BLANTERWISDOM101

CERPEN : LEBARAN RINDU

Jumat, 22 Mei 2020
Penulis : Abdi Siregar
Ini malam lebaran. Aku hampir saja lupa. Jika tak kudengar gemuruh  takbir, barangkali aku merasa ini sama saja dengan malam-malam yang aku habiskan di perantauan ini. Sudah lama sekali tidak pulang, lagi-lagi aku tak ingat sudah berapa tahun. Yang melekat dalam ingatan hanya kembang api, baju baru, takbir keliling dan THR dari ayah, sedang ibuku sibuk di dapur menyiapkan masakan beraneka ragam. 
Selama tak pulang, tak ada yang pernah memintaku agar pulang. Barangkali mereka semua sudah melupakanku. Ah, tapi tak mungkin mereka lupa, sebab aku adalah orang yang paling mereka tunggu untuk pulang tiap lebaran. 

Orang sering bertanya, apa aku tak punya keluarga? Atau apa aku lupa pada keluargaku? Entahlah. Bagiku pertanyaan itu buntu. Sebenarnya teman-temanku di sini juga tak pernah pulang. Tapi mereka selalu memasang wajah cerah. Tak pernah menyimpan banyak luka sepertiku. Ada dari mereka yang selalu dikirimi beraneka makanan dan minuman lezat. Kiriman dari anak-anaknya. Sedang aku? Jangankan dari anak-anak, istri saja aku tak punya. Oh, malangnya nasibku.
 
"Pak Ndut beruntung sekali. Anak-anaknya sangat menyanyanginya. Meskipun Pak Ndut tidak pulang atau anak-anak mereka tak bisa datang, tapi hadiah selalu diterimanya hampir setiap hari. Pantas saja diberi gelar Pak Ndut," cetus Parmin. Dia pun sama nasibnya sepertiku. Tak pernah pulang atau diminta pulang atau paling tidak dikirimi hadiah seperti Pak Ndut. 

Aku hanya diam mendengarkan celetukan Parmin. Kuhembus napas pelan. Semua ini terasa berat. Aku rindu. Tapi tak tahu entah untuk siapa. 

"Bulan suci sudah pergi, Min. Ini yang lebih aku sedihkan," aku sedikit mengeluh. 

"Aku juga, rasa-rasanya ingin sepanjang tahun adalah bulan suci. Tapi mau bagaimana lagi. Kita harus sabar menunggunya tahun depan. Tapi selama itu, kau tahu sendirilah apa yang akan kita hadapi!" Parmin terlihat begitu putus asa. 

"Orang-orang seperti melupakan kita. Bahkan tak peduli lagi pada kita," keluhku lagi. 

Parmin beranjak meninggalkanku. Katanya, dia keliling menyapa yang lain. 
Aku masih nelangsa. Telingaku lekat mendengar sahutan takbir dari corong-corong masjid. Syahdu, teduh dan membuatku semakin terperangkap dalam kesedihan yang mendalam. Aku seperti jatuh dalam ruang kosong yang begitu dingin. Membekukan jiwa. Semuanya kurasakan begitu sunyi. Sunyi sesunyi-sunyinya. 

"Hei, kau. Jangan melamun terus. Tapi berharaplah seseorang akan datang memberikan hadiah untukmu malam ini. Kau lihat, rata-rata orang-orang bersuka cita. Membawa hadiah-hadiah. Bahkan ada yang sampai tidak mampu membawanya. Tapi sayangnya, hadiah yang berjatuhan itu tak bisa kau bawa. Bahkan hadiahku ini pun tak bisa kuberikan untukmu, jadi berharaplah terus." Nek Karsih tiba-tiba menyapa. Memutus lamunan. 

"Iya, Nek. Aku berharap malam lebaran ini ada seseorang yang memberiku hadiah." 

