Penulis : Fitrah Nuraidillah Nst
Wajah cakrawala masih merona. Anak manusia masih mengukir mimpi di balik kelambu, ada pula yang berbaring di atas dipan. Ada wajah-wajah bersahaja yang telah bergumul dengan asap dan tungku, ada pula tangan-tangan yang memainkan indalu, anak lesung sehingga melahirkan nada-nada yang damai, atau suara anak gilingan yang memecah hening.
Di luar sana sudah begitu ramai, orang-orang lalu-lalang membawa cangkul hendak ke ladang, ada yang baru pulang dari surau, ada pula yang menjunjung bakul berisi pakaian, ember-ember dengan piring-piring kotor, ember berisi air, atau ember yang berisi peralatan mandi saja.
Upik, anak perempuan berusia enambelas tahun itu menjunjung ember berisi piring-piring kotor. Di bahu kanannya terselempang handuk berwarna hijau yang terlihat pupus karena memang sebenarnya sudah lebih tua dari usia Upik. Dia menuruni anak tangga yang jumlahnya hanya lima, lalu menyusuri jalan setapak ke arah samping kanan rumahnya yang menghadap ke timur. Menapaki dedaunan kering namun basah. Sesekali dia melebarkan telapak tangannya sambil berjalan membiarkannya menyentuh tetesan-tetesan yang membasahi ilalang dan beberapa jenis tumbuhan yang entah apa namanya, sebut saja tumbuhan hutan.
Upik menyusuri jalan yang agak menukik, sesekali dia menyapa orang yang berpapasan dengannya. Dua orang anak perempuan yang terlihat sebaya dengannya menghampiri Upik, yang satu membawa ember yang isinya serupa seperti Upik, sedang yang bersarung meninting ember berisi sabun. Mereka pergi beriringan sambil bercengkrama.
Suara-suara gemericik air, pakaian yang dihempas ke batu, serta gurauan-gurauan dari para perempuan makin jelas terdengar. Upik pun turun mengambil tempat. Kakinya terasa dingin namun segar ketika menyentuh air yang mengalir tanpa hambatan. Diletakkannya handuk di atas rerumputan, ember di atas batu besar. Lalu dia membasuh wajah dan menggosok gigi. Diambilnya tempat sabun dan dia pun mulai mencuci piring. Sesekali dia menanggapi pembicaraan orang-orang di sekitar.
"Wah, si Masdah sudah pandai pula dia membayu amak, katanya," ucap salah seorang perempuan.
"Kalau begitu, segeralah dia menikah, apalagi yang ditunggu, mencari kayu bakar pun Masdah sudah tahu, bukan begitu Masdah?" Ucap perempuan yang sibuk membasahi rambutnya.
"Ya, kalian doakan sajalah semoga segera, memang dalam waktu dekat ini akan ada pinangan di rumahku," ujar Masdah.
" Tentu saja Masdah, sudah tidak sabar aku melihatmu jadi pengantin." Sahut Upik sambil terkekeh.
"Ah, kau ini Upik, jangan lupa pulalah kau segera menyusul, aku pun tidak sabar melihatmu menggendong anak, " timpal Masdah sambil terkekeh pula.
Jadilah semua orang ikut terkekeh. Sedang wajah Upik memerah serupa bata, namun dia memaksa tersenyum. Dia menelan ludah, manalah mungkin dia secepat Masdah untuk menikah.
"Hah, jodoh itu sudah Tuhan yang atur, aku turut sajalah apa kata takdir", sahut Upik lagi.
Semua orang masih menahan geli.
Satu per satu telah selesai melakukan pekerjaannya, ada yang kemudian mandi, ada juga yang beranjak pulang. Upik tinggal mengeringkan badannya saja, Masdah menunggu Upik untuk pulang bersama.
Suara kicauan burung mulai terdengar mengantar fajar menyingsing. Wajah cakrawala mulai kehilangan rona, seiring kehangatan mulai memeluk pepohonan, dan basah berubah menjadi kering.
Penduduk Siligawan Gadang mulai mengukir cerita untuk hari minggu yang damai. Siligawan Gadang, desa dimana pertama kali Upik merasakan udara, merasakan hangatnya pelukan, salah satu desa di Pasaman, Sumatera Barat. Penduduknya bukan orang Minang saja, kebanyakan orang Mandailing bermarga Batubara, Nasution, dan Lubis. Entah siapa nenek moyang pertama yang menginjakkan kaki di Siligawan Gadang ini. Walau disebut gadang yang artinya besar dalam bahasa minang, namun desanya tak sebesar namanya. Tetapi desa kecil ini mampu memberikan kehidupan yang luar biasa bagi penduduk setempat.
