Adapula yang meyarankan aku tinggal dengan pak Hendrik bos besar, tapi bukan diangkat sebagai anak melainkan jadi pembantu di rumah mereka.

Hanya desir angin yang berayun lembut yang kurasa, mungkinkah dia yang telah pergi datang memelukku yang sedang gundah nestapa. Meski tak terlihat, tapi aku merasa begitu dekat disekitarku. Hanya doa istimewah malam ini yang menjadi penopang diri yatim piatu.

Sedari tadi, suasana semakin hangat, perbincangan itu tidak ada yang mencoba mengalah dan memberikan solusi. Seorang yang tua rapuh itu seperti tidak suka perbincangan ini. Dia memberikan aba-aba tangan-cukup sampai disini, terluka hatinya cucunya dioper sana-sini. Namun suaranya yang tak terdengar, geraknya yang tak terpengaruh akibat penyakit lumpuh yang dideritanya membuat sarannya diindahkan. 

Pelarianku melangit, ada saja ide terlintas dibawah alam sadarku. Entah godaan, ataupun solusi yang terbaik agar aku tidak jadi benalu-beban pikiran sanak-saudaraku. Sesekali aku melihat ke langit-langit rumah warisan itu, aku mencoba menahan air mata dengan menatap ke atas. Aku merindukan gubuk kecil saat 7 tahun lamanya menghabiskan masa dengan ibu. Sederhana saja membuatku senang dan jatuh cinta akan keadaan. 

Tidak dengan kemewahan, malah gubuk itu saksi bisu bahwa kami hidup dalam kemelaratan tapi kami bahagia dalam kesederhanaan. Ayah sudah tiada sejak aku dalam kandungan, aku mengenalnya lewat photo hitam putih- begitu tampan sama dengan daku raut wajahnya. Sejak ibu sakit-sakitan rumah warisan inilah menampung kami. Tapi, bukanlah ringan langkah kami datang kesini, keterpaksaanlah yang berujung pada tangisan setiap malamnya ketika berbaring di tempat tidur. 

Aku melihat betapa sedih ibu, disindir terus-menerus oleh adik bungsunya di rumah warisan ayahnya sendiri. Ibu berandai-jikalau saja ayahku masih ada pasti aku dirawatnya seperti putri kecil yang selalu bermanja di pangkuan kasih sayangnya. Andai saja ibu tidak lumpuh dan masih kuat, pasti aku akan dirawatnya dengan kasih sayang yang tak pernah pudar. 

Begitulah ibu berandai selama masa sakitnya, sekarang anaknya akan merasakan luntang-lantung kehidupan. Sebenarnya, sejak pembagian warisan itu, hanya ibu yang tidak dapat bagian. Mereka yang sedari dulu kaya raya, rumah bak istana, masih terus-menerus meminta warisan kakek yang baru saja meninggal dunia. 

Mereka tidak peduli bahwasanya nenek masih hidup dan berhak atas harta itu. Saudaranya ibu ada 5 orang; Mereka adalah orang kaya semua, ibu adalah anak kedua yang sedari kecil selalu menjadi tulang punggung tambahan di keluarga ini.

“Jadi bagaimana anak si Lastri ini?” Tanya Om Sofyan abang tertua ibu

“Aku tidak bisa, anakku sudah banyak.” Sahut Bu Rini sebagai adik ketiga

“Aku juga tidak bisa, aku terlalu sibuk-anak istriku bahkan sering aku lupakan.” Pungkas Om Anton sebagai adik keempat

“Apalagi aku, ibu yang sudah tua ini akan aku rawat lagi, ditambah anak malang ini.” Sambung Tante Kina sebagai adik bungsu ibu yang saat itu perawan tua

Aku lihat nenek mengerti sekali perasaanku yang sedari tadi tersudut kaku didepan pintu. Dia meneteskan air mata prihatin akan nasibku. Jikalau saja dia tidak lumpuh, pasti dia senang hati merawatku. Karena ada hati yang tulus mencintaiku setalah ibu di dunia ini-nenek adalah kasih keduaku.

Ah, aku seperti ini karena ibu tidak meninggalkan harta yang banyak padaku, andai saja ibu pergi meninggalkan warisan yang banyak, pasti mereka yang rakus ini senang hati menerimaku. Tiba-tiba fokusku terpecah melihat nenek jatuh dari kursi rodanya. Semua menghentikan perdebatannya. Tiba-tiba abang tertua sontak langsung mengatakan Innalillahi wa Innailahi Roji’un.