"Baiklah, Nenek pergi dulu. Nenek mau nikmati kiriman ini. Barangkali ada baju baru juga selain makanan," Nek Karsi melangkah jauh. 
Kudongakkan kepala ke langit malam. Bintang tak ada. Bulan tersaput awan. Ini malam yang mendung. Agaknya mau hujan. Tapi orang-orang kebanyakan tak peduli. Suka cita ini mereka nikmati dengan sendu. Takbir-takbir semakin meriah. Tapi merajam jantungku. Aku nyeri. Ingin teriak sekuat jiwa. Aku rindu orang tuaku. 

"Ayah, ibu, tak ingat lagikah kalian kepadaku?" Aku bertanya pada angin malam. Jawabannya hanya desau.

Aku tertimpa rindu membara. Seperti apa sekarang wajah ayah dan ibuku. Aku bahkan tak punya gambaran sama sekali. Sebab sudah sangat lama kami tak bersua. Sejak aku kecil dulu. Satu-satunya yang membuatku betah di perantauan ini adalah aku mendapatkan tempat tinggal yang bagus. Luas dan bersih. Tidak seperti sebagian teman-temanku yang harus tinggal di tempat yang sangat sempit, kumuh dan bau. Mereka bahkan diperkerjakan dengan sangat kejam. Cambukan demi cambukan terus mencabik tubuh mereka. Aku ngeri melihatnya. Ingin protes, tapi apa daya. Siapa yang akan mendengarkanku? 

Namun kuperhatikan, pelan tapi pasti. Banyak yang dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Bahkan pelan-pelan diberikan hadiah. Kata penjaga, hadiah itu dari anak-anak mereka. Jika sudah begitu, mereka akan menangis meraung-raung. Seperti tak peduli lagi dengan hadiah-hadiah itu, mereka mendapatkan bungkusnya saja barangkali sudah membuat hati senang bukan main.
Kadang aku bingung, ini tempat apa? Kenapa aku di sini? Kok tega sekali ayah dan ibu membuangku ke sini? Setahuku sejak kecil aku di sini. Sampai beranjak remaja. Aku ditinggalkan begitu saja. Bahkan tidak dititipkan kepada siapa pun. Aku harus bekerja sendiri. Mencari penghidupan. Tapi tetap saja aku merasa begitu aneh dengan semua ini. 

Hujan akhirnya tumpah malam itu. Aku biarkan tubuhku diguyur hujan deras. Basah, basahlah semuanya. Kubiarkan hujan ini melebur dalam diri. Melebur semua kerinduanku. Tapi percuma, aku bukannya semakin membaik, justru semakin tak karuan. Aku seperti ditarik seseorang. Melesat masuk dalam sebuah lorong. Tubuhku dilemparkan begitu saja. Tiba-tiba saja aku duduk di atas sepeda motor. Bersama seseorang. Kuperhatikan dia. Ternyata kakakku. Tiba-tiba saja aku mengingatnya. Aku juga ingat kami mau ke mana. Dan kuperhatikan tubuhku. Bukan tubuh remaja kini. Tapi tubuh anak kecil. Tapi siatuasinya sama. Malam, gemuruh takbir, tapi tidak hujan. 
Kami akan pergi ke masjid raya untuk takbir bersama. Di pertengahan jalan, banyak sepeda motor ugal-ugalan, kencang macam di sirkuit balap motor. Mereka seperti tak peduli pada pengendara lain. Sampai akhirnya, sebuah sepeda motor menyerempet sepeda motor kami. Kakakku jadi tidak fokus. Oleng sana-sini. Tak seimbang. Sampai akhirnya kami jatuh. Tapi malangnya, malam itu, sepeda motor yang melaju kencang itu tak peduli, mereka menabrak apa saja, sampai roda motor mereka menggilas tubuhku. Bukan hanya satu. Tapi dua, tiga, empat dan aku tak tahu berapa lagi yang dengan begitu ponggah menggilasku. Duniaku menjadi gelap. Sejak itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi. 

Abdi Siregar, penulis Novel Mengejar Impian Ayah.

Share This :
FLP Medan

Salam kenal, ini adalah website resmi FLP Medan, sebuah organisasi kepenulisan terbesar yang berasaskan keislaman, kepenulisan, dan keorganisasian.

0 comments