Upik pun tiba di rumah. Tercium olehnya aroma masakan ibu yang membangkitkan selera. Setelah bersiap diri Upik pun menuju meja makan untuk menyantap masakan ibunya.
"Upik, umak dengar si Masdah akan menikah ya? Wah, cepat juga dia mendapat jodoh ya?" Kata ibunya.
"Iya mak, dalam waktu dekat ini," sahut Upik.
"Itulah, dia sudah pandai pula membayu amak dan mencari kayu bakar. Seharusnya perempuan memang tak hanya pandai memasak, mencuci piring dan menyapu rumah saja, kalau dia belum bisa membayu amak dan mencari kayu bakar, tak bolehlah dia lekas menikah".
"Hah, itu pulalah yang Upik herankan dengan adat macam itu, kenapa menikah saja pakai syarat macam itu, jadi kalau tak pandai-pandai membayu amak dan mencari kayu bakar, tak menikahlah dia".
"Upik, apa kau ini, memang sudah sepatutnya seperti itu. Itu sudah petuah dari nenek moyang. Dimana jika ingin lekas menikah si kaum perempuan harus sudah bisa membayu amak dan mencari kayu bakar, sedangkan kaum laki-laki harus sudah pandai cari ikan. Semuanya itu sangat dibutuhkan saat menikah. Apa kau mau duduk di lantai tanpa alas? Pedagang-pedagang jarang ditemukan di kampung kita. Saat tak ada lauk, suami bisa mencari ikan. Kayu bakar sangat diperlukan pula untuk bahan tungku. Bagaimana mungkin kau bisa memasak tanpa kayu bakar? Minyak tanah sangatlah langka di kampung kita ini". Urai ibunya.
"Ya, memang semuanya diperlukan mak, tapi kalau tak pandai-pandai juga, bagaimana?"
"Makanya harus belajar, kalau tak belajar ya tak bisalah. Mulai besok engkau harus belajar. Mana mungkin langsung bisa kuterima lamaran laki-laki ke rumah kita, umak tak mau mempermalukan anak perempuan umak, dikatakan tak pandai apa-apa, eh malah berani sekali berumah tangga".
Upik hanya tersenyum mendengar penjelasan ibunya. Namun di dalam hatinya, sungguh dia belum berterima dengan adat itu, bukankah kepandaian itu tak sebatas hanya membayu amak saja, masalah mencari kayu bakar tentu Upik sudah pandai dari sejak berumur tujuh tahun.
Jadilah Upik belajar membayu amak. Setiap malam orang-orang perempuan memang selalu membayu amak, mereka berkumpul saling bantu. Sebelum sampai pada menganyam, terlebih dahulu mencari pandan di rawa. Pilih dua jenis pandan, yang berduri besar dan berduri kecil. Pandan disusun bertimpa-timpa, lalu diikat dengan akar di bagian pangkal. Setelah dibawa pulang, pandan yang berduri kecil terlebih dahulu dibesihkan durinya, dijemur hingga berwarna keabu-abuan, kemudian dikias, yaitu dilicinkan dengan bambu. Setelah dikias, ikat di bagian pertengahan daun, tidak dipangkal lagi, supaya mudah dilengkungkan sehingga memudahkan saat menganyam. Sedangkan untuk pandan yang berduri besar harus diasapi sampai kisut, barulah dibersihkan durinya. Setelah itu direndam di sungai, barulah dijemur sampai berwarna keabu-abuan. Pandan berduri kecil berwarna abu-abu dengan sedikit kehijau-hijauan, sedangkan pandan berduri besar berwarna abu-abu agak berminyak.
Setelah pandan tersedia, mulailah menganyam. Ambil dulu bagian tengah, lalu anyam ke bagian kiri dan ada yang menganyam ke bagian kanan sampai selesai. Menganyamnya harus satu arah. Bagian pinggir anyaman yang tersisa kemudian dibuang dan dirapikan. Membayu amak jarang ada yang selesai sekali duduk, apalagi untuk sebuah tikar yang besar. Biasanya para perempuan tersebut menyelesaikan anyaman dua sampai lima malam. Tergantung berapa orang yang menganyam, waktu luang, maupun kondisi. Terkadang ada pula yang berhenti membayu amak karena sakit, ada pula yang karena sedang berpergian jauh sehingga belum sempat menyelesaikan anyaman. Tetapi tak jarang pula karena malas.
Upik pun sangat tekun membayu amak, dia belajar dengan teliti bagaimana menganyam. Sering-sering dia datang ke tempat perkumpulan orang-orang yang sedang membayu amak, melihat-lihat bagaimana kerja mereka, disamping ikut membantu pula. Setelah itu belajarlah Upik membayu amak sendirian. Dia tak ingin dibantu orang lain, ibunya bahkan. Upik bilang pada ibunya bahwa dia ingin punya sebuah tikar kelak untuk persiapan rumah tangganya. Lagipula yang dibuat tidak terlalu besar seperti orang-orang buat, cukuplah untuk empat orang duduk.
Setiap malam Upik menyisihkan waktu luangnya untuk membayu amak. Kadang pada siang hari, kadang pada malam hari selepas Isya. Sore harinya Upik mencari kayu bakar. Mencari kayu bakar pun bukan sekedar asal mengerjakannya, haruslah pandai mengikat kayu bakar dengan benar, tidak boleh longgar agar ketika dipikul pulang, tidak berlepasan dari ikatan lalu berjatuhan. Kalau belum bisa melakukannya dengan benar, belumlah bisa dikatakan sudah pandai mencari kayu bakar.
Upik semakin larut dengan kegiatan membayu amaknya, hingga dia terus melakukannya. Tak hanya satu buah yang dibuat jadinya, Upik bahkan telah menyelesaikan tiga buah tikar. Sekarang dia sedang menyelesaikan anyaman untuk lima belas orang duduk. Masih baru seperempat yang dia kerjakan. Untuk kali ini Upik bahkan menyisihkan waktu pada pagi setelah Subuh dan pada sore hari. Betapa tekunnya dia menganyam. Setiap jari-jemarinya mahir memainkan pandan, jarinya telihat begitu lentik ketika sedang membayu amak. Matanya yang bulat tak lepas pandangan terhadap anyaman, seakan tak sempat menoleh ke sebelah, paling-paling jika ada orang yang menyapanya. Anyaman upik begitu rapi, tak ada sedikit pun yang miring, sama besarnya, dan begitu rapat hingga tak ada celah.
Hari-hari Upik pun kini tak lepas dari membayu amak. Sungguh Upik sangat menikmati pekerjaannya. Entahlah, entah karena dia ingin lekas menikah atau karena hal lain. Ya, seperti ada kekuatan lain dalam jiwanya. Dia merasakan begitu nikmat dan damainya membayu amak, ada kepuasan tersendiri ketika hasilnya sangat rapi dan lebih bagus dari orang-orang lain buat. Apalagi ketika orang lain memujinya. Tak hanya para ibu, kakak, dan kaum perempuan lainnya, bahkan bapak-bapak dan beberapa pemuda yang melihat hasil anyamannya pun memuji Upik. Tetapi bukan hanya sekedar kepuasan pujian, ada hal lain, sungguh lain, rasa yang Upik sendiri bingung mengungkapkannya. Ah, biarlah kunikmati sendiri rasa ini, pikirnya.
"Oi, oi, betapa, betapa".
Sementara Upik semakin larut dan tenggelam. Ibu Upik masih terpaku di bawah pohon pisang, memandang rawa yang penuh dengan pandan, duduk di atas tumpukan kayu bakar yang tersusun rapi. Upik memang sangat pandai mencari kayu bakar, sangat mahir dan lincah jemarinya memainkan pandan, anyaman yang rapi dan tak ada sedikitpun celah. Yah, celah itu dirasakan begitu dekat di hati ibunya. Oi, kenapa anakku yang sangat mahir membayu amak, menganyam tikar tak kunjung kedatangan tamu?
(Fitrah Nuraidillah Nst, Sekum FLP Wilayah Sumut)
Share This :
Keren uiiii 😍👏👏. Mau belajar lebih sama kak Fitrah nih
BalasHapusHeheh, masya Allah
BalasHapusDeskripsi awalnya ngingetin awak sama kondisi kampung ayah Nta mi.
BalasHapusSeneng sama cerita yg bnyk deskripsinya kya gini. Jd ikut kebawa ke dalam ceritanya awak. 😊
Iya mak Nta, rerata kampung masyarakat Mandailing gtu...
BalasHapus