Haah, aku lemah, Ya Allah aku hilang arah, ya Allah dunia gelap, kenapa tak kulihat lagi di dunia ini sinaran mutiara. Dia yang harapan penopangku, Engkau cabut masanya setelah sehari ibuku. Siapa lagi yang sayang padaku. Siapa yang akan peduli nasibku.

Kembali lagi, suara Toa masjid memberikan kabar duka. Nama yang disebut nama nenekku. Pucat sudah mukaku, melihat dia yang terbujur kaku. Tak kulihat airmata sedih yang menguatkan ku dikala masa pengoperan itu. Nasib si anak malang penuh nestapa dalam kehidupan, anak yatim-piatu, anak hilang kasih sayang ibu, dan tidak merasakan kasih sayang ayah. Ditinggal sendiri dikala sanak-saudara menjauhi.

Dia telah pergi, kata mereka tidurnya bersebelahan dengan ibuku. Kali ini, mereka tidak mengucapkan petuah duka kepadaku, tapi kepada anak-anak nenekku. Oo begitukah caranya. Kursi roda itu, masih aku rasakan keberadaanya di sana. Begitu banyak orang yang datang melayat, mungkin mereka terkejut dengan duka yang hanya beda satu hari atau mungkin mereka belum sempat melayat pada hari ibuku pergi.

Aku mencoba lari dari kerumunan yang melayat, aku tidur diatas tempat tidur ibuku sewaktu beliau sakit. Aku berharap Tuhan menjemputku saat itu juga, aku ingin tidur disamping dua orang yang sangat menyayangiku. 

Malampun melemahkan badanku, mungkin lelah hingga terbawa suasana mimpi, bidadari berjumlah dua orang tersenyum kepadaku, lalu menciumku dan pergi. Aroma tubuhnya seperti ibu dan nenek. Mereka terlihat senang, mungkinkah Allah juga akan mencabut jatahku hari ini juga. Agar aku tersenyum bersama dengan mereka.

Tiba-tiba badanku ada yang menyentuh lalu tersadar dari mimpi indahku. Aku melihat itu Tante Kina. Setelah membangunkan ku dia sepertinya sibuk membersihkan tilam kemalangan. Aku melihat hanya dia sendiri disini, sepi tiada orang yang memperdebatkan ku.

“Tante, kok sudah sepi?”

“Semua sudah berpulangan, kamu tidur terlalu lama.”

“Lalu, mana perginya Om sama Bu rini?”

“Mereka sudah kembali sama keluarganya, mereka menitipkanmu sama saya, hanya karena ibu sudah meninggal jadi tidak ada yang saya rawat.”

“Apakah Tante bersenang hati saya disini.”

“Kamu jaga saya sampe tua, Saya akan menjaga kamu sebagai penganti ibumu.”

“Terimakasi Tante.”

Aku menemukan sinaran mutiara itu terbit lagi, entah karena rasa kasihan atau karena apa.Tiba-tiba aku teringat kakek, betapa perihnya hati kakek kalau beliau tahu anak-anaknya itu tidak terwarisi agama tapi malah rakus akan harta.

***

“Kamu saja Kina yang merawatnya.” Kata Om Sofyan

“Iya kamu kan ngak ada ibu lagi yang harus diurus, lagian rumah in terlalu besar untuk kamu tingalkan sendiri.” Kata Bu Rini

“Warisan ibukan tinggal satu ini yang belum kita bagi, nah rumah ini untuk kamu saja, tidak ada pembagian lagi. Hitung-hitung sebagai warisan untuk anak kak lastri, karena kan kak lastri dari dulu tidak pernah mendapatkan warisan sama sekali.” Saran Om Anton

“Oke aku terima dengan berat hati karena anak ini, dan ringan hati karena warisan ini.” Ucap Kina

***

Inilah hidup si anak malang, si miskin harta, hilangnya kasih dalam kandungan. Berpunya saudara haus harta, tak lapar akan ilmu. Perih yang tertanggung di badan bukan kasih yang diraih, tapi ada benih lain yang dikutip dari diri ini si yatim piatu luntang lantung.


Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments